Mohon tunggu...
Balqis Sonia Nabila
Balqis Sonia Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI Al-Anwar

menulis adalah sebuah keberanian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU Penyiaran dalam Sorotan: Implikasi Demokrasi dan Kebebasan Pers

28 Juni 2024   12:10 Diperbarui: 4 Juli 2024   10:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Balqis Sonia Nabila

Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama demokrasi yang menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen. Namun, kebebasan ini sering kali berada di bawah ancaman, terutama ketika regulasi yang mengatur media penyiaran menjadi objek perdebatan. Beberapa waktu lalu, terdapat salah satu isu yang hangat diperbincangkan oleh publik dan kalangan jurnalis yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang menuai banyak konflik dan kontroversi.

RUU Penyiaran diajukan dengan tujuan untuk memperbarui undang-undang penyiaran yang sudah usang dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi dan media. Revisi yang awalnya diharapkan akan menciptakan keadilan bagi industri penyiaran di era kemunculan media-media digital baru, tetapi karena adanya sejumlah pasal baru dalam RUU ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis dan aktivis kebebasan pers. Mereka berpendapat bahwa beberapa ketentuan dalam RUU tersebut dapat membatasi kebebasan pers dan mengancam independensi media.

Kata-kata yang singkat menjadikan RUU ini memiliki makna yang multitafsir, sehingga menimbulkan banyak perspektif di kalangan publik. Salah satu dari draf RUU Penyiaran yang menjadi pusat perhatian publik khususnya masyarakat pers yakni pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan ekslusif karya jurnalistik investigative. Selain itu, terdapat 10 jenis siaran dan konten yang dilarang karena dianggap tidak memenuhi Standar Isi Siaran (SIS).

Beberapa poin kontroversial dalam RUU Penyiaran antara lain adalah peningkatan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). RUU ini memberikan KPI wewenang lebih besar dalam mengatur dan mengawasi konten penyiaran. Banyak pihak khawatir bahwa kewenangan yang terlalu besar ini bisa disalahgunakan untuk mengontrol isi berita dan mempengaruhi independensi media. Selain itu, RUU ini mewajibkan stasiun televisi dan radio untuk menayangkan konten lokal dalam proporsi tertentu. Meski bertujuan baik untuk mempromosikan budaya lokal, hal ini bisa membebani media yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk memproduksi konten lokal berkualitas tinggi. Prosedur perizinan yang diusulkan dalam RUU ini juga dianggap terlalu birokratis dan rumit, yang bisa menghambat operasi media kecil dan independen, sehingga mengurangi keragaman suara di ranah publik.

Jika RUU tersebut disetujui, prinsip-prinsip dasar transparansi, akuntabilitas publik, dan tata kelola pemerintahan yang demokratis akan dihancurkan. Dengan membatasi jurnalisme, DPR tidak hanya mengatur media, tetapi juga menjadikannya corong pemerintahan dan kepentingan penguasa. Hal ini melemahkan sistem pengaturan yang penting untuk demokrasi yang baik.

Demokrasi yang sehat memerlukan akses yang bebas dan adil terhadap informasi. Media penyiaran memainkan peran krusial dalam menyediakan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik. Salah satu kekhawatiran utama pada implikasi RUU Penyiaran ini adalah potensi konsentrasi kepemilikan media. Jika pengaturan frekuensi tidak dilakukan secara transparan dan adil, maka bisa terjadi monopoli oleh segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Hal ini dapat mengurangi keragaman suara dan perspektif dalam media penyiaran, yang esensial bagi demokrasi.

Kemudian,  RUU Penyiaran berpotensi meningkatkan kontrol pemerintah terhadap konten siaran. Ini dapat membuka jalan bagi sensor dan pembatasan informasi yang kritis terhadap pemerintah atau pihak tertentu. Jika tidak diatur dengan baik, hal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang objektif. RUU ini juga berpengaruh pada seberapa besar partisipasi publik dalam proses penyiaran. Mekanisme pengaduan dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan media perlu diperkuat untuk memastikan bahwa media tetap bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi.

RUU Penyiaran membawa dampak yang luas terhadap demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Penting bagi pemerintah, legislator, dan masyarakat untuk berdialog secara konstruktif guna memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan mampu mendukung kemajuan teknologi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi landasan dalam setiap langkah revisi undang-undang ini agar media penyiaran dapat terus berperan sebagai penopang demokrasi dan penyampai informasi yang terpercaya.

Karena mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak baik publik maupun masyarakat jurnalis, pada akhirnya DPR RI melalui Komisi I sepakat menunda pembahasan RUU penyiaran. "Ini baru pembahasan, dan jika nanti pembahasannya akan dimulai nanti kita akan libatkan semua stakeholder dari media, semuanya nanti akan kita terima masukannya." Ujar Dave Laksono, anggota Komisi I DPR RI dalam keterangannya, kamis (20/6/2024).

Bobby Adithyo Rizaldy yang merupakan anggota I DPR RI juga ikut meluruskan salah satu pasal yang menjadi polemik ini yaitu larangan penyiaran jurnalistik investigasi. Ia mengatakan bahwa pasal ini sama sekali tidak melarang jurnalistik investigasi, namun hanya membatasi dan mengatur penayangan jurnalistik investigasi ekslusif. "Diperbaiki itu adalah konteks ekslusivitasnya, bukan masalah tidak boleh atau malah meredam kebebasan, sama sekali tidak."

Teori libertarian dalam konteks kebebasan pers berpendapat bahwa pers harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mendukung manusia dalam mencari kebenaran. Menurut teori ini, manusia membutuhkan kebebasan untuk memperoleh informasi dan ide-ide, yang paling efektif diterima ketika disampaikan melalui media massa. Inti dari teori libertarian ini adalah prinsip kebebasan (Rachmadi, 1990: 34-35).

Penting untuk membuka ruang partisipasi dalam proses penyusunan RUU dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Selain itu, diperlukan dialog konstruktif antara pemerintah, media, dan masyarakat untuk memastikan RUU ini tidak membatasi kebebasan pers, melainkan mendukung ekosistem media yang bebas dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan libertarian ini, diharapkan revisi Undang-Undang Penyiaran dapat dilakukan secara demokratis, mendukung kebebasan pers, dan memastikan media penyiaran terus berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun