Bab ketiga : Aku Sebagai Perempuan
Bab keempat : Aku Sebagai Anak Bangsa
a. Sudut Pandang Metode Biografi
Biografi merupakan penyampaian yang bersifat mendalam tentang pengalaman hidup seseorang dan mengilustrasikannya melalui tulisan sehingga orang lain bisa menilai dan mengambil sisi positif dari isi penyampaiannya.
Dalam buku tersebut bab pertama berjudul “Aku dan Etnisitas”di mana penulis menceritakan kisah hidupnya sebagai seorang muslimah sekaligus penggerak feminis serta menjadi bagian dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Beliau mengatakan bahwa etnis akan selalu melekat dalam diri seseorang sebagaimana identitas agama dan Banten adalah etnisitasnya serta agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Banten adalah Islam.
Keislaman di Banten sangat kental sehingga mempunyai kedekatan emosional dengan orang Cirebon, Aceh, Padang, dan Makasar. Sedangkan Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banten adalah bahsa Sunda, namun sunda kasar dan sebagian orang menyebut bahasa ini sebagai bahasa egaliter.
Neng Dara Affiahmerupakan seorang perempuan multitalenta yang lahir di Pandeglang, Banten pada April 1970. Beliau adalah putri dari sepasang suami-isteri yang sangat hebat dalam mendidik anak-anaknya serta kental dengan ajaran Islam. Ayahnya adalah seorang Kyai yang memimpin pesantren sekaligus memimpin masyarakat dan ayahnya menganut paham NU (Nahdlatul Ulama) tentu saja sebagai seorang NU beliau melaksakaan ibadah berdasarkan syariat NU seperti membaca doa qunut saat salat Subuh, tahlilan, Maulidan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW), Rajaban (Isra Mi’raj), nujuh (peringatan tujuh hari orang meninggal), matang puluh (empat puluh hari meninggal), dan khaul (peringatan tahunan orang meninggal).
Sedangkan ibunya adalah seorang guru agama yang menganut Mathlaul Anwar di mana ibu penulis mengikuti jejak nenekyang sebelumnya telah berguru kepada K.H.Abdurrahman, yakni pendiri organisasi pendidikan Mathlaul Anwar.
Awalnya nenek penulis dinikahkan oleh salah satu murid K.H. Abdurrahman tujuannya untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Kemudian tidak lama itu kakek beliau meninggal, neneknya menikah lagi dengan seorang guru agama yang merupakan alumni Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Kakek sambung penulis mengembangkan organisasi yang didirikan oleh gurunya dengan mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) walaupun mendapatkan tantangan yang cukup kuat dari pengurus saat itu, namun kakek sambungnya tetap berusaha untuk mengutamakan NU dalam pendidikan yang ia dirikan. Dari sinilah identitas sosial keluarga penulis sebagai warga NU mulai terbentuk.