Menurut BNPB, bencana alam adalah serangkaian ancaman dan gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau  non alam dan manusia sehingga menimbulkan korban jiwa,  kerusakan lingkungan, dan hilangnya harta benda, serta efek psikologis.Â
Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Pengertian kebakaran hutan dan lahan itu sendiri adalah peristiwa kebakaran baik yang terjadi akibat alam maupun non alam yang ditandai dengan meluasnya api secara bebas dan konsumsi bahan bakar hutan dan lahan yang dilaluinya (Adinugroho et al., 2004).
Undang- Undang   Nomor   24   tahun   2007   tentang   Penanggulangan   Bencana menyebutkan  bahwa  bencana kebakaran  hutan  merupakan  salah  satu  potensi  bencana  yang disebabkan  oleh  faktor  alam  maupun  nonalam. Salah satu faktor alam yang dapat menyebabkan kebakaran adalah El Nino.Â
El Nino dapat menyebabkan kekeringan jangka panjang di beberapa daerah. Kekeringan pada akhirnya mempengaruhi kekeringan tanaman sehingga tanaman akan memiliki potensi fungsi bahan bakar ketika terkena api. Percikan ini menyebabkan apa yang disebut kebakaran tanah dan permukaan.Â
Faktor tidak wajar yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan adalah faktor manusia itu sendiri. Mereka yang  menebang pohon secara berlebihan dan memiliki jiwa serakah akan menguras lahannya, yang bisa menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan.
Kebakaran hutan dan lahan memang berdampak besar bagi kehidupan kita. Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan yang meluas dari sudut pandang ekonomi dan ekologi.Â
Dari segi ekonomi, kebakaran hutan menyebabkan hilangnya potensi hutan yang biasanya digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, kebakaran hutan menyebabkan kerugian negara yang sangat besar.Â
Kerusakan ekologis yang diperkirakan akibat  kebakaran hutan meliputi terjadinya pencemaran udara, berkurangnya tutupan hutan, dan hilangnya fungsi ekologis hutan sebagai penyangga alam. Selain kerusakan ekonomi dan ekologi, kebakaran juga dapat merusak hubungan antar negara tetangga, karena asap yang dihasilkan dapat mencapai negara tetangga.      Â
Untuk meminimalkan dampak  kebakaran hutan,  kawasan hutan perlu dikelola dan dipantau agar dampak  kebakaran hutan tidak meluas dan pergerakannya terkendali.Â
Salah satu cara  untuk memantau kebakaran hutan adalah dengan menggunakan salah satu kekuatan informasi geografis: penginderaan jauh. Sistem penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau kebakaran hutan. Sistem ini memungkinkan pemantauan jarak jauh karena seharusnya tidak secara langsung memantau area kebakaran hutan yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau menggunakan berbagai satelit Penginderaan Jauh seperti NOAA-AVRR (National Oceanic and Admospheric Administration -- Advanced Very High Resolution Radiometer).
 Satelit tersebut akan mendeteksi asap melalui indikasinya terhadap hotspot atau titik api. Selain menggunakan satelit NOAA-AVRR, deteksi tentang kebakaran hutan juga bisa menggunakan satelit Landsat yang penggunaannya telah dilakukan sejak tahun 1980-an.
Titik panas di Indonesia saat ini di monitoring melalui satelit bertipe polar yaitu satelit Suomi NPP, Terra dan Aqua (LAPAN, 2016). Satelit  Terra  dan  Aqua  menggunakan sensor  MODIS  (Moderate  Resolution  Imaging Spectroradiometer)   dan   satelit   Suomi   NPP menggunakan  sensor  VIIRS  (Visible  Infrared Imaging   Radiometer Suite)   untuk   deteksi kebakaran  hutan  dan  lahan.
Penginderaan Jauh juga dapat berkolaborasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk membuat output informasi berupa peta. Kemampuan teknologi PJ dan SIG dalam fungsi-fungsi seperti pemodelan, pengukuran, pemantauan dan pemetaan dapat memberikan status inventarisasi sumber daya yang sebenarnya, khususnya sumber daya hutan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H