Mohon tunggu...
Nabila zuhra
Nabila zuhra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Psikologi, USK

Mahasiswi Fakultas Kedokteran, Program Studi Psikologi, Universitas Syiah Kuala.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Toxic Masculinity: Laki-laki Tidak Boleh Nangis?

28 Februari 2024   11:15 Diperbarui: 28 Februari 2024   11:17 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Alban Hulber 

Banyak orang-orang di sekitar kita menyebutkan bahwa laki-laki harus kuat, tahan banting, dan tidak boleh nangis. Hal ini disebut dengan toxic masculinity atau maskulinitas toksik.

Toxic masculinity merupakan tekanan budaya patriarki yang tidak jarang menghasilkan gangguan mental pada laki-laki. Salah satu bentuk tekanan toxic masculinity adalah keharusan pria untuk menekan emosi mereka agar tidak terlihat lemah. Toxic masculinity mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki. Di masyarakat, laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh lingkungan sosial, pertemanan, bahkan dunia sosial media.

American Psychological American atau disingkat APA menerbitkan APA Guidance for Psychological Practice with boys and man yang berisi sepuluh masalah yang dihadapi anak laki-laki dan pria dewasa. Salah satunya adalah bagaimana maskulinitas mempengaruhi pola pikir dan cara bertindak laki-laki. Pakar psikologis, Shepherd Bliss (as cited in Sculos, 2017) menggunakan istilah toxic masculinity untuk membedakan nilai positif dan negatif dari maskulinitas itu sendiri. Maskulinitas tidak selalu buruk, tetapi jelas beberapa penerapannya dapat membawa dampak yang tidak baik. Misalnya, studi tentang pria di Amerika Utara dan Eropa yang menjelaskan bahwa pria yang mengonsumsi minuman beralkohol seringkali bertujuan untuk memenuhi harapan sosial tertentu mengenai kejantanan atau maskulinitas hingga kemudian menimbulkan dampak negatif pada kesehatan (Lemle & Mishkind, 1989).

Lalu, bagaimana konsep toxic masculinity ini memengaruhi kesehatan mental pria?

Konsep maskulinitas ini terus ada karena kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Hal ini membuat laki-laki lebih banyak menyimpan perasaanya daripada meluapkannya kedalam bentuk-bentuk yang telah diberikan label "sangat perempuan", seperti menangis.

Labeling seperti itu memang sudah terjadi lama sekali, tetapi bukan berarti hal tersebut benar dan baik-baik saja.  Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono, 1994). Pemahaman dari  hasil labeling tersebut secara turun-temurun terus dibawa dan dianggap sebagai hal yang benar dan tanpa disadari mengakibatkan dampak buruk terhadap beberapa hal. 

Salah satu dampak dari labeling adalah laki-laki cenderung kesulitan mengekspresikan emosi dan merasa khawatir akan dinilai ini itu oleh orang lain atau dirinya sendiri. Menyadari bahwa diri sendiri tidak sekuat itu bisa saja sedikit menyakiti harga diri laki-laki. Laki-laki juga bisa merasa khawatir ketika memperlihatkan emosi nya di depan orang lain maka hilang sudah gambaran real men yang selama ini dibangun.

Toxic Masculinity merujuk pada konstruksi laki-laki untuk berperilaku dengan cara yang "tepat" menurut, dan dapat diterima oleh masyarakat. Tekanan yang dirasakan terus menerus akan memasuki bawah sadar dan menjadi perasaan yang biasa dirasakan oleh laki-laki yang mana dapat membahayakan keseimbangan emosional, psikososial, kesejahteraan, dan kesehatannya.

Perlu diketahui bahwa menangis dan berkeluh kesah berlaku bagi tiap gender untuk meluapkan emosi dan tekanan dalam diri. Ada banyak alasan mengapa menangis seharusnya menjadi hal yang wajar dilakukan semua orang, laki-laki ataupun perempuan. Sedih adalah perasaan yang normal dan mengekspresikannya dengan menangis lebih baik daripada hal lain terutama melampiaskannya pada kekerasan. Menangis justru baik sekali untuk meregulasi emosi. Menangis memiliki efek langsung dalam menenangkan diri seseorang, dan meluapkan perasaan emosi dengan air mata dapat melepaskan oksitosin dan endorfin. Zat kimia ini membuat orang merasa lebih baik juga dapat meringankan rasa sakit fisik dan emosional. Dengan cara ini, menangis dapat membantu mengurangi rasa sakit juga meningkatkan well being (Graanin, Bylsma & Vingerhoets,  2014)

Sayangnya, yang sering ditemukan, menangis justru merupakan hal yang tidak ingin laki-laki lakukan karena "idealnya" ketika menghadapi masalah mereka harus terlihat gagah dan tenang. Akibatnya, mereka memilih mengabaikan perasaan mereka dan menganggap bahwa itu adalah hal yang laki-laki memang harus lakukan. Padahal, menerima bahwa sebenarnya kita memiliki perasaan, sedih, dan membutuhkan bantuan adalah keberanian yang sesungguhnya.

Bahkan, toxic masculinity juga berperan besar dalam menciptakan kasus bunuh diri pria yang semakin tinggi. Angka bunuh diri ditemukan lebih tinggi secara konsisten pada laki-laki dewasa dibandingkan dengan perempuan. Penelitian Brown, Ourighli, dan Sullivan (2020) melaporkan angka bunuh diri laki-laki mendominasi sebesar 78% pada semua kasus bunuh diri di Inggris. Hal ini menjadi pertanda bahwa kesehatan mental laki-laki menghadapi suatu masalah.

Ketika laki-laki menghadapi masalah mereka harus terlihat gagah dan tenang. Akibatnya, mereka memilih mengabaikan perasaan mereka dan menganggap bahwa itu adalah hal yang laki-laki memang harus lakukan. Padahal, menerima bahwa sebenarnya kita memiliki perasaan, sedih, dan membutuhkan bantuan adalah keberanian yang sesungguhnya.

Bagaimana kita menghadapi kesedihan dan menerima diri kita ketika memiliki emosi sedih atau marah memang tidak mudah, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya. Kita bisa berbicara dengan teman, keluarga, atau mungkin ahli yang lebih mengerti dan memahami. Cara yang paling mudah  yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesedihan, tentu saja dengan menangis. Karena sadar atau tidak, menangis merupakan bahasa pertama yang digunakan manusia untuk menyampaikan sesuatu didirinya.

Referensi :
Sculos, Bryant W. (2017) "Who's Afraid of 'Toxic Masculinity'?," Class, Race and Corporate Power: Vol. 5 : Iss. 3 , Article 6. DOI: 10.25148/CRCP.5.3.0065

Lemle, R.Mishkind, Marc E. (1989). "Alcohol and masculinity". Journal of Substance Abuse Treatment. 6 (4): 213--22. doi:10.1016/0740-5472(89)90045-7. PMID 26874

American Psychological Association, Boys and Men Guidelines Group. (2018). APA guidelines for psychological practice with boys and men. Retrieved from http://www.apa.org/about/policy/psychological-practice-boys-men-guidelines.pdf

Graanin, A., Bylsma, L. M., & Vingerhoets, A. J. (2014). Is crying a self-soothing behavior?. Frontiers in psychology, 5, 502. doi:10.3389/fpsyg.2014.00502

Pengertian Labeling. (2018) Retrieved May 13, 2019, from http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/111/jtptunimus-gdl-srimulyati-5525-3-babii.pdf

Nabila Zuhra, Mahasiswi Fakultas Kedokeran, Prodi Psikologi, Universitas Syiah Kuala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun