Mohon tunggu...
Nabila Mayta
Nabila Mayta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

a not-so-good-with-words comm undergraduate

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Bu Karmi, Tetap Berjualan Jamu Tradisional di Tengah Gempuran Obat Modern

26 November 2023   19:00 Diperbarui: 26 November 2023   19:02 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamu, bagi sebagian orang, acapkali dianggap sebagai “minuman jadul” yang kini sudah jarang dikonsumsi. Terlebih bagi kaum muda sekarang, keberadaan jamu tampaknya kian tak kasat mata akibat munculnya obat-obatan racikan dokter yang makin modern dan diyakini “lebih cepat manjur”. Kendati demikian, jamu nyatanya tetap eksis hingga kini berkat para pedagang jamu tradisional yang patut diapresiasi sebab telah melestarikan warisan budaya leluhur.

Setelah berjalan masuk ke basement Pasar Nongko, tampak sebuah gerobak kecil dengan plang nama berwarna merah mencolok yang mungkin akan langsung menarik perhatian bagi orang yang melintasinya.

Pagi itu rasanya matahari sudah begitu terik, padahal jam masih menunjukkan pukul 8 lewat 12 menit. Awan yang enggan menampakkan diri pun menjadi pelengkap hawa panas di kota kelahiran presiden Joko Widodo itu.

Dari kejauhan, gerobak kecil berisi botol-botol jamu yang berjajar rapi itu tampak kontras berdiri di tengah-tengah kios sayur. Dengan senyum yang terukir di wajahnya, perempuan paruh baya yang kerap disapa Mbak Karmi itu menjamu pelanggan dengan ramah. Sumeh, atau sering tersenyum, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Mbak Karmi.

“Mau jamu apa, Mbak?” ucap Mbak Karmi.

Dengan penuh semangat, Mbak Karmi menjelaskan satu per satu jamunya. Tangannya nampak cekatan meracik jamu seakan ia terlahir untuk itu. Jamu-jamu itu ia racik sesuai dengan keluhan para pelanggannya. Ada yang dibuat untuk meredakan lelah, nyeri haid, hingga perawatan untuk meremajakan diri.

Berbekal ilmu yang diwariskan almarhum kedua orangtuanya, perempuan kelahiran Solo ini mengaku sudah berjualan jamu bertahun-tahun lamanya.

“Awal jualan karena melanjutkan usaha almarhum orang tua aja, Mbak. Masalah untung ngga bisa dipastikan tapi alhamdulillah-nya cukup buat sehari-hari” katanya.

Mbak Karmi, penjual jamu tradisional di Pasar Nongko, sedang meracik jamu sebelum diberikan kepada pelanggan

Selang beberapa menit, satu per satu pelanggan jamu datang seraya mengadukan keluhan yang mereka alami. Seorang pelanggan lama jamu Mbak Karmi, Ulfah, mengaku merasakan khasiat yang nyata dari jamu racikan Mbak Karmi itu.

“Sering kesini buat minum jamu yang memperlancar haid, Mbak. Alhamdulillah selalu lancar dan menurut saya di badan lebih sehat juga rasanya dibanding minum obat tablet,” kata Ulfah.

Walaupun pedagang jamu kerap dipandang sebelah mata, Mbak Karmi mengaku bangga dengan profesinya. Dari hasil jerih payahnya, ia mampu menyekolahkan anaknya ke salah satu universitas bergengsi di kota Solo.

“Alhamdulillah tahun ini anak saya jadi mahasiswa baru, Mbak. Dari hasil jualan jamu ini insyaallah saya bisa biayai kuliah dia,” ujarnya.

Dengan mata yang berbinar dan senyum yang seakan tak pernah padam, ia menyuguhkan jamu beras kencur ke pelanggan lain sambil melanjutkan ceritanya.

“Dia daftar di jurusan bimbingan konseling,” sambung Mbak Karmi dengan bangga.

Setiap pagi, Mbak Karmi memboyong belasan botol kaca berisikan berbagai macam jamu ke Pasar Nongko dengan menaiki sepeda ontel. Jamu-jamu itu kemudian ditata rapi di gerobak kecilnya. Ia berjualan mulai pukul 7 pagi hingga 12 siang.

Dahulu, sebelum memiliki gerobak kayu, Mbak Karmi berjualan keliling dengan mengayuh sepeda ontel kesayangannya di sepanjang Jalan Hasanudin, jamu-jamunya itu ia tadahi di keranjang rotan yang dililitkan ke sepeda menggunakan selendang. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menetap di basement Pasar Nongko.

“Dulu kalau jualan susah, Mbak. Pas naik sepeda saya sering was-was takut botolnya jatuh,” ujarnya.

Lambat laun, khasiat jamu Mbak Karmi semakin dikenal dari mulut ke mulut pelanggannya. Alhasil, ia sanggup membeli gerobak kecil sebagai modal berjualan jamu hingga kini.

Satu porsi jamu Mbak Karmi dibanderol dengan harga Rp5000. Dengan itu, pelanggan akan mendapatkan satu ikat jamu sebagai “obat” yang disesuaikan dengan keluhan mereka dan satu ikat jamu sebagai tombo–jamu untuk menghilangkan rasa pahit yang tertanggal di lidah–yang biasanya berperisa manis seperti beras kencur.

Menjual jamu tidak seperti makanan atau minuman lain yang memiliki pelanggan pasti setiap harinya. Terkadang, pelanggan hanya datang beberapa hari sekali karena sudah membeli jamu dalam kemasan besar (500 ml) yang dibanderol dengan harga Rp25000.

Meski sulit menjual jamu tradisional di tengah maraknya obat-obatan modern, Mbak Karmi mengaku senang dan tetap bersyukur berapapun hasil yang ia dapatkan. Baginya, jumlah pelanggan yang saat ini saja sudah cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Bisa melanjutkan usaha almarhum orang tua sampai di titik ini saja saya sudah senang banget, Mbak. Kalau masalah rejeki biar diatur yang di atas,” ucapnya seraya membersihkan gelas jamu dengan kain bersih.

Lewat usahanya itu, Mbak Karmi mengaku sudah dapat memenuhi beberapa impiannya yakni membeli hunian secara tunai serta menguliahkan putrinya di perguruan tinggi negeri.

Saat itu, Pasar Nongko sedang berada di puncak aktivitasnya. Di tengah hiruk-pikuk para pelaku jual-beli, Mbak Karmi sempat menitip harap.

“Saya cuma pengen masyarakat gencar konsumsi minuman herbal, Mbak. Salah satunya ya jamu ini. Soalnya kalau keseringan minum obat buatan pabrik itu bahaya efek sampingnya buat badan kita,” katanya.

Kala itu jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat 52 menit. Gerobak jamu Mbak Karmi makin dipadati pelanggan yang tak henti-hentinya berdatangan. Hingga dari kejauhan, gerobak kecil itu tak nampak lagi karena dikerubungi lautan manusia. Satu yang pasti, senyum Mbak Karmi akan tetap terpatri hingga penghujung hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun