Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang kuat yang dikenali sebagai faktor yang menyebabkan bunuh diri adalah depresi dan ketidakberdayaan. Kedua faktor ini akan mengakar lebih dalam ketika seseorang terisolasi atau sengaja mengisolasikan diri dari keberadaan teman atau keluarga.
Pentingnya Peranan Keluarga
Dalam ilmu sosiologi terdapat sebuah konsep yang menyatakan 8 tahap perkembangan sosial and emosional anak dan remaja yang berlanjut hingga dewasa, atau yang disebut sebagai Erikson's Eight Stages of Development. Ke-delapan tahap ini terdiri dari; hope (harapan), will (keinginan), purpose (tujuan), competence (kompetensi), fidelity (kesetiaan), love (cinta) care (keperdulian) dan wisdom (kebijaksanaan) (Erikson, 1956).
Erikson juga menambahkan keterlibatan keluarga sangat krusial dalam pembentukan pribadi dan juga pemikiran seseorang. Keberadaan orang tua dalam tumbuh kembang anak sangat besar pengaruhnya, sebab ketika anak menginjak usia remaja maka anak cenderung tidak lagi dekat dengan orang tua melainkan lebih senang bersama teman sekelompoknya (Sulaeman, 2017).
Suicide Prevention Resource Center (2014) menyatakan bahwa, anggota keluarga sangat penting untuk pencegahan bunuh diri dan dapat terlibat dalam berbagai cara. Mereka dapat membantu meningkatkan faktor keamanan dalam kehidupan seseorang --- misalnya, dengan membantu orang tersebut mengembangkan keterampilan dan menjalin hubungan yang suportif.
Keluarga juga dapat memberikan dukungan selama krisis, yaitu ketika seseorang memiliki pemikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri, serta mendorong orang tersebut untuk mencari dan mendapatkan bantuan medis profesional. Hal yang terakhir yang terpenting adalah untuk memastikan bahwa anggota keluarga yang sedang menghadapi masalah tersebut berada dalam keadaan aman dan kondusif.
Contoh Kasus
Kedua kasus di bawah ini menggambarkan dengan jelas peranan keluarga yang suportif dapat membantu mencegah kecenderungan anak untuk bunuh diri. Kasus pertama diulas oleh Detik Health (2018) dan dialami oleh seorang remaja dengan inisial D yang berumur 19 tahun. Dalam wawancaranya, D mengaku bahwa dia telah mengalami pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sejak berada di bangku kelas tiga SD. Â Terdapat beberapa faktor yang kemudian memicu D untuk mengambil nyawanya sendiri.
D merasa bahwa permasalahan yang dialaminya sangat kompleks, salah satunya akibat perundungan yang dialaminya semasa sekolah. Pemikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri berlanjut hingga D duduk di bangku kelas 2 SMA. Namun beruntung bagi D, karena dia memiliki dukungan yang sangat baik dari teman dan keluarganya. Mereka mencari bantuan dari tenaga medis profesional. D juga ikut serta dalam komunitas Into The Light Indonesia, yang fokus untuk memberikan informasi mengenai pencegahan bunuh diri kepada masyarakat.
Kasus kedua diulas oleh Nova.id (2019) yang menceritakan tentang remaja yang berinisial J di Makassar. J melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari jembatan ke dalam sungai. Hal ini dilakukan karena J mengalami depresi akibat sering dimarahi orang tuanya sejak kecil hingga sekarang. Percobaan bunuh diri ini gagal karena diselamatkan oleh seorang penduduk yang nekat terjun ke sungai untuk menyelamatkan J.
Kedua kasus di atas menjadi contoh bahwa keluarga terdekat memiliki relevansi yang sangat besar dalam pencegahan bunuh diri pada anak dan remaja. Alih-alih memberikan tekanan, keluarga seharusnya bisa menciptakan keterikatan dan kebersamaan (Prabhu et.al,2010). Selain itu keluarga juga harus memiliki pikiran yang terbuka dan selalu siap untuk dimintai pertolongan jika anak dan remaja menunjukkan tanda-tanda depresi atau kecenderungan untuk bunuh diri.