Salah satu contoh, jika ingin boikot PPN telepon seluler atau penggunaan jasa internet misalnya, pada saat pembayaran selalu melekat PPN sebesar 10% dari jumlah tagihan pemakaian jasa. Demikian juga dengan barang-barang lain yang beredar di pasaran, selalu melekat padanya PPN yang 10%, tentunya terkecuali tehadap barang yang beredar secara gelap.
Dalam soal PPN ini, yang mungkin terjadi adalah pengelabuan jumlah dan nilai barang/jasa oleh pengusaha saat memberikan laporan (SPT masa) sehingga yang mungkin terjadi adalah memanipulasi jumlah setoran dari yang seharusnya.
Jadi, dalam urusan PPN, bagi individu-individu yang ingin boikot PPN cara satu-satunya adalah menghentikan konsumsi barang maupun jasa. Mungkin ada baiknya juga, untuk menekan tingkat konsumsi yang terus meninggi.
Bersandingan dengan PPN adalah PPN BM, yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang dianggap sebagai barang mewah seperti Mobil, Televisi, dll yang ditentukan oleh Menkeu. Perbedaannya adalah besaran persentase pengenaannya yang beda untuk tiap-tiap jenis barang. Sifatnya mirip dengan PPN sehingga untuk boikot kecillah peluangnya.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Nah, ini dia pajak yang memiliki ruang yang sangat besar untuk diboikot. Pajak ini disetor sendiri oleh subjek pajak, entah itu pemilik ataupun yang menguasai objek (tanah dan/atau bangunan). Tiap tahun dikirimkan surat pemberitahuan besaran nilai PBB terutang kepada subjek pajak, kemudian subjek pajak sendiri yang menyetorkannya ke bank persepsi (bank yang ditunjuk oleh DJP).
Resiko boikot adalah, selain meningkatkan jumlah kumulasi denda disamping itu akan mengalami kesulitan jika objek (tanah dan bangunan) ingin dipindah tangankan atau dijual. Saat ini, untuk jual beli tanah dan/atau bangunan harus menyertakan bukti setor PBB.
4. Bea Materai
Bea materai ini jumlahnya kelihatannya kecil. Sebagian besar warganegara yang sudah dewasa mengenal materai. Materai ini biasanya digunakan untuk menguatkan sebuah dokumen seperti perjanjian, bukti bayar, dsb. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap bahwa penerimaan negara dari materai ini tidak seberapa, karena beranggapan bahwa materai jarang digunakan. Padahal penggunaan materai tidaklah hanya materai tempel yang selama ini diketahui banyak orang.
Tanpa kita sadari, tiap bulan kita berurusan dengan materai. Diantaranya dalam tagihan-tagihan perbankan, yang dikirimkan setiap bulan telah dikenakan bea materai antara Rp 3000 s.d. Rp 6.000. Di sini tidak dikenaan materai tempel, melainkan materai dengan cara tera, dimana masing-masing bank telah memiliki ijin berlangganan materai. Jika nasabah bank ada ratusan ribu yang dikirimkan tagihan tiap bulannya, sudah bisa dibayangkan berapa bea materai.
Dari gambaran tersebut di atas, bea materai sebagai iyuran wajib yang dipaksakan tidak ada celah untuk memboikotnya. Bank tidak akan mungkin memboikot penggunaan materai oleh karena dengan demikian transaksinya tidak akan sah. Demikian juga dokumen lainnya yang lazim pakai materai tidaklah akan dihindari dengan sengaja oleh pengguna dokumen karena akan berakibat batalnya dukumen yang mereka gunakan.