a. Aturan Primer dan Sekunder
Hart membedakan antara aturan primer yang langsung mengatur perilaku, dan aturan sekunder yang mengatur cara aturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan. Di Indonesia, aturan primer dapat ditemukan dalam berbagai hukum substantif seperti hukum pidana dan perdata. Aturan sekunder tercermin dalam proses legislasi dan peran lembaga-lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Perkembangan hukum Indonesia terus berusaha memperbaiki aturan sekunder melalui reformasi proses perundang-undangan dan penguatan lembaga hukum. Namun, tantangan tetap ada terkait konsistensi dan penerapan hukum. Misalnya, masih ada ketidaksepakatan tentang kewenangan antara lembaga-lembaga tinggi negara dalam beberapa kasus.
b. Aturan Pengakuan (Rule of Recognition)
Dalam teori Hart, aturan pengakuan menentukan validitas hukum dalam suatu sistem. Di Indonesia, aturan pengakuan berasal dari UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, yang menjadi dasar validitas peraturan lainnya. Namun, dalam praktiknya, terdapat perdebatan tentang pengakuan hukum lain, seperti hukum adat dan agama, yang masih diterapkan secara paralel dengan hukum nasional.
Ketika hukum adat atau agama bertentangan dengan hukum positif, sering muncul pertanyaan tentang otoritas hukum mana yang lebih dominan. Di sini, pandangan Hart membantu menganalisis bagaimana aturan pengakuan di Indonesia perlu diperjelas untuk menghindari konflik antar sistem hukum.
c. Hukum dan Moralitas
Hart menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas, meskipun dia mengakui bahwa hukum dapat mencerminkan moralitas masyarakat. Di Indonesia, hukum sering kali tidak hanya dipengaruhi oleh moralitas, tetapi juga oleh norma agama, terutama dalam isu-isu sosial seperti hukum keluarga dan perlindungan moral.
Misalnya, penerapan hukum syariah di Aceh atau Undang-Undang Anti Pornografi mencerminkan bahwa hukum Indonesia sering kali dipengaruhi oleh norma moral tertentu. Dari sudut pandang Hart, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa hukum tetap rasional dan tidak terlalu dipengaruhi oleh nilai moral yang subjektif atau sektarian.
d. Penalaran Hukum
Hart menyatakan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam menafsirkan hukum, terutama dalam kasus yang sulit atau ketika aturan tidak jelas. Di Indonesia, peran hakim dalam menafsirkan hukum sangat penting, terutama di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang sering kali harus menafsirkan undang-undang dalam konteks sosial dan politik yang dinamis. Konsistensi dan objektivitas dalam penafsiran hukum, menurut Hart, adalah kunci untuk menjaga legitimasi hukum di mata masyarakat.