Mohon tunggu...
Nabilla Rizki Aisyah
Nabilla Rizki Aisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Learning is the key to growth

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengurai Dampak Depresiasi Rupiah 'Harga Impor Melonjak, Inflasi Meningkat, dan Daya Beli Melemah' Bagaimana Indonesia Bertahan?

14 Januari 2025   20:27 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:27 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS, memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Kurs rupiah per dolar AS masih di atas angka Rp. 16.000 pada pekan ketiga Januari 2025. Hal ini secara kontinyu terjadi setelah tragedi pandemi Covid-19 beberapa silam lalu.

Selain itu depresiasi rupiah terjadi karena adanya ketegangan konflik antara Israel dan Iran di Timur Tengah yang terjadi pada beberapa bulan lalu di tahun 2024. Pada saat itu sejumlah pakar khawatir akan mmuncul dampak yang dapat mengguncang perekonomian Indonesia mendatang. Sebab aksi saling menyerang tersebut, dan tindakan dari The Federal Reserve -- bank sentral AS, yang berupaya mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, dirujuk dapat memberikan peran besar dalam pelemahan rupiah belakangan ini.

"Konflik di Timur Tengah meningkatkan ketidakpastian global, menyebabkan investor menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi, terutama dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata.

Nilai rupiah yang melemah dikhawatirkan mempengaruhi harga impor barang meningkat, termasuk juga bahan baku industri, serta dapat memicu terjadinya inflasi dan pada akhirnya ikut melemahkan daya beli masyarakat. Dampak kenaikan impor dan pangan kemungkinan akan terasa cepat, berbeda dengan kebijakan pemerintah atau Bank Indonesia untuk menurunkan/menaikkan suku bunga, dampaknya bisa saja terasa beberapa bulan mendatang.

Separah apa rupiah melemah?

Nilai tukar rupiah per dolar AS tembus Rp. 16.000-Rp.16.100 pada perdagangan kurs (31/12). Sampai dengan saat ini berkelanjutan mengalami depresiasi hingga menyentuh angka Rp.16.298 pada Senin (13/01), data merujuk pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia.

Melemahnya rupiah kali ini disebabkan oleh beberapa hal,

The Fed yang merupakan bank sentral AS akan berhati-hati ketika ingin menurunkan suku bunga acuannya, sebab tindakan yang dilakukan ialah masih di fase bertahan dengan acuan bunga nya guna meredam laju inflasi yang terjadi di AS. Maka selama kebijakan terrsebut masih dilakukan, investor secara global lebih tertarik menaruh uang di pasar dolar AS, maka permintaan akan mata uang tersebut semakin tinggi sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara lain, seperti halnya Indonesia.

Lalu terjadinya konflik Israel-Iran yang sempat menegang. Pasalnya pada (13/04/24) Iran menggempur Israel menggunakan lebih dari 300 rudal dan juga drone sebagai aksi balasan serangan Israel ke Konsulat Iran.

Adanya konflik Israel-Iran akan mengganggu rantai pasokan minyak global, apabilan Iran sampai membuat keputusan untuk memblokade Selat Hormuz, yang kerap digunakan sebagai jalur pengiriman minyak dunia. Investor mengatakan, Indonesia akan berisiko karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak.

Apa yang terjadi apabila rupiah melemah?

Jika nilai tukar rupiah melemah, harga barang impor juga akan melonjak. Yang menjadi masalah ialah sekitar 90% impor Indonesia terdiri dari bahan baku untuk aktivitas produksi dalam negeri. Melemahnya kurs rupiah membuat biaya produksi dan ongkos logistik para pengusaha makanan dan minuman melonjak, menurut bbc news.

Konsekuensi yang akan merasakan imbas dari kenaikan harga barang-barang adalah konsumen. Sebab kenaikan harga barang bisa menyebabkan inflasi. Dan jika inflasi cukup besar, maka akan mendorong terjadinya penurunan daya beli.

Pentingnya langkah pemerintah untuk menjaga daya beli sebab lebih dari separuh ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga, yakni pengeluaran barang dan jasa yang bertujuan untuk konsumsi.

Kenaikan harga minyak pun dapat memicu terjadinya peningkatan inflasi, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia yang terkena dampaknya. Oleh sebab itu, bank sentral dari berbagai negara termasuk The Fed AS, bisa jadi menaikkan acuan bunga nya untuk meredam inflasi.

Bank Indonesia setiap bulannya menentukan suku bunga acuan, sebab bank umum tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan besaran suku bunga pinjaman melebihi acuan yang sudah ditetapkan BI. Saat suku bunga naik, maka pelaku usaha lebih senang menyimpan uang di bank sebab bunga tabungan juga akan meningkat. Hal tersebeut menyebabkan belanja masyarakat dan jumlah peredaran uang akan menurun, secara teori memang dapat menurunkan inflasi, akan tetapi sisi negatifnya ialah perputaran ekonomi akan terhambat.

Seperti apa respons pemerintah dan Bank Indonesia?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yaitu Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah tidak akan diam melihat konflik yang dinilai sebagai pemicu dampak-dampak dia atas. Pemerintah akan mengambil kebijakan strategis agar perekonomian Indonesia tidak terdampak lebih jauh.

Adapun kebijakan yang dilakukan adalah pemerintah wajib memantau dari sisi sektor riil. Pemantauan harga-harga kebutuhan pokok yang ada di pasar wajib dilakukan, apabila ada distorsi pasar maka pemerintah diharuskan untuk intervensi.

Lalu instrumen kebijakan yang lain adalah fiskal, kebijakan ini dijaga agar pengeluaran produktif mampu membantu masyarakat bawah dan rentan. Kebijakan fiskal yang baik ialah mampu mengendalikan defisit.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun meminta sejumlah BUMN untuk mengendalikan impor serta bertransaksi menggunakan dolar AS secara terukur dan sesuai kebutuhan. BUMN yang dimaksud utamanya adalah mereka yang memiliki utang luar negeri besar dalam dolar AS seperti Pertamina, PLN, dan Mineral Industri Indonesia (MIND ID).

Di sisi lain, Bank Indonesia akan terus berupaya menjaga stabilitas rupiah, termasuk dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing, atau bisa disebut menjual cadangan devisa untuk mendorong nilai rupiah lebih kuat.

Bank Indonesia pun akan melakukan "pengelolaan aliran portfolio asing yang ramah pasar", kata Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia.

Selain itu Bank Indonesia (BI), mengambil kebijakan yakni menurunkan suku bunga acuan dari 6,25% menjadi 6% ketika melihat adanya inflasi yang rendah. Tepatnya pada akhir bulan Agustus hingga dengan saat ini (13/1/25)

Komitmen pemerintah untuk tetap menjaga defisit fiskal di bawah 3% dari PDB (produk domestik bruto) harus dipertahankan. Sinergi antarlembaga dan otoritas terkait menjadi kunci utama bagi implementasi bauran kebijakan yang mendukung ketahanan sistem keuangan dan ekonomi nasional terhadap ketidakpastian ekonomi global.

Apa yang sedang (dan akan) dilakukan bank sentral melalui sejumlah kebijakan moneternya menunjukkan konsistensi BI dalam mempertahankan stance kebijakan moneter yang preemptive dan ahead the curve.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun