Nonton konser, dengar musik musisi tertentu, sama seperti hobi-hobi lainnya, mempertemukan orang-orang satu hobi dalam satu tempat. Seiring bertambahnya usia, ini jadi salah satu kebutuhan hidup paling penting untuk tetap waras di tengah gempuran kesibukan dunia.
Hobi dan interest spesifik membuat kita merasa lebih hidup dan punya motivasi untuk menikmati, serta mengejar dan menunggu sesuatu.
Faktanya, ada lho orang yang tidak punya hobi dan interest sesuatu.
Obrolan soal pentingnya hobi ini belakangan kerap melintas juga di media sosial Twitter. Ketika seseorang tidak punya hobi dan interest, tak jarang mereka menggantungkan kebahagiaan pada orang di sekitarnya, terutama pasangan. Hal-hal seperti ini tak jarang berujung kekecewaan dan stres.
Sebenernya justru itu pentingnya istri juga punya/mempertahankan pertemanan, biar suami nggak jadi satu-satunya yg jadi tempat sambat. Sering dapet klien cerita mental health mereka kacau, pas dikorek, hidup mereka isolated, hanya untuk anak dan suami. Hobi pun ga ada lagi. https://t.co/8Goao8Y7t6— Ayu Sasih (@YuuSasih) July 13, 2023
Ketika nonton Dream Theater di Jakarta Mei 2023 kemarin, saya janjian dengan seorang teman, yang kemudian dia mengajak temannya lagi, dan temannya itu mengajak temannya lagi. Kami pulang bareng naik satu mobil.Â
Dengan vibe konser yang masih tersisa, sepanjang jalan kami memutar lagi lagu-lagu lainnya dari Dream Theater dan karaokean, lalu ganti lagi lagu musisi lain yang ternyata juga sama-sama kami dengar, atau setidaknya suka, ya karena selera musik kami serupa.
Lucu rasanya berkali-kali dari mulut kami terlontar kalimat semacam "ya ampun selama ini nggak ada yang bisa diajak ngorbol soal ginian". Saya termasuk salah satunya.Â
Biasanya, cara mencari teman "sefrekuensi" soal musisi kesukaan adalah kolom komen YouTube, meskipun ya rasanya kurang jika dibandingkan dengan interaksi dunia nyata. Mungkin tidak semua mengalami hal ini, tapi mungkin musisi idola saya cukup niche, jadi susah bertemu orang satu frekuensi di sekitar. Nah, kapan lagi ketemu dengan orang-orang seperti ini? Ya tentu saja konser!
Di waktu lainnya, saya bertemu seorang mas-mas yang usianya saya taksir 35-40 tahunan asal Surabaya yang saya temui saat nonton Dream Theater di Manahan, Solo jadi salah satu yang paling berkesan di segelintir perjalanan perkonseran saya.Â
Mas-mas ini, sebut saja Anton, bercerita pada saya (dan juga beberapa penonton lain di sekitarnya yang dikenal di venue karena bersebelahan) tentang konser-konser musisi internasional yang pernah didatanginya, terutama band rock-metal. Saking banyaknya yang disebut, saya sampai tidak ingat.