Di tengah sikap skeptis tersebut, Jokowi-JK tampil sebagai figur yang memberi harapan dengan menggerakkan peran relawan. Pasangan ini mengesampingkan peran partai sebagai mesin politik untuk meraup suara pada Pilpres 2014. Hal ini ditunjukkan dengan mengurangi rapat-rapat umum dan pawai sebagaimana terjadi pada pilpres sebelumnya. Disamping itu, jika ada pengerahan massa dilakukan dengan tidak menghadirkan bendera partai politik pengusung pasangan.
Strategi yang mengedapankan fungsi relawan ini ternyata mampu mendobrak kejenuhan dan sikap apatis massa terhadap politik. Ini dibuktikan dengan ramainya even-even kampanye Jokowi-JK yang diselenggarakn oleh komunitas relawan. Termasuk even yang diselenggarkan secara independen  oleh  artis ibu kota dengan tajuk Revolusi Harmoni.
Dengan mengedepankan fungsi relawan, maka rakyat dengan berbagai kreatifitas, gagasan dan harapannya dihadirkan sebagai seubjek sekaligus pusat kegiatan politik. Partai dengan atribut dan aktifinya justru hanya menjadi aksesoris. Dengan demikian kejenuhan masyarakat terhadap politik serta sikap apriori terhadap partai berhasil didobrak oleh pasangan Jokowi-JK, sehingga mereka mampu meraih kemenangan yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014 yang lalu.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tim Prabowo-Hatta Rajasa. Pasangan ini  kalah start dalam mengedepankan fungsi relawan. Walaupun pada prakteknya pasangan Prabowo-Hatta, juga melibatkan relawan, namun mereka gagal untuk membangun citra bahwa mereka juga didukung oleh komunitas relawan. Pasangan ini tak bisa menyembunyikan fakta bahwa mereka diusung oleh Partai Politik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa aktifitas komunitas-komunitas relawan inilah yang aktif mendorong partai, khususnya PDIP, untuk mengusung Jokowi sebagai calon Presiden pada Pemilu 2014.
Faktor kedua yang membuat komunitas relawan pengusung Jokowi-JK lebih semarak adalah karena pernyataan Jokowi sendiri beberapa hari setelah diberi mandat oleh Megawati Soekarnoputri, bahwa ia mengandalkan relawan meraih dukungan masyarakat pemilih. Hal ini tentunya bertitik tolak dari pengalaman Jokowi mengandalkan relawan dalam pertarungan menuju Gubernur DKI pada tahun 2012.
Komitmen Jokowi-JK Terhadap Relawan
Pasca ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan pemenang Pilpres 2014 maupun pasca penolakan gugatan Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, Jokowi-JK tetap menempatkan relawan sebagai basis dukungan politiknya. Jokowi maupun Jusuf Kalla dalam pernyataan mereka senantiasa mengingatan relawan untuk tidak bubar pasca pilpres dan mengharapkan relawan menjadi kekuatan yang mengawal program kerja pemerintahan yang akan mereka nakhodai kelak.
Komitmen ini dikuatkan pula secara tak langsung oleh pernyatan Jokowi yang mengharapkan agar dalam kabinet Jokowi-JK kelak tidak diisi oleh  personel yang merangkap jabatan sebagai pengurus partai. Pernyataan ini bukan berarti bahwa Jokowi ingin relawan yang mengisi kabinet, melainkan ini berarti bahwa Jokowi-JK tetap masih ingin menghindari kontaminasi partai dalam penyelenggaraan pemerintahannya kelak. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah karena sudah menjadi tradisi lama dalam prakek politik kita.
Sikap ini sudah mulai direaksi oleh beberapa tokoh partai politik pengusung Jokowi-JK. Ketika tidak tercapai konsensus pada saat penyusunan kabinet kelak, maka tidak mustahil terjadi perlawanan dari partai pendukung yang niscaya akan melemahkan legitimasi formal pemerintahan Jokowi-JK.
Saat kehilangan legitimasi formal dari partai pengusung inilah kelak, peran relawan akan dibutuhkan lagi oleh pemerintahan Jokowi-JK. Untuk itu komitmen Jokowi-JK terhadap perlunya kehadiran relawan saat menjalankan pemerintahan kelak, tentu tak bisa dianggap sebagai basa basi politik semata. Jika komitmen ini tetap terjalin dipraktekkan, dimana relawan dan pemerintahan Jokowi-JK sebagai entitas politik yang tak bisa dipisahkan, Â maka hal ini akan menghadirkan paradigma baru di kancah politik kita.