Kecenderungan untuk bunuh diri dapat terjadi pada semua orang, tanpa memandang latar belakang sosial dan budaya. Keputusan untuk bunuh diri biasanya tidak datang secara tiba-tiba, melainkan ada proses panjang di belakangnya. Proses ini bisa saja dimulai dengan perasaan sedih yang mendalam dan menumpuk dalam waktu lama dan berujung pada kehilangan semangat untuk hidup. Sehingga dapat dikatakan kecenderungan ini lebih sering terjadi pada mereka yang belum memiliki konsep diri yang kuat.
Data dari Institute for Health and Evaluation (IHME) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa tingkat kematian karena bunuh diri per 100 ribu penduduk di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir mencapai 8,09 % per 100 ribu yaitu sekitar 8,090 korban bunuh diri (ourworldindata.org, 2017). Data tersebut dapat menjadi fenomena gunung es, karena tidak semua korban bunuh diri tercatat dalam survey tersebut. Data ini juga menunjukkan kecenderungan bunuh diri telah menjadi fenomena sosial di Indonesia, terutama karena media selalu meromantisasi kisah-kisah bunuh diri.
Data dari IHME di atas tidak menyebutkan alasan mengapa seseorang dapat memiliki kecenderungan bunuh diri. Pertanyaan ini dijawab oleh riset yang dilakukan oleh Survei Kesehatan Masyarakat Korea terhadap 393.073 responden. Hasil penelitian ini menyebutkan kualitas kehidupan, kesehatan mental, dan hubungan dengan orang-orang terdekat yang kurang baik dapat menjadi pemicu untuk bunuh diri.
Penelitian ini juga menyatakan bahwa peranan dan dukungan keluarga serta orang-orang terdekat sangatlah krusial untuk menghindari pemikiran bunuh diri. Namun, dinyatakan pula dalam beberapa kejadian, kesehatan mental menjadi pemicu terbentuknya pemikiran untuk mengakhiri nyawa diri sendiri, dan dalam kejadian ini dukungan keluarga semata tidak cukup, melainkan dibutuhkannya tenaga medis professional (Jin-young Min, 2015).
Peranan keluarga dalam menghentikan ataupun menghindari pemikiran untuk bunuh diri sangat dibutuhkan pada saat seseorang berada pada tahap awal depresi. Fey (2013) juga menyatakan bahwa seseorang yang hidup sendiri dan berpisah dengan keluarga, teman atau kerabat lainnya untuk tinggal di rumah sendiri, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tinggal bersama keluarga atau kerabat lainnya.
Hal ini kemudian membuahkan sebuah pertanyaan, sesungguhnya bagaimanakah peranan keluarga dalam mencegah terjadinya upaya bunuh diri? Pemahaman yang mendalam tentang peranan keluarga sangatlah dibutuhkan, sehingga dapat memberikan alternatif solusi untuk mengurangi fenomena bunuh diri yang terjadi di masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode literature review. Â Data yang digunakan dalam essai ini merupakan data sekunder dimana sumber data yang digunakan berasal dari literatur serta sumber lain yang memiliki relevansi dengan pertanyaan penelitian. Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisis dan penarikan kesimpulan.
Pola Berpikir 'Suicidal'
Menurut Lickerman (2010) dalam artikelnya di Psychology Today, terdapat 6 faktor pola pemikiran dan juga dasar seseorang yang hendak mengambil hidupnya sendiri, yaitu; (1) depresi, (2) gangguan kejiwaan, (3) tindakan impulsif dikarenakan penggunaan minuman keras atau narkotika, (4) keinginan untuk mendapatkan pertolongan, (5) mengalami sakit serius, dan (6) telah membuat kesalahan yang besar.
Brezo, Paris dan Turecki (2005) juga menemukan bahwa di samping kecenderungan introversi dan kecemasan, ketidakberdayaan termasuk faktor yang paling berisiko terhadap ketiga bentuk perilaku bunuh diri yaitu ide bunuh diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri itu sendiri.
Rutter dan Behrendt (2004) juga menjelaskan bahwa ada empat faktor psikososial yang penting sebagai faktor risiko bunuh diri pada remaja yaitu ketidakberdayaan, permusuhan, konsep diri yang negatif, dan terisolasi. Selain itu, penelitian Kwok dan Shek (2010) memperoleh hasil bahwa ide-ide bunuh diri pada remaja memiliki hubungan dengan ketidakberdayaan, dan kuatnya hubungan antara ide-ide bunuh diri dengan ketidakberdayaan yang terjadi dalam kondisi lemahnya komunikasi orangtua-remaja.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang kuat yang dikenali sebagai faktor yang menyebabkan bunuh diri adalah depresi dan ketidakberdayaan. Kedua faktor ini akan mengakar lebih dalam ketika seseorang terisolasi atau sengaja mengisolasikan diri dari keberadaan teman atau keluarga.
Pentingnya Peranan Keluarga
Dalam ilmu sosiologi terdapat sebuah konsep yang menyatakan 8 tahap perkembangan sosial and emosional anak dan remaja yang berlanjut hingga dewasa, atau yang disebut sebagai Erikson's Eight Stages of Development. Ke-delapan tahap ini terdiri dari; hope (harapan), will (keinginan), purpose (tujuan), competence (kompetensi), fidelity (kesetiaan), love (cinta) care (keperdulian) dan wisdom (kebijaksanaan) (Erikson, 1956).
Erikson juga menambahkan keterlibatan keluarga sangat krusial dalam pembentukan pribadi dan juga pemikiran seseorang. Keberadaan orang tua dalam tumbuh kembang anak sangat besar pengaruhnya, sebab ketika anak menginjak usia remaja maka anak cenderung tidak lagi dekat dengan orang tua melainkan lebih senang bersama teman sekelompoknya (Sulaeman, 2017).
Suicide Prevention Resource Center (2014) menyatakan bahwa, anggota keluarga sangat penting untuk pencegahan bunuh diri dan dapat terlibat dalam berbagai cara. Mereka dapat membantu meningkatkan faktor keamanan dalam kehidupan seseorang --- misalnya, dengan membantu orang tersebut mengembangkan keterampilan dan menjalin hubungan yang suportif.
Keluarga juga dapat memberikan dukungan selama krisis, yaitu ketika seseorang memiliki pemikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri, serta mendorong orang tersebut untuk mencari dan mendapatkan bantuan medis profesional. Hal yang terakhir yang terpenting adalah untuk memastikan bahwa anggota keluarga yang sedang menghadapi masalah tersebut berada dalam keadaan aman dan kondusif.
Contoh Kasus
Kedua kasus di bawah ini menggambarkan dengan jelas peranan keluarga yang suportif dapat membantu mencegah kecenderungan anak untuk bunuh diri. Kasus pertama diulas oleh Detik Health (2018) dan dialami oleh seorang remaja dengan inisial D yang berumur 19 tahun. Dalam wawancaranya, D mengaku bahwa dia telah mengalami pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sejak berada di bangku kelas tiga SD. Â Terdapat beberapa faktor yang kemudian memicu D untuk mengambil nyawanya sendiri.
D merasa bahwa permasalahan yang dialaminya sangat kompleks, salah satunya akibat perundungan yang dialaminya semasa sekolah. Pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri berlanjut hingga D duduk di bangku kelas 2 SMA. Namun beruntung bagi D, karena dia memiliki dukungan yang sangat baik dari teman dan keluarganya. Mereka mencari bantuan dari tenaga medis profesional. D juga ikut serta dalam komunitas Into The Light Indonesia, yang fokus untuk memberikan informasi mengenai pencegahan bunuh diri kepada masyarakat.
Kasus kedua diulas oleh Nova.id (2019) yang menceritakan tentang remaja yang berinisial J di Makassar. J melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari jembatan ke dalam sungai. Hal ini dilakukan karena J mengalami depresi akibat sering dimarahi orang tuanya sejak kecil hingga sekarang. Percobaan bunuh diri ini gagal karena diselamatkan oleh seorang penduduk yang nekat terjun ke sungai untuk menyelamatkan J.
Kedua kasus di atas menjadi contoh bahwa keluarga terdekat memiliki relevansi yang sangat besar dalam pencegahan bunuh diri pada anak dan remaja. Alih-alih memberikan tekanan, keluarga seharusnya bisa menciptakan keterikatan dan kebersamaan (Prabhu et.al,2010). Selain itu keluarga juga harus memiliki pikiran yang terbuka dan selalu siap untuk dimintai pertolongan jika anak dan remaja menunjukkan tanda-tanda depresi atau kecenderungan untuk bunuh diri.
Namun, ada kalanya keluarga tidak bisa berfungsi sendiri, melainkan perlu didukung oleh institusi yang lebih besar seperti pemerintah. Misalnya, sangat sedikit orang tua yang paham akan gejala awal depresi yang dialami oleh anak mereka. Dengan sosialisasi yang tepat dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai tahapan yang dilalui seseorang hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, maka orang tua dapat lebih sadar dan dapat menerapkan pemahaman tersebut dalam situasi yang akurat.
Sosialisasi dari Kementerian Kesehatan ini dapat dilakukan melalui berbagai media, baik konvensional maupun digital. Kedua tipe media ini dibutuhkan karena masyarakat modern tidak lagi membedakan antara online dan offline. Sosialisasi juga harus dilakukan secara bertahap dan konsisten agar pesan dapat tersampaikan dan diingat oleh para orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H