Mohon tunggu...
Nabila PH
Nabila PH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menyuarakan opini

Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patriarki dan Monetisasi Agama dalam Mentoring Poligami

14 Desember 2021   19:01 Diperbarui: 14 Desember 2021   19:19 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagaimana jadinya jika anda membayar jutaan rupiah untuk kelas mentoring poligami yang tidak sesuai dengan anjuran agama? Fenomena mentoring berbayar nyaring terdengar di media sosial bulan November lalu, hal ini bermula dari unggahan video pada kanal youtube Narasi TV yang mengulas salah satu aktivis poligami di Indonesia.

Poligami merupakan polemik yang sering menuai pro dan kontra. Poligami memang tak salah, namun poligami dinilai sebagai keniscayaan peradaban patriarki. Poligami yang semula menjadi urusan ranah pribadi, kini mulai menjadi ajang romantisasi. Tak hanya itu, poligami yang seharusnya menjadi bentuk ibadah justru dimonetisasi dengan adanya kelas mentoring dan seminar berbayar.

Hafidin, atau yang biasa dikenal dengan coach Hafidin adalah salah satu tokoh kondang dalam kampanye berpoligami. Seorang da’i yang mengaku telah menjadi praktisi poligami lebih dari 20 tahun itu rajin mengadakan mentoring poligami berbayar.

Pada setiap brosur yang disebarkan, ia selalu menggaungkan keberhasilannya dalam berpoligami. Hafidin bahkan rela membayar jutaan rupiah untuk memasang iklan demi menggaet audiens yang lebih luas, dimana sasaran utamanya rata-rata adalah wanita.

Dalam salah satu seminarnya, Hafidin berulang kali menekankan doktrin “wanita harus taat pada suami”.

Jika melihat sekilas dari kalimat tersebut, maka benar adanya seorang istri harus patuh terhadap suami. Akan tetapi, tindakan tersebut sebetulnya dapat dikatakan sebagai praktik sub ordinasi apabila wanita selalu dituntut untuk menjadi submissive dalam ranah rumah tangga. Pada akhirnya, paradigma itu dapat berimplikasi pada pembagian peran yang hirarki.

Di pertengahan wawancara, Hafidin mengaku telah menikahi enam orang wanita. Salah satu diantaranya ia lepas dengan alasan yang kurang masuk akal.

“Yang kedua itu karena sudah menopause, kemudian tiba-tiba sudah menopause. Terus saya bilang saya masih pengen punya anak banyak.”

Pernyataan tersebut tentunya menuai amarah warganet. Hafidin seolah menilai wanita hanya sebagai pabrik pembuat anak, ini jelas sangat melenceng dari poligami yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Dalam banyak catatan, Rasulullah menikahi Saudah binti Zam’ah ketika beliau berusia lanjut dan sudah mengalami menopause, bahkan kebanyakan dari istri-istri beliau dinikahi saat sudah berstatus janda dan ada pula budak wanita yang akhirnya merdeka karena dipersunting Rasulullah seperti Shafiyah binti Huyai bin Akhtab yang sebelumnya menjadi tawanan Khaibar. Tujuan beliau berpoligami justru untuk mengangkat derajat wanita, bukan semata untuk mencari kepuasan,

Sisi asli Hafidin mulai tampak saat tim Narasi berbincang tanpa istri-istrinya di sekitar.

“Seperti istri yang ini, waktu saya mau menikah, istri saya tidak tahu bahwa saya mau menikah.” Ungkap Hafidin ketika tim bertanya, apakah ia meminta izin sebelum mempermadukan istrinya?

Menurutnya, “Ngapain izin? Emang istri saya kepala dinas?”

Pengakuannya kembali menuai kritikan, bagaimana bisa sosok Hafidin menjadi seorang mentor yang mengklaim dirinya sukses berpoligami? Ia bahkan tak meminta izin istri sahnya untuk dimadu. Di Indonesia, dalam UU Perkawinan Pasal 5 ayat (1), pengadilan memberikan izin bagi seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu dengan beberapa syarat, pada ayat (1a) dijelaskan bahwa, “adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri”. Meskipun menurut agama pernikahan Hafidin bisa dinilai sah, tetapi tidakan tersebut termasuk dalam diskriminasi gender.

Ketika tim Narasi bertanya alasan mengapa istrinya mau dimadu, mayoritas dari mereka memberikan jawaban yang sama yaitu dijodohkan. Keempat istrinya seolah menerima doktrin dari keluarga terdekat untuk menerima pinangan Hafidin. Miris mengetahui fakta jika mereka menikah dan dimadu bukan karena kemauan sendiri.

“Dijodohkan oleh kakak ipar dengan beliau. Saat itu saya kaget karena beliau kan sudah punya istri. Sempat nolak juga karena kan sudah punya istri. Kenapa gitu?” jelas istri kedua Hafidin.

Jawaban dari istri Hafidin memproyeksikan adanya stereotype bahwa wanita harus selau patuh dan lemah atas dirinya, padahal wanita juga memiliki hak untuk menolak. Al-Ghazali dalam bukunya Nahwu al-Tafsir al-Maudu’I li Suwari Al-Quran, beliau membahas isu poligami dengan terperinci. Al-Ghazali melihat dalam pernikahan tidak boleh ada paksaan, wanita bebas untuk menerima ataupun menolak untuk dimadu. Pada kasus Hafidin membuktikan adanya bias gender yang masih mendarah daging serta minimnya pengetahuan mengenai konsensual atau persetujuan dalam pernikahan.

Salah satu istri termudanya yang berumur sembilan belas tahun bahkan harus merelakan mimpinya untuk berkuliah, nasibnya bergantung pada pendapatan Hafidin dari acara mentoring yang diadakan. Secara terang-terangan, Hafidin memaparkan pemasukan yang didapat dari mentoring poligami selama ini.

“Adalah, kalau sepuluh kali satu bulan. Kalau sepuluh juta kali sepuluh bulan, berarti seratus juta.”

Ia pun membeberkan alasan laki-laki di luar sana mempertimbangkan pilihan untuk berpoligami, “Libido mereka kuat naik, sementara mau berzinah takut.”

Rasanya sangat menyayat hati mendengar jawaban Hafidin, wanita dianggap seperti objek seksual yang bertanggung jawab kepada birahi mereka. Para oknum penggiat poligami secara tak langsung mendeklarasikan tujuan berpoligai atas dasar nafsu belaka. Sebuah hadist Riwayat Tirmidzi pernah menjelaskan secara gamblang,

"Jika engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu."

Poligami bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibesar-besarkan, tak perlu dikampanyekan atau diromantisasi. Doktrin yang ditekankan oleh Hafidin tak lain dan tak bukan merupakan imajinasi bahwa poligami adalah perkawinan yang bisa memberi banyak keuntungan bagi laki-laki. Bisa dikatakan, mentoring yang Hafidin lakukan hanya sebuah bentuk glorifikasi dari praktik patriarki dan kekerasan berbasis gender.

Padahal, dalam setiap ajaran agama mengharuskan wanita mendapatkan perlindungan, melarang adanya kekerasan baik fisik maupun non fisik yang menjadikan wanita tersub ordinasi dan termarginalkan. Islam sudah secara tegas menolak bentuk praktik patriarki dan sangat memuliakan wanita sebagai mana tertuang dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Poligami dikhawatirkan akan berdampak negatif dari berbagai aspek kehidupan. Sejatinya poligami tidak hanya menikahi wanita saja, apakah praktisi bisa memenuhi semua syarat poligami? Sudah betulkah niat mereka berpoligami? Apakah untuk memuliakan wanita atau memenuhi hasrat belaka? Bisakah mereka berlaku adil sebagaimana yang dijelaskan dalam HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.”

Apabila dirasa belum mampu, maka lebih baik untuk bermonogami dan melaksanakan ibadah sunnah selain poligami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun