Mohon tunggu...
Nabila Rachmadhani
Nabila Rachmadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - NAMA : NABILA RACHMADHANI / NIM : 43222010038 / AKUNTANSI S1 / FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

MAHASISWI MERCU BUANA TUGAS BESAR

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Kuis: Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   00:20 Diperbarui: 15 Desember 2023   00:20 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAF23c8LwIo/9xMftz9yraS8nvPEn7LbBA/edit?utm_content=DAF23c8LwIo&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Nama                           : Nabila Rachmadhani

NIM                              : 43222010038

Dosen Pengampu   : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah              : Pendidikan Anti Korupsi dan Etika UMB

Jeremy Bentham lahir di Spitalfields, London pada tanggal 15 Februari 1748, dan pada usia tujuh tahun (1775) ayahnya mengirimnya untuk belajar di Westminster School. Pada tahun 1769, ketika ia baru berusia 12 tahun, ia melanjutkan studi di Queen's College, Universitas Oxford. Pada tahun 1763, ia mendaftar sebagai pengacara di Honorable Society of Lincoln's Inn dan lulus ujian pengacara pada tahun 1768. Setelah menerima gelar sarjana hukum, ia kembali ke Queen's College untuk memberikan suara dalam pemilihan kongres di Universitasnya. Sesaat sebelum pengumutan suara, ia mengunjungi perpustakaan Universitas dan beristirahat sebentar di kafe di seberang perpustakaan. Di sanalah ia kemudian menemukan salinan pamflet Joseph Priestley yang baru-baru ini diterbitkan berjudul "Essay on Government". Dalam buku kecil ini ia menemukan istilahnya yang paling terkenal yaitu "kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar".

Dari buku kecil ini Jeremy Bentham memutuskan untuk membuat landasan baru bagi ilmu hukum dan hukum mengenai prinsip-prinsip penegakan hukum dan pengaruhnya yang mengikat terhadap masyarakat. Karya Jeremy Bentham, selain dilatarbelakangi oleh pamflet John Priestley, juga didasari oleh rasa frustasinya terhadap hukum, sehingga alih-alih berpraktek hukum, ia memutuskan untuk menulis, mengkritik, dan mengajukan proposal untuk perbaikan hukum.

https://www.canva.com/design/DAF21YdKMsU/RrAMX8tVDPzbXCtDnU7D3A/edit?utm_content=DAF21YdKMsU&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAF21YdKMsU/RrAMX8tVDPzbXCtDnU7D3A/edit?utm_content=DAF21YdKMsU&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Upaya Jeremy Bentham untuk menulis dan mengkritik undang-undang tersebut dilakukan secara perlahan, misalnya pada tahun 1776 ia secara anonim menerbitkan artikel berjudul "Fragments on Government", yang mengkritik artikel beasiswa Sir William Blackstone yang berjudul "Commentaries on the Laws of England". Kritik ini dilontarkan bukan tanpa alasan. Kritiknya terhadap karya Sir William Blackstone tentang hukum Inggris.

Singkatnya, pada saat ini tradisi common law inggris sedang mengalami perdebatan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang pengacara/barrister terhadap hukum, dan pemikiran serta perilaku seperti apa yang dapat dianggap sebagai seorang profesional, para ahli yang berkualitas dan upaya untuk mendefinisikan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam masyarakat.

Perbedatan ini kemudian memunculkan dua pandangan mengenai kedudukan hukum dalam tradisi common law, yaitu para ahli hukum yang memandang hukum sebagai alasan artifisial, yang kemudian menempatkan tradisi common law berdasarkan nalar dan pengetahuan kolektif ahli hukum, dan mereka yang lihat hukum lebih statis atau positivis dimana tradisi common law dikatakan sebagai sistem aturan positif efektif karena disetujui oleh otoritas (dalam konteks Inggris ini adalah parlemen/legislatif). yang menarik dari posisi Jeremy Bentham dalam perdebatan ini adalah ia mengkritik baik pandangan tersebut maupun teori turunannya. Jeremy Bentham bahkan mengkritik pemikiran aliran hukum alam yang sedikit banyak juga mempengaruhi Sir William Blackstone dalam membentuk teori hukumnya.

https://www.canva.com/design/DAF21sA0fpc/6M7VtfgafLOjsQX4VFgSFQ/edit?utm_content=DAF21sA0fpc&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAF21sA0fpc/6M7VtfgafLOjsQX4VFgSFQ/edit?utm_content=DAF21sA0fpc&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Jeremy Bentham berpatisipasi aktif dalam perdebatan tersebut dengan menerbitkan sejumlah esai dan pamflet. Esai dan pamflet ilmiah ini (yang tidak dapat dikutip satu per satu oleh penulisnya) kurang lebih menggambarkan pemikirannya mengenai hukum, namun baru pada tahun 1781 Jeremy Bentham menerbitkan sebuah karya yang menjadi dasar untuk mensistematisasikan teori utilitarismenya sangat kuat dalam landasan ajaran moral dan hubungannya dengan kehidupan filsafat moral, filsafat hukum, dan ilmu hukum itu sendiri, khususnya "Pengantar Asas Moral dan Hukum". 

Buku ini memuat beberapa bab yang diambil dari kutipan yang dibuat oleh Jeremy Bentham sendiri, misalnya pada bab 1 berjudul "Prinsip Utilitas", dimana Jeremy Bentham menjelaskan bagaimana tindakan dapat dipengaruhi oleh keinginan (atau kebutuhan) untuk merasa puas. kesenangan/kebaikan dan pada akhirnya menciptakan kegunaan atau kebahagiaan bagi mereka.

Karyanya menjadi sangat terkenal di Benua Eropa ketika Dumont, salah seorang muridnya, menerbitkan di Paris pada tahun 1802 sebuah artikel berjudul "Risalah tentang Hukum perdata dan pidana". Karya ini diterbitkan oleh Dumont berdasarkan karya yang dipercayakan kepadanya oleh Jeremy Bentham, dan tentu saja gagasannya tentang utilitarisme. Kemudian pada tahun 1808, ia bertemu dengan James Mill dan di bawah pengaruh James Mill, Jeremy Bentham mulai lebih terlibat dalam isu-isu politik dan sosial.

Jeremy Bentham pada dasarnya mengagumi pemikiran-pemikiran sistematisasi yang berkembang saat itu di Benua Eropa, oleh karena itu pada tahun 1882 ia menerbitkan "Codification proposal address by Jeremy Bentham to all nations professing liberal opinions, or idea of a proposed all-comprehensive body of law with an accompanisment of reason". Selain itu, ia juga banyak menulis selebaran yang menyerukan reformasi hukum dengan mengungkap pelanggaran hak konstitusional masyarakat Inggris saat itu, sehingga kebijakan Inggris saat itu justru menimbulkan banyak penderitaan, lebih banyak penderitaan bagi masyarakat daripada kebahagiaan. Jeremy Bentham juga mengemukakan bahwa Inggris (yang notabene merupakan sistem common law) mengadopsi gagasan-gagasan dari tradisi civil law, termasuk gagasan kodifikasi.

Konsep dasar utilitarisme secara umum sangat sederhana, yaitu bagaimana memaksimalkan kegunaan suatu tindakan, sehingga dari proses tersebut kita dapat menikmati keuntungan, kebahagiaan, dan kenikmatan (profit, benefit, pleasure, Good atau Happiness). Proses memaksimalkan efektivitas juga diharapkan dapat mencegah terjadinya rasa sakit, bahaya, penderitaan atau perasaan yang menyebabkan ketidakbahagiaan. Proses maksimalisasi utilitas ini kemudian diterapkan secara khusus pada tindakan-tindakan yang benar-benar terjadi di masyarakat, dimana dalam pelaksanaannya konsep utilitarianisme akan mendasarkan evaluasinya.

Utilitarianisme muncul dari pemahaman bahwa manusia dapat mengalami dua perasaan utama, yaitu kebahagiaan dan kesakitan (Mill, 2016).

