Mohon tunggu...
Nabila Iswara
Nabila Iswara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Isu-isu kesehatan masyarakat | Gaya hidup sehat | Kebijakan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jejak Budaya : Pengaruh Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak

23 Desember 2024   23:18 Diperbarui: 24 Desember 2024   00:01 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Stunting adalah salah satu isu kesehatan yang masih menjadi perhatian besar di Indonesia. Masalah ini tidak hanya berdampak pada tumbuh kembang anak tetapi juga pada masa depan bangsa. Artikel ini tidak hanya merujuk pada temuan-temuan ilmiah tetapi juga mencerminkan situasi yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari di berbagai wilayah Indonesia.

Apa Itu Stunting?

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Anak yang mengalami stunting memiliki tinggi badan di bawah standar usianya. Kondisi ini mempengaruhi perkembangan otak sehingga tingkat kecerdasan anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan produktivitas pada saat dewasa dan menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit. 

Pengaruh Sosial Budaya dalam Kejadian Stunting

Berikut adalah beberapa aspek penting faktor sosial budaya yang memengaruhi kejadian stunting di Indonesia:

  1. Kepercayaan Tradisional: di banyak daerah terdapat kepercayaan yang mempengaruhi pola makan anak. Misalnya, Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan memahami penyapihan adalah pemberhentian pemberian ASI. Ketika anak sudah mulai mampu mengkonsumsi makanan keluarga atau makanan selain ASI maka anak tidak diberi ASI atau dalam bahasa setempat disebut "sole". Pada proses ini terjadi pemisahan bayi dari payudara ibunya sebelum usia 24 bulan atau 2 tahun.

  2. Etnis: Sebuah kelompok etnis tertentu memiliki keyakinan, tradisi, dan budaya yang selalu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, yang berpotensi mempengaruhi masalah kesehatan. Fenomena ini sering terjadi akibat kebiasaan yang dijalani oleh individu dalam suatu kelompok yang ditentukan oleh etnis atau tempat tinggal, yang kemudian kebiasaan, budaya, dan kepercayaan itu akan terus diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

  3. Pola Asuh Anak: Pola asuh yang dipengaruhi budaya, seperti pemberian makan terlambat atau kurangnya pemberian ASI eksklusif, sering kali menjadi penyebab utama stunting. Banyak ibu masih bergantung pada tradisi ketimbang informasi kesehatan modern. Sebuah penelitian tentang adanya manifestasi dari gaya hidup adaptif hustle culture (budaya kerja) yang mendorong kejadian stunting pada anak-anak. Ibu yang bekerja rawan memutuskan pemberian ASI eksklusif karena harus kembali bekerja sebelum 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa ibu bekerja berpeluang mengalami kasus stunting pada anaknya 1,15 kali lebih tinggi dari ibu yang tidak bekerja.

  4. Dukungan Keluarga dan Sosial: Dukungan sosial berperan penting dalam mencegah atau mengatasi stunting. Sebuah penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari suami atau pasangan dapat meningkatkan kemungkinan ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sehingga dapat membantu mencegah stunting.

  5. Budaya Pantangan Makanan: Pantangan makanan dalam budaya tertentu dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting, karena secara tidak langsung membatasi atau melarang konsumsi makanan bergizi tinggi. Sebuah penelitian menemukan terdapat budaya pantangan makanan pada salah satu suku yang ada di Desa Tunoe yakni Suku Kefi yaitu melarang anggota sukunya untuk tidak boleh mengonsumsi makanan berwarna merah dan makanan sumber protein hewani seperti ikan. Alasan Suku Kefi masih mempraktekkan pantangan makanan ini yaitu karena menghormati tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Solusi: Pendekatan Berbasis Budaya

Untuk mengatasi stunting, kita perlu pendekatan berbasis budaya yaitu:

  • Edukasi melalui Tokoh Adat dan Agama: Melibatkan pemimpin lokal dalam kampanye gizi yang menghormati nilai-nilai lokal tetapi tetap mendorong konsumsi makanan bergizi.

  • Pemberdayaan Peran Kader: Memaksimalkan peran kader kesehatan di Posyandu dalam memberikan informasi terkait pencegahan stunting dengan pendekatan budaya yang sesuai di masyarakat setempat.

  • Penguatan Layanan Kesehatan: Membuka layanan kesehatan yang ramah budaya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas tersebut.

Dengan memahami akar penyebabnya, termasuk faktor sosial budaya, kita dapat bersama-sama menciptakan generasi Indonesia yang lebih sehat dimasa depan. Pengaruh sosial budaya terhadap stunting mengingatkan kita bahwa kesehatan bukan hanya soal medis, tetapi juga tentang kebiasaan, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mari kita jadikan isu ini sebagai momentum untuk membangun kesadaran bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun