Mohon tunggu...
Nabil Azra
Nabil Azra Mohon Tunggu... Desainer - penyuka desain dan menulis

Memaknai desain-Sebuah dunia tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kelompok Rentan dalam Pusaran Transisi Energi Berkeadilan

20 Juni 2024   23:34 Diperbarui: 20 Juni 2024   23:42 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan dalam pusaran transisi energi sumber gambar IUCN

Sebuah survei publik yang dilakukan oleh Pew Research Center for People & the Press menemukan fakta bahwa setelah film dokumenter An Inconvenient Truth dirilis, kesadaran orang di Amerika meningkat terhadap lingkungan meningkat dari 41% menjadi 50%.

Dan sejak Paris Agrement atau Persetujuan Paris disepakati, banyak negara yang mau tidak mau harus menentukan kebijakan yang kongkrit dalam penanganan masalah lingkungan, apalagi yang berkaitan dengan pengurangan emisi menuju Nol Emisi (Zero Emision) pada tahun 2050.

Apalagi dampak paling nyata yang dirasakan di banyak negara, adalah kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, lanjut usia (lansia), penduduk miskin, dan masyarakat adat.

Perempuan, Pilar Transisi Energi yang Terlupakan

Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, transisi energi menjadi keniscayaan bagi kita. Namun, transisi ini tidak sekedar mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan keadilan energi. Peran perempuan sebagai agen perubahan menjadi kunci untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan inklusif itu.

Namun perempuan, khususnya di daerah pedesaan dan terpencil, seringkali memiliki keterbatasan akses terhadap informasi, teknologi, dan sumber daya energi, akibatnya mereka lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan tertinggal dalam transisi energi.

Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman unik dalam mengelola sumber daya alam dan energi di tingkat komunitas. Mereka seringkali menjadi pengambil keputusan utama dalam hal penggunaan energi di rumah tangga dan terlibat dalam berbagai kegiatan terkait energi, seperti pengumpulan kayu bakar, memasak, dan penerangan.

Hal paling mendasar dari peran perempuan dalam transisi energi adalah bahwa perempuan adalah penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga. Perempuan juga sebagai pencari sumber energi alternatif, ketika ketiadaan energi terjadi.

Namun, sejauh ini perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan keseharian atau ranah domestik. Padahal perempuan memiliki peran penting dalam proses transisi energi. Sehingga dalam praktiknya kita melihat para perempuan juga terlibat aktif dalam penggunaan energi terbarukan seperti panel surya, biomassa dan biofuel dari hasil pertanian.

Sehingga paradigma transisi energi yang hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, akan membuat kelompok rentan semakin terpinggirkan. Kemiskinan di kalangan perempuan akan semakin tampak karena kebijakan energi tidak berperspektif gender. Dan peran perempuan juga akan semakin jauh dari masalah energi.

Namun, keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan implementasi program transisi energi justru masih minim. Kesenjangan gender dalam akses informasi, teknologi, dan modal menghambat partisipasi penuh mereka. Belum lagi adanya budaya patriarki dan norma sosial yang diskriminatif sebagai batu sandungannya.

Sebenarnya di Indonesia, pengarusutamaan gender dalam transisi energi bukan hal baru, hanya saja dalam pemerintahan, pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara tahun 2023, contohnya di KESDM, kepemimpinan perempuan hanya berkisar 10%.

Maka GEDSI harus menjadi prioritas dalam kebijakan dan tata kelola energi di Indonesia. Termasuk pemberian ruang bagi kelompok rentan untuk mengakses energi bersih berkelanjutan. Serta penguatan dan percepatan pembangunan di sektor energi, dengan menempatkan gender specialist dalam program-program energi.

Partisipasi perempuan harus dijamin dalam mengawal transisi energi adil. Apalagi di dalam Bali Energy Transition Roadmap G20, termuat pelibatan masyarakat dan kesetaraan gender beserta aspek perilaku dan kualitas hidup.

Jaminan juga terdapat dalam Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition Partnership Indonesia [CIPP JETP] 2023. CIPP merupakan dokumen strategi yang akan digunakan Pemerintah Indonesia sebagai dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan kerangka JETP.

GEDSI Sebagai Kunci Pembuka Kesenjangan

Bagaimanapun jalan yang paling realistis dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah dengan memberikan akses yang lebih besar terhadap kelompok rentan, utamanya perempuan dalam transisi energi dengan mempertimbangkan aspek sosial, seperti kesetaraan gender, inklusi disabilitas, dan inklusi sosial atau GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion).

Penerapan prinsip GEDSI dalam transisi energi menjadi kunci untuk membuka jalan bagi partisipasi perempuan yang lebih luas. Agar dapat meminimalisir kesenjangan sehingga kita bisa lebih fokus pada kelompok rentan yang menjadi sasaran prioritasnya.

Apalagi masyarakat kelompok rentan memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Program transisi energi harus bersifat inklusif yang menjangkau semua kalangan termasuk kelompok rentan--para disabilitas.

Prinsip inklusifitas berarti bahwa no one left behind harus dapat dijalankan di seluruh tahapan transisi energi. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi transisi energi yang menjamin bahwa semua kelompok masyarakat memperoleh akses, kontrol, pengaruh, dan manfaat yang adil dari pemanfaatan energi terbarukan.

GEDSI menjadi cara kita mengatasi ketidakadilan sistem energi saat ini. Terutama perempuan yang belum banyak dilibatkan secara optimal dalam pembangunan di sektor energi. Padahal perannya sangat besar disektor domestik yang berpengaruh kepada kesejahteraan keluarga dan sosial.

Namun yang paling menarik dari keberadaan GEDSI adalah perannya sebagai perlindungan sosial (social safeguards) terutama untuk mencegah potensi dampak dari transisi energi.

Apalagi seperti dirilis oleh IRENA (2023), transisi energi di Indonesia berpotensi menghilangkan 1,94 juta pekerjaan di sektor energi fosil pada tahun 2030 berdasarkan skenario pemenuhan target Persetujuan Paris.

Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan GEDSI dalam transisi energi diarahkan agar pemanfaatan energi terbarukan memprioritaskan keseimbangan gender, partisipasi, dan kepemimpinan perempuan. Terutama dengan melibatkan perempuan dalam pembahasan kebijakan dan perencanaan pembangunan terkait transformasi energi di tingkat nasional dan daerah .

Perempuan tidak hanya sebagai konsumen energi, mereka juga berperan sebagai energy professional dan energy entrepreneur.

Sebagai energy professional, perempuan terlibat dalam beberapa proyek energi terbarukan seperti berperan sebagai operator atau teknisi listrik untuk instalasi dan pemeliharaan pembangkit di desa-desa. Dan sebagai energy entrepreneur, para perempuan terlibat dalam lingkup bisnis yang berkaitan dengan proyek transisi energi dan turunannya seperti penyediaan lampu listrik.

Dan untuk mencapai tujuan tersebut, kita harus memastikan akses yang setara bagi para perempuan dalam mengakses informasi, teknologi, dan peluang dalam transisi energi. 

Suara perempuan harus didengar dan dipertimbangkan dalam semua tahap proses transisi energi, dari perencanaan hingga implementasi. Dengan memberikan ruang bagi perempuan dalam mengambil peran kepemimpinan dalam inisiatif transisi energi di semua tingkatan.

Dengan dukungan kapasitas dan keterampilan melalui pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan mereka dalam bidang energi terbarukan dan efisiensi energi.

Implementasi GEDSI dalam transisi energi harus efektif dan inklusif. Dukungan partisipasi perempuan dalam transisi energi harus terus didorong karena peran perempuan adalah kunci untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.

OXFAM dalam Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan yang Inklusif

OXFAM memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi yang berkeadilan dan inklusif di Indonesia melalui berbagai program dan advokasi. Program-program OXFAM telah memberikan dampak positif bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya, membantu berpartisipasi secara aktif dalam transisi energi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Termasuk mendorong pengarusutamaan gender dalam kebijakan energi melalui partisipasi aktif dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Strategi Nasional Pengembangan Energi Terbarukan (SNPT).

Seperti Program "Empowering Women in Renewable Energy", kerjasama dengan Kementerian ESDM untuk melatih perempuan di pedesaan tentang teknologi energi terbarukan dan membantu membangun usaha di bidang ini.

Program "Women's Energy Access and Livelihoods" yang menyediakan akses energi terbarukan yang terjangkau dan andal bagi perempuan di komunitas pedesaan terpencil, serta membantu mereka mengembangkan usaha kecil yang terkait dengan energi.

Dan Program "Gender and Climate Change Advocacy" untuk penguatan kapasitas organisasi perempuan untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dalam konteks perubahan iklim dan transisi energi.

Serta penguatan kapasitas dan keterampilan perempuan melalui berbagai pelatihan dan workshop untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan di bidang energi terbarukan dan efisiensi energi.

Termasuk penyediaan platform bagi perempuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka tentang transisi energi.

Peningkatan akses energi bagi kelompok rentan bekerja sama dengan komunitas lokal untuk menyediakan akses energi terbarukan yang terjangkau dan andal bagi kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.

Serta advokasi hak-hak perempuan dalam konteks transisi energi, seperti hak atas akses energi yang adil, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait energi, dan hak atas lingkungan yang sehat.

Analisis Perusahaan Konsultan Global Boston Consulting Group (BCG) menyarankan untuk melibatkan perempuan secara penuh dalam bidang pertanian, STEM (science, technology, engineering, and mathematics), serta kewirausahaan ramah lingkungan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Dengan mengambil tindakan di tiga bidang itu dapat mengurangi emisi global sebesar 1,5 gigaton per tahun---jumlah yang setara dengan gabungan total emisi tahunan di Indonesia, Afrika Selatan, dan Brasil. 

Langkah-langkah ini juga akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) global sebesar hampir 2%. Artinya bahwa benar peran perempuan memang signifikan dalam transisi energi adil dalam pembangunan energi yang berkelanjutan.

referensi: 1,2,3,4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun