Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi, Menjinakkan Liberalisasi Politik

22 Oktober 2019   17:54 Diperbarui: 22 Oktober 2019   20:35 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar terakhir hingga sore ini, 22-10-2019, menyebutkan hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak diajak mengisi jabatan menteri dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yang baru dilantik 20-10-2019 lalu. Itu berarti bahwa semua partai yang lolos parlemen threshold pada Pemilu 2019, bergabung dengan dalam pemerintahan Jokowi Jilid 2.

Diantara kandidat menteri, nama Prabowo Subianto yang merupakan rival Jokowi dalam Pilpres, adalah yamg paling kontroversial. Basis pendukung Jokowi maupun basis pendukung prabowo terbelah. Di masing-masing pihak ada pendukung yang tak rela Jokowi dan Prabowo bersatu dalam tim kerja. Bahkan ada basis pendukung fanatik masing-masing pihak yang merasa dihianati, baik oleh Prabowo maupun oleh Jokowi.

Di mata para pendukung fanatik ini, pertarungan Prabowo vs Jokowi bukan sekedar kontestasi politik lima tahunan. Mereka anggap ini adalah pertarungan hidup dan mati dimana yang kalah harus dihabisi.

Mengingat tajamnya gesekan antar pendukung selama tahapan kampanye yang lalu, sikap dan sudut pandang para pendukung fanatik teesebut bukan semata dorongan dari keluguan politik melainkan ekspresi amarah yang menggumpal karena tersakiti oleh kata-kata yang saling lontar di media sosial selama kampanye.

Kampanye dengan cacian dan makian yang sengit antara pendukung yang satu dengan yang lainnya di media sosial masih menyisakan kemarahan.

Di sisi lain, sebagian besar pengamat politik dan penggandrung demokrasi tentu gamang melihat fenomena bersatunya Jokowi dan Prabowo. Khususnya, mereka yang berpola pikir bahwa demokrasi harus senantiasa menaruh curiga pada kekuasaan, sehungga oposisi adalah sesuatu yang mutlak dalam sistem demokrasi. Mereka tidak melihat bahwa dengan bergabungnya kedua tokoh tersebut,  sebagai upaya menyelesaikan kesumat para pendukung  fanatis di pihak masing-masing, yang kalau tidak diselesaikan akan mengkristal menjadi perpecahan bangsa kedepan, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya letupan dan ekskalasi kekerasan.

Inilah buah demokratisasi yang digagas oleh gerakan rformasi. Politik yang senyap mencekam di jaman orde baru, oleh gerakan reformasi diganti menjadi politik yang riuh dan ribut. Bahkan setelah 20 tahun berlalu.

Partai yang dimasa orde baru dibatasi hanya tiga partai, pada era reformasi menjadi tak terbatas jumlahnya. Kebebasan berpendapat yang ditabukan di masa orde baru dibuka kran seluas-luasnya di masa reformasi. Sehingga talk show dan acara debat menjadi acara favorit di televisi. Singkatnya, politik menjadi bebas, nyaris tanpa batas. Demikian bebasnya, tiap kelompok bisa saling tantang bahkan saling ancam bunuh secara terbuka.

Keadaan ini tentunya tidak menguntungkan bagi kekuasaan maupun bagi kelangsungan keutuhan bangsa dan negara sehingga harus diakhiri. Untungnya, baik Jokowi maupun Prabowo ada kesamaan sikap melihat masalah dan potensi perpecahan ke depan. Sehingga kedua tokoh ini bersedia bergabung.

Dengan bergabungnya hampir semua partai politik yang punya perwakilan di parlemen, dengan sendirinya meniadakan atau setidaknya melemahkan kekuatan oposisi. Peran parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah tentunya tetap ada tetapi paling jauh melakui kritik-kritik yang sopan dan tidak provokatif. Dengan kata lain sikap dan pola liberal akan dijinakkan pada kepemimpinan Jokowi Jilid 2 ini.

Jika kabinet jokowi  jilid 2 ini bisa solid hingga tahun ketiga, maka Jokowi akan bisa lebih fokus pada paradigma "krrja, kerja, kerja" dari pada disibukkan oleh kekisruhan politik. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur akan lebih fokus ke depan.

Tiadanya oposisi  tidak serta merta akan membuka peluang otoritarianisme. Sarana informasi teknologi, khususnya media sosial akan mengambil alih peran formal oposisi parlemen, dimana masyarakat secara langsung akan memainkan peran kontrol yang lebih menggigit daripada peran parlemen. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun