Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengancam mogok pengusaha menyambut penetapan Upah Minimu Regional (UMR) DKI Jakarta tahun 2013. Kenaikan UMR DKI 2013 yang mencapai 44% dari UMR tahun 2012 tersebut bagi pengusaha sangat memberatkan. Selain itu, dikhawatirkan pula kenaikan UMR DKI tersebut akan disusul pula oleh kenaikan yang drastis di berbagai daerah di Indonesia.
Kelanjutan polemik mengenai besarnya kenaikan UMR tersebut tidak hanya memunculkan ancaman pemogokan. Bahkan ancaman lama dan merupakan senjata yang sering digunakan pengusaha dikeluarkan lagi. Ancaman tersebut tak lain adalah ancaman relokasi investasi. Dulu ketika pembahasan RUU Serikat Pekerja tahun 2000 sedang dibahas DPR RI, ancaman relokasi investasi ini paling sering dilontarkan oleh pengusaha yang diwakili oleh Sofyan Wanandi. Konon, relokasi investasi yang paling menarik buat para investor adalah Vietnam, negara yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Ini adalah kedua kalinya ancaman relokasi investasi dijadikan peluru oleh pengusaha untuk melawan aspirasi buruh. Dalam kasus penetapan UMR DKI, ancaman pengusaha ini tidak hanya melawan atau berseberangan dengan aspirasi kaum buruh akan tetapi oleh karena telah menjadi keputusan pemerintah DKI, ancaman ini juga langsung ditujukan kepada pemerintah.
Saat ancaman relokasi investasi dilontarkan, pemerintah terkesan panik menanggapinya. Akibat dari kepanikan tersebut lahirlah kompromi sehingga untuk mengurangi bargaining buruh yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, dibuahkanlah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengakomodir pola outsourcing dalam pasal 64, pasal 65, dan pasal 66 UU Ketenagakerjaan tersebut.
Dalam fase kedua ancaman tersebut kali ini saya menjadi berpikir apakah memang mudah mengalihkan sebuah industri dari satu negara ke negara lain sehingga pemerintah kita begitu takut akan ancaman tersebut? Keberhasilan manuver pengusaha tersebut hanyalah sebagai bukti betapa lemahnya pemerintah atau bahkan negara ketika berhadapan dengan modal.
Walau saya bukan ahli investasi saya mencoba membuat perkiraan yang rasional logis mengenai kemungkinan ini sehingga pemerintah jangan terlalu termakan ancaman relokasi investasi. Berikut pandangan saya.
Katakanlah bahwa UMR 2013 yang meningkat hingga setengah kali lipat UMR 2012 merata terjadi di seluruh Indonesia dan benar-benar membebani pengusaha. Beban itu tak tertanggungkan sehingga mereka harus menutup usaha mereka yang ada di Indonsia. Dalam benak saya, investasi yang mengancam melakukan relokasi adalah sebuah industri yang memproduksi suatu barang, entah itu tekstil, sepatu, makanan atau produk lainnya, karena memang kegiatan jenis usaha yang demikianlah yang buruhnya sering menuntut UMR.
Setelah membulatkan tekad untuk melakukan relokasi, tentunya di negara yang baru mereka tuju sebagai lahan baru kegiatan bisnis mereka akan memulai lagi kegiatan usaha mereka dari awal sebagaimana mereka memulai ketika berinvestasi di Indonesia. Mereka harus mengurus perijinan dan syarat-syarat prosedural yang ditetapkan di negara tujuan. Berapa banyak waktu yang mereka butuhkan?
Selanjutnya mereka akan melakukan pembangunan fisik. Selain butuh biaya dan tenaga serta pikiran pada fase rekonstruksi tentunya memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Selama pengurusan perijinan dan proses pembangunan konstruksi yang membutuhkan waktu sehingga banyak kesempatan yang terlewatkan. Bukankan di mata pengusaha 'waktu adalah uang'? Dengan demikian mereka telah kehilangan sejumlah keuntungan selama tidak berproduksi karena proses relokasi yang memakan waktu.
Dua hal di atas adalah kendala yang terjadi secara teknis yang bisa diperkirakan dengan mudah jangka waktu dan besaran biaya atau tenaga yang dibutuhkan. Hal lain yang perlu ditimbang adalah apakah dengan selesainya perijinan dan konstruksi fisik, usaha yang baru didirikan bisa langsung berproduksi dan melakukan kegiatan usaha? Seiring dengan proses tersebut tentu si pengusaha harus melakukan negosiasi bisnis, baik kepada lembaga financial maupun kepada mitra usaha lainnya. Jika negosiasi sukses tentu usaha bisa running dengan mulus tetapi jika alot tentunya tidak serta merta usaha itu berjalan dengan lancar.
Aspek lain yang tentunya tidak sederhana adalah memindahkan pasar atau market mereka ke negara baru dimana si pengusaha berinvestasi. Jika usaha yang sedang mereka lakukan di Indonesia sedang berproduksi untuk memenuhi pesanan-pesanan yang telah diikat dengan perjanjian-perjanjian tentu bukan pekerjaan mudah untuk membuat perikatan baru, apa lagi kalau harus menunda proses produksi atas pesanan yang telah disepakati, atau pengusaha tersebut justru kena beban pinalti atau malah digugat karena wan-prestasi oleh relasinya.
Singkatnya, relokasi investasi apa lagi dalam bentuk pemindahan pabrik atau industri bukanlah hal sederhana. Pengusaha perlu berpikir seribu kali untuk memindahkan tempat operasional usahanya, terlebih kalau memindahkannya dari satu negara ke negara lain.
Mungkin masih ada banyak kendala teknis di luar apa yang saya sebutkan. Para pelaku usahalah yang lebih tahu. Namun secara rasional logis, saya berani menyimpulkan bahwa jika pun pengusaha serius melakukan ancamannya maka setidaknya perlu waktu untuk melakukannya. Nah, jika memang hal itu merupakan hal yang tak bisa dihindari pemerintah dan buruh sendiri tentunya punya waktu untuk melakukan langkah-langkah antisipasi sehingga kegiatan industri yang ada tidak serta merta membunuh lahan hidup kaum buruh maupun ekonomi daerah dan nasional secara umum.
Inti penting dari tulisan ini adalah, negara yang berdaulat tak kendor oleh ancaman sekelompok orang, sekalipun itu atas nama kelas atau kelompok pengusaha. Semoga memasuki tahun 2013 kita tidak lagi digentarkan oleh kekuatan modal yang selalu mengancam kehidupan anak bangsa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H