Menurut Bentham (1996), ada beberapa bentuk utama kebahagiaan yang dialami oleh fitrah manusia, antara lain :

1. Kenikmatan indrawi, yaitu kebahagiaan yang dihasilkan oleh panca indera, misalnya bahagia karena dapat melihat sesuatu yang indah atau bahagia karena dapat merasakan makanan lezat

2. Nikmatnya harta, khususnya nikmatnya memiliki sesuatu, seperti nikmatnya memiliki kekayaan

3. Kenikmatan berpengatahuan, yaitu kebahagiaan karena mempunyai kemampuan di bidang tertentu, misalnya kebahagiaan karena mempunyai keahlian di bidang hukum

4. Sukacita atas kekuasaan, khususnya kebahagiaan karena orang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, menekan orang lain, memberikan harapan atau mengancam orang lain

5. Kegembiraan karena kebijakan, khususnya kegembiraan melihat orang lain bahagia, seperti kegembiraan melihat orang lain atau hewan bahagia

6. Kenikmatan kedengkian, khususnya kesenangan melihat orang lain menderita, seperti kesenangan melihat orang lain atau binatang menderita

Pada saat yang sama, penderitaan juga mempunyai beberapa struktur utama, antara lain :

1. Penderitaan karena kekurangan, yaitu penderitaan karena tidak mempunyai apa-apa, misalnya penderitaan karena tidak mempunyai harta benda

2. Penderitaan sakit karena kecanggungan, yaitu sakit karena tidak mampu menerapkan sesuatu, misalnya sakit karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan

3. Sakit karena kebencian, khususnya sakit karena sakit, dalam suatu keadaan tidak sehat, atau orang yang sehat tetapi hidup di lingkungan yang sakit

4. Sakitnya ketakwaan, yaitu penderitaan karena ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap keputusan Tuhan (Yang Maha Tinggi), misalnya : penderitaan karena kekecewaan, karena Tuhan mengambil nyawa anggota keluarga seseorang

5. Rasa sakit karena belas kasihan, khususnya penderitaan karena melihat orang lain menderita, misalnya penderitaan karena melihat orang lain atau binatang yang menderita

Pandangan Utilitarian klasik mendefinisikan indeks utilitas dalam kaitannya dengan kebahagiaan.

Menurut Bentham, ada empat parameter kebahagiaan, yaitu (Bentham,1996) :

1. Intensitas

2. Durasi

3. Kepastian

4. Familiarity

Kekuatan suatu produk hukum ditentukan oleh substansi apa yang diatur di dalamnya, bagaimana diaturnya, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat. Durasi menunjukkan berapa lama produk hukum ini berlaku dan berapa lama mempengaruhi kesejahteraan atau penderitaan orang. Kepastian mengacu pada kepastian hukum dari produk hukum yang bersangkutan, Keselarasan dengan peraturan yang ada, dan seberapa amannya terhadap pemberlakuan produk hukum yang bersangkutan. Familiarity adalah derajat kesesuaian suatu produk hukum dengan pengetahuan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan produk hukum tersebut (Bentham, 1996).

Seiring berkembangnya Utilitarianisme, cara utilitarisme mengukur kegunaan sesuatu secara bertahap berubah. Menurut Utilitarianisme modern, tidak mudah mengukur kebahagiaan menggunakan parameter utilitarianisme klasik. Karena pengukuran ini sering kali bersifat abstrak. Preferensi manusia berfungsi sebagai ukuran. Preferensi manusia dalam memilih apa yang paling memuaskan dirinya dapat dengan jelas menentukan apakah sesuatu itu bermanfaat bagi dirinya atau tidak (Savulescu et al, 2020).

Maka dengan menerapkan konsep utilitarianisme, penilaian terhadap suatu tindakan (baik dilakukan secara positif atau tidak (komisi atau kelalaian), fenomena yang terjadi dalam masyarakat atau suatu peristiwa secara khusus, akan didasarkan pada kekuatan dan kegunaan tindakan tersebut. Fenomena atau peristiwa bagi individu yang mengalaminya. Jadi, menurut utilitarianisme klasik, jika sesuatu membawa manfaat yang besar bagi masyarakat luas maka hal itu akan meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Hal ini pula yang membuat konsep utilitarian begitu kental dengan proses perhitungan antara kebahagiaan (kegembiraan) dan penderitaan (sakit), karena jika suatu tindakan/fenomena/peristiwa menimbulkan kebahagiaan, kebahagiaan lebih besar daripada penderitaan, maka tindakan/fenomena/peristiwa tersebut adalah "bermanfaat" bagi masyarakat dan sebaliknya, apabila tindakan/fenomena/peristiwa tersebut menimbulkan penderitaan yang lebih besar maka tindakan/fenomena/peristiwa tersebut tidak "efektif".

Belakangan, konsep utilitarianisme klasik dikembangkan oleh Jeremy Bentham dengan memasukkan peran hukum (dalam beberapa literatur, perkembangan Jeremy Bentham ini disebut "utilitarianisme hukum") Jeremy Bentham mengambil pandangan yang sama dengan utilitarianisme klasik, namun menggali lebih dalam pertanyaan mengapa kesenangan dan rasa sakit digunakan sebagai batu ujian untuk menilai tindakan/peristiwa/fenomena tertentu.

Menurutnya, manusia adalah makhluk yang terus-menerus tersiksa oleh perasaan senang dan sakit. Bayangan inilah yang nantinya menentukan tindakan seseorang. Sebagai contoh, kita dapat melihat bahwa orang-orang sibuk dengan dua emosi ini, kita dapat melihat apa yang mendorong mereka untuk bertindak seperti itu, apa yang mendasari harapan dan cita-cita mereka, dan kita dapat melihat apa yang akan mereka lakukan di masa depan. Anda akan tahu apa yang harus dilakukan masa depan segala sesuatu (menurutnya) pasti dilandasi oleh rasa bahagia dan terhindar dari rasa sakit.

https://www.canva.com/design/DAF21qj6c4Q/HVWbcZPK7E1tHdksnJcWJg/edit?utm_content=DAF21qj6c4Q&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAF21qj6c4Q/HVWbcZPK7E1tHdksnJcWJg/edit?utm_content=DAF21qj6c4Q&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Menurut Sidhartha, teori utilitarianisme Jeremy Bentham sama dengan teori positivisme hukum. Sebab, dalam perspektif ontologis, aliran ini memandang produk hukum sebagai norma positif dalam sistem hukum. Itulah sebabnya teori menekankan pada keterpihan. Inilah tesis pemisahan hukum dan moralitas. Meski secara ontologis serupa, utilitarianisme berbeda dengan aliran positivis hukum dari sudut pandang epistemologis dan aksiomatik. Sebab, utilitarianisme tidak hanya menekankan kepastian hukum sebagai tujuan akhir, namun juga menempatkan kepentingan moral dalam penyelesaian permasalahan sosial. Oleh karena itu, aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan untuk mengukur keberlangsungan norma-norma positif. Teori utilitarian Jeremy Bentham memperhitungkan aspek sosial untuk menghitung efektivitas barang hukum, dan oleh karena itu juga mengajukan tesis reduktif untuk tidak memisahkan hukum dan fakta.

Oleh karena itu, kedudukan teori utilitarian Jeremy Bentham sama dengan posisi teori positivisme hukum. Perbedaan aliran positivis hukum dengan teori utilitarian Jeremy Bentham terletak pada bagaimana tujuan kepastian hukum dapat dilihat ujungnya. Dalam aliran positivis hukum, kepastian hukum berakhir ketika suatu keputusan, atau peraturan hukum telah ditetapkan, namun dalam teori utilitarian Jeremy Bentham, kepastian hukum tidak hanya berakhir disitu saja, kepastian hukum diyakini juga harus lewat evaluasi. karena etis, dapat menentukan kelayakan dan keberlanjutan produk yang sah.

Teori utilitarianisme merupakan salah satu aspek pemikiran yang berada dalam ranah positivisme hukum dan tidak berdiri sendiri, namun dengan mengkaji fakta atau kenyataan di lapangan, teori utilitarianisme, utilitarianisme Jeremy Bentham mempunyai visi keamanan hukum yang berbeda dengan teori utilitarianisme. aliran umum positivisme hukum. Teori Utilitarianisme Jeremy Bentham berpendapat bahwa kepastian hukum tidak hanya sebatas mengidentifikasi suatu produk hukum tetapi juga harus di evaluasi kegunaannya dalam masyarakat, agar dapat dijadikan acuan ketahanan suatu produk hukum. Hal ini berbeda dengan positivisme hukum saat ini yang berpendapat bahwa kepastian hukum akan tercapai apabila telah ada penetapan suatu produk hukum.

Meskipun teori ini merupakan penyimpangan dari positivisme hukum saat ini dalam pemahamannya tentang akhir dari kepastian hukum, tujuan teori utilitarianisme Jeremy Bentham sudah pasti secara hukum. Meskipun banyak ahli hukum Indonesia yang menganggap kemaslahatan sebagai tujuan dalam teori utilitarianisme Jeremy Bentham, namun nyatanya pemahaman yang berbeda, karena jika kemaslahatan adalah tujuan akhir maka pembahasan buku Jeremy Bentham itu pada tataran merumuskan peraturan perundang-undangan, menganalisis aspek empiris dari kebutuhan masyarakat, yang selanjutnya akan diatur melalui peraturan perundang-undangan. Namun sebaliknya, pembahasan Jeremy Bentham lebih pada evaluasi produk legislasi dan regulasi yang ada. Utilitas dengan demikian merupakan salah satu dari beberapa standar suatu produk yang sah, yang meskipun ternyata produk yang sah tidak memberikan manfaat bagi sebagian besar orang yang terikat pada produk tersebut, hal ini juga tidak mempengaruhi prinsip validitas produk hukum.

Meskipun utilitarianisme klasik cenderung abstrak dalam mengukur kesejahteraan, keuntungannya adalah ia dapat mengetahui tindakan mana yang menghasilkan manfaat. Dalam utilitarianisme modern, preferensi ini hanya muncul jika subjek sudah mempunyai pengalaman yang relevan dengan tindakan yang ingin dilakukannya. Artinya, utilitarianisme modern mempunyai ukuran yang lebih jelas, namun kelemahannya adalah harus didahului oleh pengalaman awal. Kedua pandangan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bahwa ada gunanya mencoba keduanya secara berlebihan ketika menentukan aspek kemanfaatan suatu perbuatan, dalam hal ini mengukur aspek kemanfaatan dari penerapan hukuman mati bagi koruptor.

Peradaban dunia semakin bergerak ke arah modernisasi yang dapat mempengaruhi pola hidup dan perilaku manusia. Salah satu jenis kejahatan yang berkembang seiring berjalannya waktu adalah kejahatan abnormal kejahatan ini disebut "penyimpangan" karena pada awalnya dimaknai sebagai kejahatan yang mengancam tatanan dunia dan mempunyai akibat yang sangat mengerikan bagi kemanusiaan.

Dengan disepakatinya Statuta Roma pada tahun 1998, definisi kejahatan luar biasa dibatasi pada empat jenis kejahatan :

1. Genosida

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

3. Kejahatan perang

4. Agresi kriminal (Hobbs, 2020).

Namun, cakupan kejahatan luar biasa terus berkembang seiring berjalannya waktu. Kejahatan yang sangat mempengaruhi stabilitas politik, ketertiban dan keamanan negara juga tergolong kejahatan luar baiasa (Siswadi, 2015). Di Indonesia, beberapa kejahatan diklasifikasikan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa, meskipun Statuta Romawi tidak mencantumkan kejahatan tersebut. Kejahatan spesifik tersebut antara lain kejahatan korupsi (Binaji & Hartanti, 2019), narkotika dan psikotropika, serta pencemaran lingkungan hidup yang serius (Prahassacitta, 2016). 

Ciri-ciri tindak pidana korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Dampak buruknya bersifat sistematis, endemik, dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas

2. Badan yang diberi wewenang untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah badan yang mandiri dan tidak dikenakan akibat apapun karena rumitnya upaya pemberantasannya

3. Beban pembuktian dialihkan secara terbatas kepada terdakwa tindak pidana korupsi (semi pembalikan beban pembuktian) (Samosir, 2017)

4. Minimal pidana denda, dan restitusi yang lebih besar dibandingkan pidana umum lainnya

5. Kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam kondisi tertentu

Dengan demikian, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan luar biasa yang mendapat perhatian khusus dari berbagai aspek, terutama dari segi hukum.

Korupsi 

Masyarakat dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia adalah makhluk sosial, dalam kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan esensialnya, manusia harus rutin berinteraksi dengan orang lain. Interaksi antar manusia kemudian melahirkan hukum pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat ini sesuai dengan pepatah yang disampaikan oleh Cicero, yaitu "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum).

Undang-undang menentukan apa yang harus dilakukan atau apa yang tidak boleh dilakukan atau apa yang dilarang. Sasaran dari UU bukan hanya mereka yang jelas-jelas melakukan perbuatan melawan hukum, namun juga perbuatan-perbuatan hukum yang dapat ditegakkan. Hal ini untuk menjamin bahwa hukum dapat memberikan keadilan, kemaslahatan dan keamanan hukum bagi setiap orang, sehingga dapat tercapai kesejahteraan dan perdamaian dalam masyarakat.

Korupsi sendiri berasal dari kata latin yaitu Corruption atau Corretus yang telah disalin ke berbagai bahasa. Karena dalam bahasa Inggris berarti penyuapan atau korupsi, dalam bahasa Perancis berarti korupsi dan dalam bahasa Belanda berarti korupsi, yang kemudian dalam bahasa Indonesia digunakan menjadi kata korupsi.

Korupsi secara harfiah adalah segala macam perbuatan buruk, seperti yang dikatakan Andi Hamzah adalah korupsi, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, korupsi, maksiat, penyimpangan dari kebaikan yang suci, kata-kata yang menghina atau memfitnah.

Sedangkan korupsi dalam Webster's New American Dictionary berasal dari kata "corruption" yang dapat diartikan sebagai "corrupt", "impurity" (tidak murni).

Sedangkan kata "korup" dijelaskan sebagai "menjadi busuk atau busuk" (menjadi busuk, atau jahat), juga berarti "membusuk batin menjadi sesuatu yang hakikatnya bersih kemauan dan sehat" (meletakkan sesuatu busuk, atau busuk pada sesuatu, awalnya bersih dan bagus).

Tindak pidana korupsi sendiri dapat dijelaskan sebagai suatu perbuatan penipuan, khususnya penggelapan atau penyelewengan keuangan negara yang bertujuan untuk memperkaya seseorang, dan mungkin merugikan negara. Pada umumnya tindak pidana korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dengan melibatkan unsur kewajiban dan keuntungan bersama. Kewajiban dan manfaat tersebut tidak selalu berbentuk uang.

Kasus di Indonesia :

Di Indonesia, sanksi hukum seringkali tidak efektif dalam mencegah kejahatan. UU tipikor menetapkan denda maksimum bagi suap adalah Rp 1 miliar, berapapun jumlah korupsinya. Penetapan hukuma maksimum dalam undang-undang mungkin masuk akal dari sudut pandang hukum, namun dari sudut pandang ekonomi, terutama dari sudut pandang game theory dan behavioral economics, hal tersebut sebenarnya atau cenderung mendorong calon pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan.

Implikasi dari penetapan hukuman maksimal dalam undang-undang yang cenderung rendah bagi koruptor, menyebabkan maraknya program subsidi bagi koruptor. seperti nilai kerugian negara yang diderita wajib pajak sebesar Rp 67,75 triliun. Signifikansi temuan ini adalah bahwa negara melalui undang-undang korupsi justru menciptakan sistem subsidi dari rakyat kepada koruptor. Ironisnya lagi, ciri-ciri penyuap umumnya adalah tingkat pendidikan yang tinggi, status sosial yang tinggi, dan seringkali kekayaannya diatas rata-rata. Jika subsidi yang diberikan oleh masyarakat mampu kepada masyarakat kurang mampu disebut dengan zakat atau sedekah, mungkin harus diciptakan kosakata baru untuk menjelaskan fenomena masyarakat miskin mensubsidi masyarakat koruptor, padahal sebenarnya dia kaya.

Permasalahan serupa juga muncul dalam bidang hukum perdata. Kasus Temasek menjadi bukti lemahnya hukum Indonesia dengan penetapan sanksi yang tidak mempertimbangkan kewajaran bagi pelanggar peraturan. Melalui investasinya di PT Indosat, Temasek didakwa melanggar 10 tindak pidana berdasarkan UU Persaingan Usaha. Sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999, untuk setiap perkara yang divonis bersalah, Temasek didenda Rp 25 miliar dengan total denda Rp 250 miliar. Meski jumlah ini terkesan besar. Namun jika dibandingkan dengan keuntungan signifikan yang diperoleh Temasek dari investasi di Indosat, angka tersebut tidak seberapa. Perhitungan KPPU menunjukkan jumlah surplus konsumen yang hilang akibat kegiatan usaha Temasek mencapai Rp 14 triliun. Jika kita menggunakan asumsi konservatif, yaitu hilangnya 50% surplus konsumen bisa dianggap sebagai keuntungan perusahaan, artinya keuntungan Temasek mencapai Rp 7 triliun. Dibandingkan denda, keuntungan Temasek lebih besar 28 kali lipat dari total denda yang harus dibayar Temasek. Implikasinya, UU No. 5/1999 memberi hak kepada Temasek untuk melanggar UU Persaingan Dagang sebanyak 27 kali lagi.

Selama ini upaya penanggulangan kejahatan di Indonesia belum terfokus pada penegahan kejahatan. Tawuran antar pelajar merupakan fenomena yang sering kita dengar sejak tahun 1980-an di kota-kota besar di Indonesia khususnya Jakarta. Namun, upaya sistematis untuk meredam perkelahian antar pelajar masih belum optimal. Hal yang sama berlaku dalam hal anti-intimidasi di sekolah. Penelitian ini yang dilakukan oleh Bowles dan Pradiptyo (2004) mengemukakan bahwa anak-anak yang menjadi korban bullying umumnya adalah korban kekerasan (baik di rumah, di sekolah, dan di lingkungan tempat tinggalnya). Persoalan menjadi serius ketika ternyata baik pelaku maupun korban pelecehan mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melakukan kejahatan di kemudian hari.

Kesimpulan

 

Ungkapan "kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar" telah berfungsi sebagai perisai untuk membenarkan utilitas sebagai tujuan hukum dalam teori utilitarian Jeremy Bentham. jika kita mencermati konsep utilitarianisme Jeremy Bentham, kita melihat bahwa alih-alih membahas tujuan hukum, Jeremy Bentham justru mengemukakan beberapa postulat untuk mengevaluasi produk hukum. Hal ini nantinya akan menjadi acuan bagi keberlangsungan pelayanan hukum. keamanan produk evaluasi Jeremy Bentham didasarkan pada dua aspek : kesenangan (manfaat, kenikmatan, kegembiraan, kebahagiaan) dan rasa sakit (rasa sakit, ketakutan, ketidaknyamanan). cara yang digunakan Jeremy Bentham adalah dengan menjumlahkan besarnya kesenangan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh suatu produk hukum sehingga dapat ditentukan apakah produk tersebut merupakan produk yang baik ataukah produk hukum yang buruk (suatu produk hukum adalah produk hukum yang baik jika mempunyai nilai hedonis, begitu juga sebaliknya)

Daftar Pustaka

Schofield, Philip. "Jeremy Bentham, the Principle of Utility, and Legal Positivism." Current Legal Problems 56, no. 1 (2003).

"The legal and political legacy of jeremy bentham." Annual Review of Law and Social Science 9 (November 2013).

Kolosov, Igor V., dan Konstantin E. Sigalov "Was J. Bentham the First Legal Utilitarian?" RUDN Journal of Law 24, no. 2 (2020).

Bowles, R. and R. Pradiptyo (2004) An Economic Approach to Offending, Sentencing and Criminal Justice Interventions, Report to Esmee Fairbairn Foundation, Esmee Fairbairn Foundation, London.

Binaji, S. H., & Hartanti, H. (2019). Korupsi sebagai extra ordinary crimes. Jurnal Kajian Hukum, 4(1), 157–174. 

Samosir, A. (2017). Pembuktian terbalik: Suatu kajian teoretis terhadap tindak pidana korupsi. PROGRESIF: Jurnal Hukum, 11(1). 

Savulescu, J., Persson, I., & Wilkinson, D. (2020). Utilitarianism and the pandemic. Bioethics, 34(6), 620–632.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun