Mohon tunggu...
nada Tputri
nada Tputri Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta'15 Let's be friend! Ig : @nadatputri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kukepakan Sayapku, Kuperlihatkan Keterbatasanku

5 Desember 2017   23:49 Diperbarui: 6 Desember 2017   00:52 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tomi Safi’i sedang mengambil botol untuk produk Kangen Water di Wirobrajan, Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)

-Saya menggerumu dalam hati "bagaimana seorang difabel bisa berkendara?", dengan santai, sambil menyirup teh coklat pekatnya ia melanjutkan "kami memang difabel, tapi usaha dan doa kami mampu mengalahkan segalanya". Saya menunduk dan diam sejenak.-

Gelapnya awan masih menunjukan pukul 10.40 WITA, pria berkemeja abu keluar dengan jalannya yang goyang dan tangannya menyentuh dinding untuk setiap langkahnya. "mungkin biar seimbang" lintas pikiran saya. "masuk mbak" ujarnya sambil senyum dengan mengangkat jempol kanannya menunjuk kearah dalam. Pikiran itu langsung menghilang kemudian saya berikan senyuman.

Ini sebuah rumah yang katanya adalah kantor. Tembok putih bersih, ruangan yang luas tanpa orang, spanduk besar yang ditempel disisi kanan yang berisi jenis paket travel, piala dan penghargaan di kiri kanan, dan sebuah meja kecil di ujung sebagai tempat Televisi.

"Sedang sepi mbak, lagi pada keluar. Beberapa sedang dibelakang" ujar Tomi Safi'i (32), Driver Difa-Ojek. Ia duduk dengan nafas terengah-engah, senyum tulus menyambut terlihat jelas di wajahnya. Lelaki usia 32 tahun ini memiliki badan yang cukup tinggi, kulit hitam tak terawat dan gigi depan yang sudah hilang. Ini membuat saya penasaran apa penyebabnya.

"gimana mbak? Wawancara untuk ujian akhir?" sapanya sambil tersenyum lagi dengan mata yang sedikit sayu. "iya mas, gimana kabarnya?" jawab saya sambil berbasi-basi untuk mencairkan suasana.

Beberapa menit kami habiskan untuk berbincang, tiba-tiba ia melanjutkan "ya bedanya ojek yang lain normal, dan kami kan tidak. Perbedaannya cukup keliatan" sambil memegang kedua kakinya. Tangannya terus memegang dengkul, mata bulatnya seperti ingin menunjukan kalimat "meski kaki tidak normal, jangan remehkan saya".

Dulu, Aku bukanlah Aku

"saya begini (kaki tidak normal) dari bayi, dulu gak tau Ibu saya salah makan atau bagaimana. Selain itu, saya lahir prematur, masih muda. Lucunya, Ibu sakit perutnya di Bus, jadi ya gini pas dilahirin" ungkpanya dengan alis yang dinaikan dan mata sayu yang sudah tak terbaca lagi sambil tertawa memperlihatkan gigi ompongnya.

Saya menghela nafas sambil memikirkan kata-kata yang pantas namun tidak menyinggung. Terlintas sejenak, lalu saya berkata "merasa tertekan gak Mas dengan keadaan gini?" sambil saya turunkan nadanya secara perlahan. Setelah tersampaikan pertanyaan yang bikin hati ini penasaran, sesaat saya JLEB mendengar jawabannya.

"saya sempat bunuh diri kok mbak, sekitar 2 kali" sambil menghitung dengan jarinya, seolah-olah mengingat dengan kejadian dulu. Ia melanjutkan sambil tersenyum lebar "orang-orang seperti kami (difabel) pasti pernah merasakan ingin bunuh diri, bukan ingin lagi tapi itu seperti niat yang tertanam. Alasan kami bunuh diri juga karena kami merasa tertekan, nanggung beban, tidak dihargai di masyarakat, tidak mendapatkan support, tidak mendapatkan apa yang orang lain rasakan".

Pria asli Godean ini mengadu nasib selama 32 tahun dengan kaki yang tidak normal, ia memiliki kaki berbentuk X dan bengkok. Ia tidak bisa menompang keseimbangan jalannya jika tidak menyentuh atau memegang tembok atau tongkat. Tomi memiliki 3 saudara dan orangtua yang masih lengkap. Sayangnya, keberuntungan tidak berpihak padanya, diantara saudaranya hanya dia yang harus menanggung beban seperti ini.

"di lingkungan saya dipandang sebelah mata, orang-orang selalu menganggap "kamu bisa apa?", mereka menganggap saya difabel yang tidak bisa apa-apa" sambil tarik nafas, perlahan ia melanjutkan "orangtua juga kadang pilih kasih, kalau saya minta beli sesuatu jarang diberikan. Tapi, kalau saudara-saudara saya yang minta langsung dibelikan. Dulu pernah kejadian, sekeluarga lagi pergi ke Pantai, tapi saya disuruh nunggu di mobil tidak diajak. Pergi ke Gembiraloka saya gak diajak, pergi makan saya disuruh nunggu di rumah".

Perlakuan lingkungan, orangtua, dan keluarga Tomi membuat ia merasa bahwa dunia sangat jahat, dunia tidak adil, dan niat-niat bunuh diri selalu terlintas dipikirannya. Ia selalu bertanya-tanya "untuk apa aku hidup? aku hidup ini tujuannya apa?". Saya berfikir sejenak sambil meminum air putih gelasan yang disediakan, dengan nada pelan pertanyaan ini akhirnya muncul "lalu, karena hal-hal ini jadi niat bunuh diri, Mas?".

"iya, dulu coba bunuh diri. Pertama kali, di Kereta Api, tapi saya diselamatkan sama orang asing. Akhirnya gak jadi bunuh diri, tiba-tiba ada suatu masalah yang membuat saya semakin merasa kalau tidak ada guna buat hidup di di dunia ini, terus saya minum minuman oplosan. Tapi saya gak mati juga, yang mati dua teman saya. Kami minumnya berempat. Saya yang ingin mati, tapi malah hidup" katanya dengan senyum kecut.

Sejak sekolah, Tomi bukanlah Tomi, ia harus selalu belajar pura-pura bahagia ketika orang lain memandangnya sebelah mata. Kepura-puraan menjadi bagian dari hidupnya, dengan berpura-pura bahagia ia merasa tidak diremehkan. Mencari jati diri bukanlah hal yang mudah bagi Pria ini, banyak tantangan didalamnya.

"saya juga capek berpura-pura, mungkin ini jalan satu-satunya. Tapi Tuhan berkata lain." tambahnya.

Kisah ini mengingatkan saya dengan kutipan seseorang "kalau kamu lemah, dunia akan tertawa" Angkie Yudistia, yang juga seorang difabel Tuna Rungu.

Perjalanan dalam Mencari "Aku"

"ini pialanya Pak Triyono, dia hebat sekali. Saya sangat kagum sama dia" sambil menunjuk piala tersebut.

Menaklukan dunia tak semudah di Film Action. Bagi seseorang yang memiliki keterbatasan secara fisik maupun mental, menaklukan dunia adalah hal yang paling menyiksa. Mereka harus belajar bekerja keras agar tidak bergantung dengan orang lain. Sama halnya dengan Tomi, segala jenis pekerjaan sudah ia lakukan. Namun, tetap balik lagi dengan kondisi, ia harus mendapatkan pekerjaan yang tidak banyak gerak.

"saya sudah pernah bekerja jaga konter pulsa, makelar, jaga Playstation (PS), dan jaga warnet. Tapi ya gitu, pekerjaan yang saya terima juga harus sesuai kondisi fisik. Dapet pekerjaan aja sudah syukur, sudah ada yang mau nerima" ucapnya.

Mendapatkan pekerjaan ditengah keterbatasan suatu kebahagiaan bagi Tomi, setidaknya ia sudah mendapatkan penghasilan untuk membiayai keperluan dirinya. Akan tetapi, persepsi orang tentang "kekurangan" masih sempit, definisi kekurangan yang dimiliki orang lain kini menjadi-jadi. "kerja udah dapet Mbak, tapi kadang yang bikin saya sakit hati, nek (kalau) makan di angkringan saya suka dikasi plastik buat minum. 

Teman-teman pakai gelas, saya dikasihnya plastik. Pas saya tanya yang jual dia cuma bilang "biar nanti gak jatuh, gelas MAHAL!", yasudah saya senyum saja, padahal itu sudah kerja". Lanjutnya sambil tertawa, namun matanya memperlihatkan kesedihan mengingat masa lalu.

Tidak hanya soal pekerjaan, pertemanan juga menjadi masalah bagi Tomi. "Konco Musiman" juga ia rasakan dari kecil. Berbeda dengan anak-anak lainnya, disaat masa anak-anak hanya bermain dengan bebas, ia harus memikirkan cara agar bisa bermain. Sejak sekolah, ia memiliki teman-teman yang datang hanya ketika Tomi memiliki "uang" saja. Kasarnya, ini sebagai bayaran karena sudah menemani Tomi.

"kalau mau main atau pergi saya harus punya uang lebih, kalo mau beli pulsa 5ribu harus punya 20ribu. 15ribunya buat bayar temen yang sudah nganterin. Kalau gak di kasih uang, berarti saya harus cari ojek lain yang lebih mahal" Tambahnya sambil menaikan alis.

Sewaktu SD ia juga pernah di suruh untuk berhenti sekolah oleh salah satu gurunya."Tomi, dimasukan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) aja, dia punya kelainan latar belakang mental" ceritanya sambil menaikan sedikit bibirnya.

"Allah Hu Akbar" terdengar di tengah perbincangan, bersamaan kami melihat jam dinding disamping kanan, sudah waktunya sholat dzuhur. Sepintas saya melihat ke arah pintu, awan semakin gelap, jalanan semakin sepi, dan kisah ini semakin membuat saya tidak bisa berkata-kata. "permisi" suara dari pintu depan yang membuyarkan pikiran saya. "misi mbak" sapa lelaki paruh baya yang keluar dari belakang sambil tersenyum ke arah saya.

Persepsi keterbatasan juga dirasakan dalam mencari jodoh. Tidak sedikit orang yang menjudge orang lain "tidak mampu". "saya baru mau pendekatan aja mbak, tapi orangtuanya sudah langsung bilang di depan saya "Nik, kamu nek cari calon jangan yang cacat!". Padahal saya baru mau kenalan aja, tapi ya saya juga ga bisa ngomong. Saya pamit aja langsung, pas mau salaman juga di tolak" katanya sambil menirukan gaya bicara orang tersebut.

Pelajaran hidup sangat banyak dilalui oleh Tomi, bertahun-tahun menjalani hidup seperti ini membuat dia mengerti arti hidup. Ungkapnya, tahun 2013 adalah tahun ia memulai hidup barunya. Tahun tersebut ia mulai mengenal seseorang yang membawa perubahan pada hidupnnya. Sebut saja, Pak Puji. Ia yang mengajak Tomi pertama kali belajar desain grafis kemudian mengenalkannya dengan Pak Triyono pemilik difabel ojek.

BerkatNya, Kini Kukepakan Sayapku

Pak Triyono juga seorang pengusaha Kangen Water saling bekerja sama dalam bisnis ini. Dua pria ini sangat berpengaruh pada perubahan kehidupan Tomi, mengenal mereka berdua adalah suatu anugerah dari Tuhan.

"mereka (Pak Puji dan Triyono) yang pertama kali mempercayai saya mengendarai motor. Mereka memberi saya barang yang sangat saya inginkan sejak dulu, sejak masih sekolah. Barang yang tidak bisa saya dapatkan dari orangtua" ungkap Tomi melihat ke arah jam di dinding kiri dengan mata berkaca-kaca dengan nada yang sedikit tinggi namun masih terdengar seimbang. Ia juga menegaskan bahwa dengan motor itu kehidupannya mulai berbeda, ia mempelajari bahwa tidak ada kata tidak bisa. Ia belajar, usaha adalah kuncinya.

Saya mengambil permen yang disediakan, sambil saya berpikir dan menggerumu dalam hati "bagaimana seorang difabel bisa berkendara?", dengan santai, sambil menyirup teh coklat pekatnya ia melanjutkan "kami memang difabel, tapi usaha dan doa kami mampu mengalahkan segalanya". Saya menunduk dan diam sejenak. Saya kembali melihat kearahnya, saya memastikan dengan bertanya "ketika belajar naik motor, kendala yang dilalui apa Mas?".

"sangat banyak, saya belajar naik motor sendirian tanpa ada yang ngajarin. Saya masuk sawah, ditabrak dari belakang, keserempet mobil, ini gigi saya yang jadi korbannya" tuturnya sambil tertawa menunjuk gigi ompongnya.

"Akhirnya! rasa penasaran dari tadi sudah terjawab" pikir saya sambil bicara dalam hati.

Niat dan usaha yang dilakukan Tomi terjawab, ia bisa jadi seorang driver ojek. Sebagian orang, mungkin menganggap ini hanyalah pekerjaan biasa dan tidak ada apa-apanya. Namun, bagi Tomi pekerjaan ini menaikan harga dirinya, membuat ia merasa lebih berguna dan dari pekerjaan ini ia lebih merasa dihargai oleh masyarakat.

"saya benar-benar dihargai, sekarang kalau tidak pulang kerumah, orangtua mencari terus. Lalu yang paling buat saya merasa puas adalah kalau makan di angkringan saya sudah dikasi gelas dan piring. Penjualnya malah bilang "itu lo mas'e di golek'i dalan" ya saya senyum-senyum saja" sambungnya sambil memberi Pak Puji jalan. Kalimat golek'i dalan artinya dibantu untuk mencai jalan, jalan untuk mencari makanan yang ingin dipilih.

Pekerjaan ini juga sangat mengajari Tomi cara untuk ikhlas, sabar, dan mengasihi satu sama lain. Ia mengatakan juga pernah mengalami kejadian penumpangnya cancel pesanan ketika ia sudah menunggu 3-4 jam, tidak dipercayai oleh penumpang karena ia seorang difabel, dan pernah dibayar hanya dengan doa saja.

"semua pernah terjadi, dibayar hanya 5-10ribu juga sering. Padahal nemeninnya dari siang-malam, tapi yang bos (Pak Triyono) ajarkan adalah sikap sosial dan hati nurani" lanjutnya.

Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai ini sangat ditanamkan. Tomi juga menjelaskan bahwa nilai tersebut harus selalu ditanamkan oleh setiap orang yang bekerja di difa, belajar untuk ikhlas dan peduli bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun sulit, nilai ini juga bertujuan baik, yaitu agar para pekerjanya lebih belajar untuk saling mengasihi satu sama lain. Jika pengendara sudah menghargai penumpang, maka penumpang akan melakukan sebaliknya.

"penumpang kami juga lebih banyak difabel (tuna netra), mbok-mbok paruh baya yang jualan di pasar, dan kami juga tidak menagetkan tarif sama penumpang. Kalau kata bos, sesama orang yang memiliki kekurangan kita harus saling menutupi. Salah satunya ikhlas dan peduli" tambahnya sambil tersenyum lebar, mata bulatnya hampir tertutup. Ini wajah bahagianya!

Ia berdiri kemudian berjalan ke arah Televisi seperti ingin menunjukan sesuatu pada saya, saya mengikutinya dibelakang dan ia terjatuh sambil jongkok! Ia terjatuh karena tidak dapat memegang tembok dan saya lupa untuk membantunya. "God, help me!" berbicara dalam hati sambil membantunya yang juga dibantu bapak paruh baya tadi.

"koe meh ngopo?" tanya bapak itu sambil merangkulnya,

"iki, meh ndeloke mbak e produk  Kangen Waternya" jawabnya sambil menunjuk ke arah pintu.

Terharu dan terdiam menjadi satu, saya bengong sambil memegang dan melihat botol Kangen Water tersebut. "mas, aku ikut pergi ambil botol boleh?"

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun