Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa Multilateral Instrument (MLI) ini sifatnya fleksibel karena memberikan kebebasan bagi seluruh yurisdiksi untuk melakukan modifikasi terhadap aturan P3B sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan yurisdiksi masing-masing.Â
Sebagai contoh, Pasal 7 MLI terkait upaya pencegahan penyalahgunaan P3B. Dengan adanya pemberian fleksibilitas tersebut diharapkan masing-masing negara dapat melakukan mitigasi atas praktik BEPS yang berkaitan dengan aturan P3B. Namun ada dampak dari adanya fleksibilitas tersebut, yaitu tidak semua pasal-pasal dalam MLI dapat diberlakukan oleh negara Indonesia. Beberapa contoh pasal tersebut di antaranya pasal 3 mengenai entitas transparan, pasal 5 mengenai penerapan metode-metode eliminasi pajak berganda, pasal 10 mengenai ketentuan anti penyalahgunaan BUT, serta pasal 16 ayat 1 huruf a kalimat pertama yang berkaitan dengan mutual agreement procedure (MAP).
Jika kita memperhatikan dengan cermat, struktur Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) terdiri dari 4 klausul utama yaitu klausul substantif, klausul "compatibility", klausul "reservation", dan klausul "notification". Klausul substantif (substantive clause) adalah output dari rencana aksi (action plan) BEPS yang berkaitan dengan ketentuan peraturan P3B. Sedangkan, klausul "compatibility" mengatur tentang bagaimana proses perubahan/modifikasi atas P3B tersebut dilakukan. Dalam praktiknya, ketentuan MLI tidak akan bisa melakukan modifikasi terhadap ketentuan P3B apabila suatu klausul substantif MLI hanya diadopsi oleh salah satu negara saja.Â
Jadi, kedua negara yang melakukan perjanjian harus sama-sama melakukan adopsi terhadap suatu klausul tersebut. Inilah yang dimaksud dengan klausul "reservation". Di sisi lain, suatu negara juga diharuskan untuk mengidentifikasi serta memberikan notifikasi mengenai aturan mana dalam P3B yang akan dimodifikasi dengan MLI. Hal inilah yang disebut dengan klausul "notification". Â Walaupun suatu negara sudah menandatangani dan melakukan ratifikasi terhadap MLI, negara yang terkait masih bisa melakukan perubahan posisinya atas MLI tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri mulai meresmikan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) sebagai bagian dari upaya untuk mencegah terjadinya praktik BEPS oleh perusahaan multinasional, yaitu dengan merilis Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, tepatnya pada tanggal 13 November 2019 atau dua tahun setelah ditandatangani, namun mulai diberlakukan secara efektif tanggal 1 Agustus 2020 oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Fungsional Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Melani Dewi Agusti, dalam kegiatan sosialisasi MLI yang diselenggarakan oleh BKF dan Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga manfaat yang akan diperoleh Indonesia melalui penerapan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI). Yang pertama, melalui penerapan MLI, dapat memberikan kesan positif kepada dunia internasional bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan tax fairness. Seperti yang telah diketahui bahwa MLI merupakan instrumen paling tepat yang dapat digunakan untuk mencegah dan memerangi tindakan aggressive tax planning.Â
Yang kedua, implementasi MLI ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menggunakan BEPS Action 15 yang sebelumnya telah direncanakan untuk dilaksanakan secara serentak. Tidak hanya itu, dengan penerapan MLI ini Indonesia tidak membutuhkan alokasi waktu dan biaya yang besar  jika dibandingkan dengan proses negosiasi konvensional. Yang ketiga, MLI dapat menjadi pelengkap dari proses transfer informasi secara langsung (automatic exchange of information/AEoI).
OECD mengemukakan bahwa dari total 93 yurisdiksi yang dicakup dalam MLI, Indonesia telah melakukan pengusulan amandemen atas 47 klausul P3Bnya melalui MLI. Kemudian, ada 19 yurisdiksi yang mengusulkan perubahan klausul P3Bnya dengan Indonesia. Apabila nanti Indonesia meratifikasi, menerima, atau menyetujui klausul MLI yang diajukan oleh yurisksi tersebut ke OECD, maka perubahan atau amandemen atas klausul P3B antara Indonesia dengan 19 negara tersebut akan berlaku secara efektif mulai 3 (tiga) bulan setelah ratifikasi disampaikan.
Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019 yang telah disahkan oleh pemerintah tersebut terdiri atas naskah asli konvensi yang ditulis dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia dengan persyaratan sebagaimana telah dicantumkan dalam lampiran. Dalam peraturan presiden tersebut dijelaskan bahwa apabila nantinya terjadi sengketa mengenai definisi atau penafsiran antara naskah dalam Bahasa Indonesia dengan naskah asli konvensi dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris, maka yang akan digunakan sebagai acuan adalah naskah asli konvensi dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris.
Berdasarkan salah satu pertimbangan yang ada dalam Perpres Nomor 77 Tahun 2019 tersebut, diketahui bahwa pasal-pasal yang digunakan dalam konvensi dapat diterapkan terhadap P3B apabila sebelumnya telah dilakukan pengesahan terlebih dahulu terhadap konvensi tersebut sebagai dasar pemberlakuannya.
Beberapa bentuk modifikasi yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam mengadopsi klausul substantif dalam MLI seperti perubahan, penambahan, ataupun penggantian penerapan ketentuan peraturan P3B. Sebagai contoh, ketentuan Principal Purpose Test (PPT) sebagai output dari rencana aksi (action plan) dalam rangka melakukan pencegahan terhadap tindakan penyalahgunaan P3B, akan menambah jumlah ketentuan yang dimasukkan ke dalam mayoritas CTA Indonesia. Contoh lainnya yang bisa diambil yaitu, perubahan ketentuan P3B Indonesia dengan negara mitra mengenai aturan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam hal implementasi karena mengadopsi ketentuan MLI yang berkaitan dengan pencegahan penghindaran status Bentuk Usaha Tetap (BUT).