Pada tahun 2018, terbitnya buku Filosofi Teras membuat khalayak ramai dengan pemikiran yang tertuang dalam buku tersebut. Berbagai platform media sosial seperti YouTube, Blog, Twitter, dan lain-lain membahas Filsafat Stoikisme karena dipercaya dapat membantu mengurangi kecemasan para penganutnya. Meski sudah lima tahun berlalu, hingga kini pemikiran Stoik menjadi unggulan bagi orang yang sering cemas dengan kehidupannya. Terdapat beberapa tokoh yang viral seperti komedian Raditya Dika, pada video yang Ia unggah di Youtube dengan judul Supaya Hidup Gak Overthinking.. pun membahas terkait Filsafat Stoikisme sebagai mindset andalan untuk mengatasi kecemasan.Â
     Apa itu Stoikisme?
     Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno yang muncul tiga abad sebelum masehi. Penemuan mazhab pemikiran oleh Zeno di Athena ini berjaya hingga 3 abad setelah Masehi dan dikembangkan oleh berbagai filsuf terkemuka seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Pada abad setelahnya, Stoikisme mulai memudar karena kekaisaran Romawi menetapkan Kristen sebagai agama resmi. Meski sudah berabad-abad lalu, Filsafat Stoikisme ini kembali terkenal dan diadopsi oleh banyak orang di abad ke-21 Masehi karena dianggap masih relevan dan cukup berpengaruh pada diri pengikutnya.Â
     Filsafat Stoikisme sendiri memiliki inti pemahaman berupa dikotomi kendali atau istilah psikologinya adalah Locus of Control; Kontrol atas kejadian internal atau eksternal yang terjadi pada diri sendiri. Dalam artian lain, kita harus fokus pada apa yang bisa kita kendalikan pada kejadian sehari-hari. Pemikiran ini mengajarkan agar dapat membedakan mana yang dapat dikendalikan dan yang tidak. Tak perlu memusingkan hingga mengeluarkan emosi negatif berlebihan karena hal yang berada di luar kontrol, yang sudah terjadi dan masa depan tak perlu dikhawatirkan, fokus pada yang saat ini bisa dihadapi dengan kesadaran sepenuhnya. Stoik juga mengajarkan bahwa bukanlah sebuah kepentingan bagi kita untuk mengejar duniawi, karena ia juga memiliki pemahaman terkait momento mori; mengingat kematian dan mempercayai bahwa segala sesuatu tidak ada yang abadi, semua ada masanya.Â
     Qada' dan Qadar
     Mengulang kembali pemahaman di bangku sekolah, qada' dan qadar merupakan konsekuensi dari syahadat. Dimana jika kita mengimani Allah SWT sebagai Tuhan kita dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya, maka sebuah keharusan bagi kita untuk mengimani qada' dan qadar. Jika tidak, maka perlu diperbaiki pondasi keimanannya.Â
     Pembahasan ini cukup menuai banyak kontroversi karena salah sedikit pemahaman saja, maka akan berakibat fatal bagi produktivitas keimanan. Kesalahan memahami konsep qada' dan qadar dapat dilihat dari aliran Jabariyah yang identik dengan fatalisme, dimana mereka memahami bahwa manusia mau tak mau harus mengikuti takdir Allah SWT tanpa usaha. Adapula Qamariyah atau Mu'tazilah yang menempatkan Tuhan hanya sebagai watchmaker dan tidak memiliki andil dalam menentukan takdir hamba-Nya sama sekali.Â
     Dalam pembahasan ini, wajib diketahui bahwa Allah SWT memberikan dua area pada setiap manusia. Yakni area yang dikuasainya dan area yang menguasainya. Area yang menguasainya merupakan hal yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk manusia, karena ia tak akan bisa memilih ataupun mengendalikan kejadian tersebut. Seperti kejadian yang sudah ditetapkan dalam Lauh Mahfuz. Karena itu, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas wilayah yang menguasainya. Disebutkan dalam Ar-Ra'd ayat 39:
Artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)." (Ar-Ra'd[13]:39)Â
     Oleh sebab itu, kita tak perlu pusing dalam menerima apa yang sudah ditetapkan pada kita karena kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Diperlukan ilmu untuk tawakal atas apa-apa yang terjadi karena ketetapan Allah SWT.Â
     Wilayah kedua, yaitu area yang dikuasainya. Dalam area ini, manusia dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya karena melibatkan akal sehat dalam menentukan perbuatannya. Karena adanya peranan akal disitu, eksis pula ikhtiar dalam menjalankan perintah dari akal. Hal ini dikuatkan dengan Surah Ar-Ra'd ayat 11 yang menjadi bukti bahwa usaha itu amat penting karena bisa menggiring dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Ayat tersebut berbunyi:
... ...Â
Artinya: "...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..." (Ar-Ra'd [13]:11)Â
      Maka, pernyataan "Kalau semua sudah ditakdirkan, kalau begitu belajar tidak diperlukan. Allah Maha Mengetahui bahwa saya sukses atau tidak di kemudian hari." merupakan hal yang salah kaprah. Karena ia meniadakan ikhtiar yang seharusnya melibatkan fungsi dari penciptaan akal.Â
     Persamaan Pandangan Stoikisme dengan Qada' dan Qadar
     Stoik dan rukun iman terakhir ini memiliki kesamaan pandangan dalam dikotomi kendali. Stoikisme memiliki pandangan hidup ini meliputi dua hal: hal yang bisa dikendalikan, dan hal yang berada di luar kendali. Sedangkan, Islam memiliki pandangan bahwa manusia senantiasa berada di dua area: area yang dikuasainya, dan area yang menguasainya. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk fokus pada apa yang bisa kita kendalikan atau kita kuasai. Keduanya juga menyuarakan sama terkait mindfulness atau kesadaran penuh dalam pengambilan tindakan. Mindfulness dilakukan karena pemahaman tentang pemaksimalan usaha yang ada pada wilayah yang ia pegang kendalinya, bukan mencemaskan masa lalu yang sudah terjadi ataupun masa depan yang masih belum pasti. Jalani dengan penuh kesadaran atas tuas kendali situasi yang sekarang terjadi, fokus pada usaha yang sekarang, tidak terlalu memikirkan hal-hal eksternal, hiduplah dengan tenang dan produktif.Â
Opini
Nada Alifia Susandi, Mahasiswa Universitas Airlangga, jurusan Studi Kejepangan
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H