Program nuklir Korea Utara bermula sejak 1980-an, dengan bantuan dari Uni Soviet dan China dalam membangun infrastruktur teknologi nuklir untuk kepentingan energi. Namun, pada akhir 1990-an, ambisi nuklir Korea Utara berkembang menjadi program pengembangan senjata nuklir. Pada tahun 2003, Korea Utara secara resmi menarik diri dari Non-Proliferation Treaty (NPT), perjanjian internasional yang dirancang untuk membatasi penyebaran senjata nuklir. Sejak saat itu, negara ini telah melakukan serangkaian uji coba nuklir yang mengkhawatirkan, termasuk ledakan termonuklir pada tahun 2017.
Progam nuklir Korea Utara menimbulkan reaksi dunia, khususnya kepada negara tetangga nya dan juga great power seperti Amerika Serikat. Dalam menghadapi Korea Utara, Amerika Serikat tidak menggunakan hard power seperti yang dilakukannya terhadap kasus kepemilikan senjata pemusnah massal di Irak. Karena tidak mengambil jalan perang, maka pilihan Amerika Serikat adalah penyelesaian soft power secara damai melalui perundingan.Â
Bersama-sama dengan Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Jepang, dan juga Korea Utara sendiri berkumpul dalam sebuah forum dialog untuk berunding guna menemukan kesepakatan dalam menyelesaikan krisis nuklir ini. Forum dialog ini dinamakan "six party talks". forum merupakan media untuk menentukan kesepakatan dalam mengakhiri nuklir ini.Â
Six Party Talks pertamakali ada pada tahun 2003, pertemuan pertama mereka dimulai pada tanggal 27 Agustus 2003. Six Party Talk telah melakukan sebanyak 6 kali pertemuan dari tahun 2003 sampai dengan 2007, tetapi dari semua pertemuan tersebut tidak menghasilkan upaya untuk pemberhentian progam nuklir Korea Utara, hingga akhirnya di tahun 2009 akibat peristiwa peluncuran satelit yang dilakukan oleh Korea Utara mengakibatkan kecurigaan dari negara-negara lain membuat Korea Utara kecewa dan akhir nya keluar dari forum tersebut, kemudian Korea Utara memulai lagi uji coba nuklir nya.
Dari terjadinya pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara tentunya membawa dampak besar bagi stabilitas keamanan di Asia Timur. Terlebih terdapat negara-negara yang paling rentan terhadap ancaman nuklir Korea Utara adalah Korea Selatan dan Jepang, yang berada dalam jangkauan rudal balistik Korea Utara. Selain kedua negara tersebut, negara-negara anggota Six Party Talks seperti Amerika Serikat, China dan Rusia pasti akan terkena dampak dari program nuklir Korea Utara. Adapun respon - respon yang diberikan terhadap pengembangan nuklir di Korea Utara antara lain :Â
1. Korea Selatan
Sebagai tetangga terdekat dan musuh utama Korea Utara. Respon dari Korea Selatan adalah merasa sangat terancam, reaksi Korea Selatan cenderung mengutamakan penguatan aliansi militer dengan Amerika Serikat serta peningkatan kapasitas pertahanan domestik. Korea Selatan juga meningkatkan kapabilitas militernya dengan meningkatkan anggaran militernya dan juga memperluas kerjasama dengan AS dalam penyebaran sistem pertahanan seperti Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), yang dirancang untuk melindungi Korea Selatan dari ancaman rudal Korea Utara.Â
Tetapi, Korea Selatan juga mendukung berbagai upaya diplomatik, termasuk pembicaraan antar-Korea dan pertemuan puncak antara pemimpin Korea Utara dan pemimpin dunia lainnya. Meski sering berada dalam ketegangan tinggi, Korea Selatan tetap berkomitmen pada solusi damai, termasuk melalui diplomasi multilateral dan dialog antar-Korea yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan.
2. Jepang
Sebagai negara tetangga, Jepang menganggap program nuklir Korea Utara sebagai ancaman serius. Korea utara juga telah beberapa kali melancarkan rudal nya melewati Jepang. Respon Jepang sangat tegas, mencakup:
Peningkatan aliansi militer dengan Amerika Serikat, termasuk memperkuat sistem pertahanan anti-rudal yang canggih.
Partisipasi aktif dalam sanksi internasional terhadap Korea Utara melalui PBB, dengan mendukung embargo perdagangan dan pembatasan ekonomi.
Dorongan diplomatik yang kuat untuk menekan Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya melalui upaya multilateral dan bilateral, terutama dengan melibatkan China dan Amerika Serikat dalam proses negosiasi.
3. China
Sebagai negara tetangga dan sekutu Korea Utara, China memiliki posisi yang sangat strategis dan penting dalam merespons ancaman nuklir di Semenanjung Korea. Meskipun China adalah mitra utama ekonomi dan politik Korea Utara, China juga khawatir dengan ketidakstabilan yang disebabkan oleh provokasi nuklir Pyongyang. Respon dari China berupat:
Dukungan terhadap resolusi damai dan denuklirisasi Semenanjung Korea, meski dengan syarat bahwa prosesnya harus dilakukan melalui dialog yang tidak mengganggu stabilitas regional.
Tekanan ekonomi terhadap Korea Utara, termasuk penerapan beberapa sanksi PBB terhadap rezim Kim Jong-un, meskipun China sering melonggarkan penerapanÂ
4. Rusia
Meskipun keterlibatan Rusia tidak sekuat China, Rusia memiliki sejumlah kekhawatiran strategis tentang ketegangan yang meningkat di kawasan tersebut. Respon Rusia terhadap ancaman nuklir di Semenanjung Korea meliputi:
Dukungan terhadap resolusi damai dan denuklirisasi, dengan cara menyerukan dialog langsung antara Korea Utara dan Amerika Serikat. Rusia juga menentang pendekatan konfrontatif yang dipimpin oleh AS, seperti peningkatan kehadiran militer di kawasan.
Rusia mendukung sanksi internasional terhadap Korea Utara, tetapi tetap mendukung jalur diplomatik yang tidak menyebabkan kehancuran rezim Kim Jong Un. Rusia juga terkadang melonggarkan kontrol terhadap sanksi, terutama dalam hal perdagangan energi dengan Korea Utara.
5. Amerika Serikat
Sebagai negara yang secara langsung terlibat dalam pertahanan Korea Selatan dan Jepang melalui aliansi militernya, Amerika Serikat sangat khawatir tentang potensi ancaman dari program nuklir Korea Utara. Amerika Serikat telah menempuh berbagai langkah untuk menanggapi ancaman ini, termasuk:
Menerapkan sanksi internasional dan unilaterally terhadap Korea Utara dengan tujuan menghentikan pengembangan senjata nuklir dan rudal.
Meningkatkan kehadiran militer di Asia Timur, termasuk mengadakan latihan militer bersama dengan Korea Selatan dan Jepang serta menyebarkan sistem pertahanan rudal canggih seperti THAAD.
Upaya diplomasi, seperti pertemuan puncak antara Presiden Donald Trump dan Kim Jong-un pada 2018 dan 2019, meski hasil dari pertemuan tersebut belum mampu menyelesaikan konflik secara tuntas.
KEMUNGKINAN SIX PARTY TALKS MASA KINI
Di masa kini kemungkinan tercipta nya kembali Six Party Talks sangatlah minim dikarenakan beberapa faktor politik yang sedang terjadi sekarang, faktor-faktor tersebut meliputi:
pertama hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan yang sekarang mulai memanas kembali, hal ini dikarenakan kebijakan yang dimiliki oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Seol kontra dengan reunifikasi dengan Korea Utara, berbeda dengan Presiden sebelumnya yaitu Moon Jae In hal ini juga dikarenakan kedua Presiden tersebut berasal dari partai politik yang berbeda.
Hubungan Korea utara dengan Amerika Serikat juga kembali memanas sejak kepemimpinan Joe Biden, yang dimana Joe Biden memiliki pandangan  lebih skeptis kepada Kim Jong Un, hal ini berbeda dengan upaya yang dilakukan Donald Trump yang meskipun tegas tetapi tetap megutamakan pendekatan diplomatis.
Kemudian Situasi hubungan antar Amerika Serikat dan China yang semakin memanas membuat muncul nya kembali six party talks semakin rendah, potensi konflik antar Amerika Serikat dan China semakin dekat hal ini membuat China membutuhkan kawan yang kuat salah satu nya adalah Korea Utara, dengan adanya Progam nuklir ini membuat Korea Utara menjadi negara yang kuat hal ini membuat China sebagai salah satu anggota Six Party Talks tidak tertarik untuk melemahkan sekutu nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H