Sudah dua tahun lebih pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Banyak dari individu yang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19, namun mereka tidak bisa bernapas lega dulu karena nyatanya tak sedikit yang merasakan gejala berkelanjutan yang dikenal sebagai long covid yang terdiagnosis setidaknya 12 minggu setelah infeksi Covid-19.Â
Gejala long covid beragam, mulai dari kelelahan, kesulitan bernapas, hingga sindrom aktivasi sel mast yang dapat memicu munculnya alergi baru ataupun kekambuhan alergi pada seseorang. Terapis okupasi senior badan amal Long Covid Kids, Kirsty Stanley, mengatakan bahwa sejumlah anak dengan long covid mengalami alergi atau hipersensitivitas baru dan terdiagnosis mengalami MCAS (Mast Cell Activation Syndrome).
Berdasarkan pengalaman pribadi dari lingkungan sekitar, setelah terinfeksi Covid-19, rata-rata orang-orang tersebut mengalami long covid yang mengakibatkan munculnya alergi baru atau kekambuhan alergi yang sudah lama sembuh, contohnya sebelum terinfeksi Covid-19 orang tersebut tidak memiliki alergi terhadap kacang-kacangan, namun ia terkena long covid yang memicu aktivasi sel mast, sehingga reaksi alergi pun muncul.Â
Namun, sayangnya hingga saat ini belum banyak publikasi di Indonesia mengenai kemunculan alergi karena sindrom aktivasi sel mast sebagai efek dari long covid. Entah karena kemunculannya ini tidak disadari ataupun karena faktor lainnya. Jangan-jangan gejala alergi ini pernah terjadi pada anda ketika terkena long covid, tetapi anda tidak menyadarinya.
Lantas, apa sih MCAS itu?
Mast Cell Activation Syndrome (MCAS) merupakan gangguan multisistem kronis yang biasanya berkaitan dengan inflamasi dan alergi. Mast cell ada di semua jaringan pembuluh darah, namun lebih dominan pada dinding-dinding pembuluh darah. Sel ini dapat diaktifkan oleh SARS-Cov-2 yang menyebabkan infeksi Covid-19. Pengaktifan sel akan menghasilkan pelepasan histamin. Dilansir dari WebMD, histamin berfungsi sebagai sistem kekebalan yang diibaratkan seperti penjaga yang akan menyingkirkan dan mengeluarkan segala sesuatu pemicu alergi dari dalam tubuh sehingga menyebabkan reaksi gatal pada kulit, bersin, ataupun mengeluarkan air mata.
Bagaimana gejala MCAS?
Ada banyak gejala berbeda dengan tingkat keparahan yang beragam yang dapat mempengaruhi tubuh kita sekaligus. Dilansir dari WebMD, gejala-gejala ini dapat muncul setelah kita makan, mencium bau wewangian, dan lain-lain. Gejala utama ini meliputi munculnya pembengkakan, gatal dan ruam, peradangan, muntah-muntah, sakit kepala, diare dan sembelit, sakit pada area perut, berkeringat, kelelahan, hingga pingsan. Selain itu, detak jantung juga menjadi lebih cepat. Gejala lainnya adalah flushing, yaitu kulit atau wajah memerah dan terasa panas.
Cara mengatasi gejala MCAS
Sampai saat ini, obat MCAS yang ampuh belum tersedia. Namun, kita dapat melakukan beberapa cara, misalnya menghindari pemicu, seperti makanan tertentu, alergen yang ada di lingkungan, pemicu umum seperti stres dan kurang tidur, serta pemicu fisik seperti olahraga berlebihan dan menghadapi perubahan suhu lingkungan yang ekstrem.
Diet rendah histamin diketahui dapat membantu beberapa orang mengelola gejala MCAS, meskipun belum terbukti secara ilmiah di dalam penelitian. Diet rendah histamin dilakukan untuk membatasi makanan yang umumnya dianggap tinggi histamin yang dilepaskan oleh sel mast saat diaktifkan. Makanan yang tinggi histamin yang perlu dihindari ini misalnya keju keras, ikan, bayam, sosis, dan alkohol.
Selain itu, beberapa orang juga menerapkan diet rendah FODMAP untuk mengatasi gejala MCAS, meskipun sama seperti diet rendah histamin yang belum dibuktikan secara ilmiah. Diet rendah FODMAP ini dilakukan dengan menghindari konsumsi makanan-makanan yang mengandung gula dengan tujuan untuk membatasi masuknya makanan tertentu, kemudian mengidentifikasi makanan apa yang ternyata memicu timbulnya gejala MCAS.Â
Pada diet rendah FODMAP, makanan yang dihindari meliputi produk susu, gandum, kacang-kacangan, buah-buahan tertentu, termasuk apel dan persik, serta sayuran tertentu, termasuk asparagus dan brokoli. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa kita juga perlu untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi untuk memastikan asupan nutrisi yang tubuh kita perlukan masih tercukupi.
Jika ingin menggunakan obat-obatan, maka gunakanlah obat yang sudah diuji coba oleh medis. Untuk obat-obatan yang sudah dijual bebas, sebaiknya jangan lupa untuk ditanyakan terlebih dahulu kepada apoteker atau penyedia layanan kesehatan terkait kesesuaian dan dosisnya.
Penulis: Nabila Jihan Fairuzia & Puti Intan Sari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H