Mohon tunggu...
Balqis Sonia Nabila
Balqis Sonia Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI Al-Anwar

menulis adalah sebuah keberanian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indikasi Politik Dinasti di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo

6 November 2024   11:49 Diperbarui: 6 November 2024   11:49 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

Umniyatus Sabila Rosyad

Prodi IQT STAI Al-Anwar

Negara demokrasi yang pada dasarnya merupakan ruang partisipasi dalam aspek  politik dan bersifat adil bagi seluruh masyarakat, seolah kelihangan hakikatnya karena muncul indikasi politik dinasti oleh Presiden ke-7 Republik  Indonesia, Joko Widodo. Sosok  yang pada awal kepemimpinannya digadang-gadang sebagai pribadi egaliter karena citranya yang sederhana dan selalu membumi bersama masyarakat, bagai kehilangan kharisma.

 Dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, politik dinasti sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Sebagai contoh adalah seorang ayah yang mewariskan jabatan atau kekuasaan kepada anaknya.

Beredarnya isu tentang adanya indikasi politik dinasti di era kepemimpinan Presiden  Joko Widodo ini dimulai ketika menantunya, Bobby Nasution maju dalam Pilkada Medan tahun 2020 dan putra sulungnya, Gibran Rakabumingraka mencalonkan diri sebagai Walikota Solo. 

Mengingat Jokowi yang pada saat itu masih menjabat sebagai presiden, pencalonan ini pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian mengemukakan bahwa hal ini tidaklah etis dalam ranah politik Indonesia. Gibran yang notabene merupakan seorang pengusaha, juga dipandang belum memiliki kapasitas berpolitik yang memadai.

Dalam perspektif lain menyatakan bahwa siapapun berhak ikut berpartisipasi dalam pilkada selama tidak menyalahi aturan yang berlaku. Gibran dikatakan memiliki peluang cukup besar untuk memenangkan pilkada, hal ini disebabkan oleh mayoritas partai di Solo merupakan pendukung Presiden Joko Widodo dan partai PDIP. 

Hal ini terbukti ketika Gibran meraih kemenangan telak dengan perolehan suara 85,6% dari total 260,532 suara sah. Kemenangan Gibran dalam pilkada Solo ini semakin memperkuat isu mengenai indikasi politik dinasti pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Isu politik dinasti ini semakin memanas ketika Gibran, yang bahkan belum selesai satu periode menjabat sebagai walikota, terindikasi menjadi bakal cawapres 2024. Dalam hal ini diduga adanya upaya meloloskkan Gibran menjadi cawapres melalui manuver politik yang kemudian menghasilkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpemilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Yang kelak pada kenyataannya, berhasil mengantarkan Gibran menjadi cawapres  dalam pemilu 2024 mendampingi Prabowo Subianto.

Adanya dinamika politik terkait pengusungan Gibran sebagai cawapres ini menimbulkan anggapan bahwa putusan tersebut melibatkan koneksi dan ikatan kekeluargaan dalam kelembagaan Negara, dengan disahkannya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh Anwar Usman yang merupakan ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran.

 Terlebih, Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang kemudian menyusul terjun ke dunia politik, diangkat menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menimbulkan begitu banyak spekulasi dari masyarakat yang semakin sulit dikendalikan mengenai isu politik dinasti di era kepemimpinan Presiden Jokowi ini.

Hal ini tentu saja menjadi polemik di tengah masyarakat, bahkan kritik pedas pun disampaikan oleh para elite dan cendekiawan dari beberapa perguruan tinggi ternama Indonesia. Media soasial yang akhir-akhir ini marak digunakan oleh berbagai kalanganpun ikut andil menjadi sarana penyampaian kritik terhadap kebijakan pemerintahan yang cenderung kontroversial menurut pandangan masyarakat luas. 

Dalam beberapa komentar, Pesiden Jokowi dinilai “menghalalkan” berbagai macam upaya untuk merealisasikan cita-cita politiknya, yaitu memberikan jabatan berdasarkan “ikatan keluarga” yang nantinya akan berdampak pada “kecacatan” politik demokrasi Indonesia. Dalam beberapa pembahasan, politik dinasti dicap sebagai suatu pelanggaran etika berdemokrasi di Indonesia karena telah menyalahi UUD 1945, yang secara tegas mengakui bahwa NKRI mengadopsi sistem kenegaraan demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun