Sri beruntung karena memiliki kakek dan nenek yang luar biasa. Kakek dan neneknya adalah pedagang yang ulung, berkelana dari satu desa ke desa lain dengan menyeberangi sungai. Sri pun diajari untuk mandiri sejak dini, di saat teman-teman lainnya sibuk bermain, ia justru sibuk dengan jualan makanan.Â
Tak hanya diajari mandiri, Sri pun diajari tentang kegamaan dan dipondokkan. Ia pun tumbuh dalam lingkungan pondok yang agamis.Â
"Aku ingin menjadi seperti sahabat Rasulullah yakni Abu Bakar As-Shiddiq yang sangat suka berderma dan sedekah." Itulah jawaban Sri apabila ditanya cita-citanya.Â
Cita-citanya akan dunia pun tak muluk-muluk. Ia hanya berharap setelah lulus bisa langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai ucapan terima kasih kepada kakek dan neneknya yang sudah mendidiknya selama ini.Â
Saat itu, memang masih tabu sekali seorang perempuan berpendidikan tinggi dan berkarir. Stigma tentang perempuan ya kasur, sumur, dan dapur. Tapi beruntung Sri punya kakek dan nenek yang merupakan seorang pedagang dan sudah berkelana bahkan sampai ke pulau Sumatera. Sehingga, membuat pemikiran mereka lebih terbuka.Â
Ditempatkan di Desa Pelosok
Berkuliah saat itu masih menjadi barang mahal bagi orang yang berstatus ekonomi menengah ke bawah. Sri pun harus banting tulang juga agar bisa membayar biaya kuliahnya. Ia berkuliah di Solo dan tinggal di sebuah kos-kosan. Sembari kuliah Sri pun tetap berjualan untuk menambah uang jajannya. Beruntung sekali, pemilik kos dan anak-anaknya sudah menganggap Sri layaknya anak sendiri.
Setelah lulus kuliah, cita-citanya terwujud. Ia langsung diangkat menjadi PNS sebagai guru. Ia ditempatkan di sebuah pelosok desa di Kabupaten Banjarnegara. Desa itu bernama Karangkobar. Letaknya dari ibukota kabupaten berjarak kurang lebih 26 km.Â
Desa Karangkobar berada di pegunungan, perjalanan dari ibukota kabupaten ke Desa Karangkobar melewati kumpulan hutan dan kebun. Masih jarang rumah. Hawa di desa tersebut pun sangat dingin. Sayangnya lagi, hanya ada beberapa kendaraan yang beroperasi.
Sri sangat bersyukur dengan kabar ini. Setidaknya, ia bisa memberikan tanda terima kasih untuk kakek dan neneknya.Â
Wanita Berjilbab Pertama di Desa
Sejak kuliah, Sri sudah berjilbab. Pernah, ia dipanggil oleh dosennya agar ketika mengikuti pelajarannya untuk tidak berjilbab. Kalau masih saja memakai jilbab, ia akan diberi nilai yang jelek. Namun, Sri tak takut dengan ancaman dosen itu. Karena keyakinannya sudah kuat untuk terus berjilbab.
Saat ditempatkan di Desa Karangkobar, ia menjadi satu-satunya wanita yang berjilbab. Bisa dibilang, ia menjadi wanita berjilbab pertama di desa.Â