Sinar pagi melukiskan waktunya di penghujung subuh.
Mentari mengetuk lelapnya seorang lelaki.
Ia berbegas menyambut pagi,Â
Walau peluh masih menyelimuti tubuh rentanya.Â
Ia bergegas memompa diri, mendaki pundi-pundi terjal.
Hanya untuk menjamin kecerahan masa depan keluarga.
Hari demi hari, sang lelaki menunggangi beratnya hidup.
Menepis semua air mata hanya demi melihat sebuah senyuman pada sang buah hati.
Saat senja pulang, ia pulang dengan basuhan keringat.
Sang anak mengeluh, jua sang istri. Tapi tidak dengannya.
Ia berdiri tegak dan tersenyum, seakan-akan laranya melebur begitu saja.Â
Ia hanyalah seorang ayah yang ditelapak kakinya mungkin tak terdapat surga.
Tapi tetap bersikeras membangun istana nirwana untuk sepasang mata kecil berbinar.
Tak mengindahkan derasnya hujan yang mengguyur,Â
atau sengatan mentari yang merasuk tubuhnya.
Ia hanyalah seseorang dibalik layar kehidupan.
Tak pernah menaiki panggung, tak pernah mementaskan dramanya.
Cukuplah ia memeluk dan memendam lelahnya sendiri,
Hanya duduk di kursi terdepan, menonton dan menjaga senyuman keluarga.Â
Tubuhnya tak lagi sekuat baja.Â
Walau renta sudah menanjaki usianya.
Walau butiran lelah membanjiri tubuhnya.
Walau rabun menyelimuti matanya.
Ia lah sang ayah, yang selalu berdiri tegak.Â
Terimakasih ayah, untuk surga dunia yang kau perjuangan untukku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H