Di tengah-tengah panorama perkembangan pendidikan tinggi yang semakin pesat, sebuah fenomena menarik muncul dari kawasan pedesaan, tepatnya di daerah tempat saya tinggal yaitu di desa Banjaran kabupaten Jepara. Seperti masyarakat desa pada umumnya, di mana pendidikan seringkali dianggap sebagai "langkah tambahan", lebih cenderung memilih untuk bekerja daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Fenomena ini juga terjadi di Desa Banjaran, sebagian besar dari masyarakatnya lebih memilih bekerja daripada melanjutkan Pendidikan ke jenjang perkuliahan. Meskipun terasa kontrast dengan tren global, fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang nilai-nilai lokal dan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat di desa tersebut.
Menelusuri Akar Fenomena Ini
Menyusuri dukuh-dukuh di Desa Banjaran, pola yang sama terlihat: penduduk muda cenderung beralih ke pekerjaan atau usaha mandiri setelah menyelesaikan pendidikan menengah. Alih-alih mengikuti arus pendidikan tinggi, banyak di antara mereka yang memilih untuk membantu keluarga mereka, mencari nafkah sendiri, atau mengejar kesempatan ekonomi yang lebih langsung.
Melanjutkan Pendidikan tinggi masih dianggap membuang-buang uang, dikarenakan banyaknya kampus-kampus yang Uang Kuliah Tunggal (UKT) per semesternya masih dinilai tinggi. Sedangkan apabila melanjutkan ke dunia kerja, mereka dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sedikit banyak membantu perekonomian keluarga.
Mengapa Prioritas Kerja Lebih Tinggi dari Pendidikan?
Beberapa faktor mendasar dapat diidentifikasi dalam menggambarkan mengapa masyarakat desa cenderung memprioritaskan kerja daripada pendidikan tinggi:
1. Kebutuhan Ekonomi Mendesak:
  Bagi banyak keluarga di desa, kebutuhan ekonomi sehari-hari memiliki prioritas yang lebih tinggi daripada pendidikan tinggi yang memerlukan investasi waktu dan uang yang signifikan. Menyambung hidup sehari-hari menjadi fokus utama.
2. Keterbatasan Akses dan Sumber Daya:
  Di desa tempat saya tinggal tersebut seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap institusi pendidikan tinggi dan kurangnya sumber daya yang dibutuhkan untuk mengejar pendidikan lebih tinggi. Hal ini bisa mencakup akses terhadap informasi, transportasi, dan fasilitas pendukung. Bahkan di Kabupatennya sendiri jumlah perguruan tinggi masih terbatas meskipun tidak bisa dibilang sedikit.
3. Nilai-nilai Tradisional:
  Di beberapa masyarakat desa Banjaran, nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya kerja keras dan kontribusi langsung terhadap keluarga. Nilai-nilai tersebut mengalahkan nilai-nilai pendidikan formal yang mungkin dianggap sebagai "luks" atau tidak praktis.
Implikasi Jangka Panjang
Fenomena ini memiliki dampak yang cukup signifikan, terutama dalam jangka panjang:
- Siklus Kemiskinan yang Terus Berlanjut: Prioritas pada kerja daripada pendidikan dapat mempertahankan siklus kemiskinan, dengan sedikit kesempatan untuk mobilitas sosial dan peningkatan ekonomi.Â
- Keterbatasan Pengembangan Potensi: Tidak adanya akses terhadap pendidikan tinggi menghalangi pengembangan potensi individu dan masyarakat secara keseluruhan, menghambat inovasi dan perkembangan ekonomi lokal.
- Kesenjangan Pendidikan dan Kesempatan: Masyarakat desa yang lebih memilih untuk bekerja daripada melanjutkan pendidikan tinggi bisa mengalami kesenjangan pendidikan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat di wilayah perkotaan.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan beberapa pemuda di Desa Banjaran yang lebih memilih untuk berkerja dibandingkan dengan kuliah, mereka menuturkan bahwa perkuliahan bukanlah suatu hal yang sangat penting, menurut mereka tidak sedikit lowongan pekerjaan yang membutuhkan lulusan SMA/SMK sehingga tidak perlu sampai membuang-buang uang, waktu, tenaga, dan juga pikiran untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan.Â
Fenomena di mana masyarakat desa lebih mementingkan kerja daripada melanjutkan pendidikan tinggi menyoroti kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh komunitas pedesaan. Penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memahami konteks lokal dan bekerja sama untuk mengatasi hambatan-hambatan yang menghambat akses dan partisipasi dalam pendidikan tinggi. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang geografisnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi dan menggapai potensi penuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H