Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi keadilan. Selama dua dekade Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) telah menjadi lembaga tinggi sistem ketatanegaraan serta pemegang kekuasaan kehakiman demi menjaga konstitusionalisme hukum negara . Sepak terjang permasalahan yang dihadapi oleh MK dalam sistem peradilan cabang yudikatif menuai catatan sekaligus harapan dari masyarakat. Berikut peran dan wewenang MK disertai catatan serta harapan dari perspektif penulis.
1. Menguji Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dijelaskan dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji Undang-Undang Dasar. Hal ini menjadi penting adanya dikarenakan UUD 1945 merupakan pedoman sekaligus alat kontrol kehidupan berbangsa supaya sesuai dengan konstitusi RI serta mengatur kewajiban lembaga dan kekuasaan negara. Maka dari itu harus dilakukan hak uji materi atau judicial review terhadap UUD 1945.
Bagi individu maupun kesatuan masyarakat yang merasa dirugikan kewenangan konstitusionalnya akibat diberlakukannya suatu undang-undang dapat mengajukan permohonan judicial review secara offline maupun online. Apabila dalam sidang hak uji materi tersebut hakim memutuskan bahwa pasal-pasal yang diuji inkonstitusional, maka pasal-pasal itu dihapuskan.
Tujuan dari praktek judicial review adalah menjaga mekanisme checks and balances, yakni prinsip ketatanegaraan persamaan derajat antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif supaya saling mengontrol dan saling berkesinambungan satu sama lain demi menjaga proses demokrasi.
Selain itu, harapan publik dari praktek hak uji materi perundang-undangan ini adalah supaya kehidupan pribadi serta hak-hak konstitusional masyarakat terlindungi dari pelanggaran ketiga lembaga kekuasaan negara yang telah disebutkan di atas.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
Kedudukan dan kewenangan lembaga negara sebenarnya telah diatur dalam UUD 1945. Namun dikarenakan adanya perubahan amandemen sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001, 2002) terjadilah perubahan sistem ketatanegaraan pada struktur lembaga tinggi negara. Format kelembagaan negara pasca amandemen ini mengakibatkan berubahnya mekanisme hubungan antar lembaga negara yang awalnya bersifat vertikal menjadi horizontal. Â
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelumnya merupakan lembaga negara tertinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menjadi sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga konstitusional lainnya bersama presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK.Â
Lembaga negara yang posisinya sama-sama setara ini mengoptimalkan mekanisme saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain (check and balances). Namun tak ayal, banyaknya lembaga yang telah dibentuk memungkinkan terjadinya disparitas kewenangan atau perselisihan hukum. Sengketa lembaga negara dapat terjadi akibat kewenangan suatu lembaga negara yang diberikan UUD 1945 dianggap menghilangkan, merugikan, mengganggu kewenangan konstitusional lembaga negara lain. Di saat seperti inilah peran Mahkamah Konstitusi dibutuhkan.