Salah satu bentuk legitimasi budaya pengetahuan pada masyarakat yaitu hadirnya implementasi rasisme di sekolah. Hal ini membuktikan bahwa kurikulum bukanlah sebuah pemberian gratis belaka yang tidak perlu dievaluasi, melainkan terdapat kontestasi kekuasaan di dalamnya. Pendidikan melalui implementasi kurikulum adalah sarana pelestarian status quo bagi kelas dominan atau berkuasa.
Michael Apple melihat bahwa sistem pendidikan dan budaya merupakan elemen yang penting dalam memelihara relasi dominasi dan eksploitasi di dalam masyarakat. Michael Apple melihat bahwa pendidikan bukan suatu kegiatan yang bebas dan bukan sesuatu yang diterima begitu saja tanpa ada pertanyaan fundamental lebih lanjut (Hidayat, 2011:150).Â
Para pendidik, secara sadar atau tidak kenyataannya ikut terlibat di dalam sebuah aksi politik. Michael Apple juga memaparkan adanya kaitan antara ekonomi, politik dan kekuasaan budaya dalam masyarakat.Â
Kurikulum menurut Michael Apple juga menciptakan ketimpangan struktur sosial yang ada di masyarakat. Implementasi ketidaksetaraan ini bisa dilihat dengan adanya perbedaan akses dalam menerima pengetahuan bagi sekelompok kelas sosial, implementasi ini kemudian dipertahankan dan direproduksi oleh sekolah. Sekolah mempertunjukkan peran penting di dalam mewujudkan dan melestarikan ketidakadilan ini. Dalam pedagogis fundamental Michael Apple memaparkan pemikirannya bahwa adanya ketidakadilan yang terjadi dalam implementasi pendidikan.
Di masa pandemi covid-19 dengan hadirnya PJJ ini tentu menyertakan implementasi teknologi, dimana tidak semua daerah di Indonesia mempunyai saluran teknologi yang patut dan layak dalam mendukung proses pembelajaran e-learning ini. Dalam hal ini Michael Apple melihat adanya dampak teknologi sebagai perangkat di dalam meneruskan adanya kekuasaan ekonomi, politik, kultur dan ideologi yang ada selama implementasi nya di sekolah.Â
Terlebih lagi adanya perubahan kurikulum yang terlalu mendadak dengan menyederhanakan kurikulum nasional yang berlaku melahirkan ketidaksigapan para pendidik dan siswa di daerah-daerah sehingga proses pembelajaran menjadi tidak efektif dan tentu saja keterbatasan fasilitas dan tantangan yang telah disebutkan sebelumnya ini melahirkan ketimpangan sosial seperti apa yang dikatakan oleh Michael Apple. Kebijakan pembelajaran e-learning selama masa pandemic covid-19 juga menimbulkan adanya ketimpangan yang dirasakan oleh sejumlah guru, siswa dan orang tua/wali murid di daerah yang tidak terjangkau akses pendidikannya.
Jika dipahami secara mendalam, pada dasarnya secara filosofi penerapan Kurikulum 2013 ini mengikuti cita-cita pendidikan kritis atau Freireian. Artinya pendidikan harus menempatkan siswa sebagai subjek yang mempunyai kesadaran, bukan sebagai objek (atau dapat diibaratkan sebagai tempayan yang terus menurus diisi). Siswa diajari berkembang dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya sendiri. Sehingga ini dapat dikatakan sebagai usaha mendatangkan kesadaran dalam masyarakat, ketergantungan siswa terhadap guru pun lama kelamaan akan memudar. Selain itu siswa nantinya diharapkan dapat memahami secara kritis hubungan antara materi pelajaran dengan realitas sosial masyarakat yang terjadi.
Referensi
Hidayat, R. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Per Engzell, Arun Frey, and Mark D. Verhagen, 'Learning Loss Due to School Closures
during the COVID-19 Pandemic', Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, (2021), 17.Â
Mastura and Rustan Santaria, 'Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Proses Pengajaran
Bagi Guru Dan Siswa', Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3.2 (2020), 1--7.