Penyebab dari Skizofrenia diantaranya adalah 1) Biologi : yaitu genetic, neurobiology, ketidak seimbangan neurotransmitter (peningkatan dopamine), perkembangan otak dan teori virus. 2) Psikologis : Kegagalan memenuhi tugas perkembangan psikososial dan ketidakharmonisan keluarga meningkatkan resiko Skizofrenia. Stressor sosiokultural, stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya (Stuart, 2013). Gejala psikos semakin memperburuk kondisi karena pasien Skizofrenia kesulitan dalam berpikir, emosi, bahasa, mempersepsikan suatu hal dan berperilaku.
Penanganan di rumah sakit jiwa atau klinik khusus jiwa atau klinik khusus jiwa dilakukan di institusi khusus yang menangani kasus kejiwaan. Disisi lain, penerapan berbasis masyarakat belum optimal. Petugas kesehatan yang ada di tingkat pelayanan primer bahkan masih memiliki pemahaman yang belum memadai tentang cara perawatan pasien jiwa di masyarakat, sehingga kecenderungan keluarga akan membawa anggota keluarga yang menderita Skizofrenia ke rumah sakit jiwa. Oleh karena itu timbul kekhawatiran ketika pasien sudah dipulangkan dari rumah sakit jiwa dan kembali Masyarakat justru mengalami kekambuhan dengan tanda dan gejala yang sama seperti sebelum di rawat di rumah sakit jiwa.
Adapun beberapa obat yang digunakan adalah Antipsikotik: Obat ini merupakan pengobatan utama untuk Skizofrenia. Contohnya : Generasi pertama (antipsikotil tipikal) : Haloperidol, Chorpromazine. Generasi kedua (antipsikotik atipikal) : Risperidone, Oanzapine, Aripiprazole. Penting untuk meminum obat sesuai petunjuk dokter, karena penghentian mendadak dapat memperburuk gejala. Terapi terapi kognitif-perilaku (CBT): Membantu pasien mengenali pola pikir yang tidak realistis dan mengubahnya. Terapi Psikososial : Melatih kemampuan sosial dan membantu pasien beradaptasi dalam lingkungan sosial. Terapi keluarga : Meningkatkan pemahaman keluarga tentang Skizofrenia sehingga dapat memberi dukungan yang tepat. Rehabilitasi : Membantu pasien meningkatkan keterampilan hidup sehari-hari, seperti bekerja atau berinteraksi sosial.
Bleuler (dalam Nevid, 2012) menambahkan skizofrenia dapat dikenali berdasarkan 4 ciri gejala utama/ 4A: (1) Asosiasi, yaitu hubungan antara pikiran pikiran menjadi terganggu atau biasa disebut dengan gangguan pikiran atau asosiasi longgar; (2) Afek, yaitu respon emosional menjadi datar atau tidak sesuai ;(3) Ambivalensi, yaitu inividu memiliki perasaan ambivalen terhadap orang lain seperti membenci sekaligus cinta terhadap pasangan; (4) Autisme, yaitu penarikan diri ke dunia fantasi pribadi yang terikat oleh prinsip-prinsip logika. Gangguan Skizofrenia terbagi atas 3 tipe, yakni skizofernia disorganisasi, katatonik, dan paranoid (APA, 2000). Tipe disorganisasi sering kali digambarkan dengan ciri-ciri perilaku yang kacau, pembicaraan yang koheren dan waham yang tidak terorganisasi dengan tema seksual/religious. Tipe hebefrenik sering kali muncul dalam bentuk perlambatan aktivitas akibat yang berkembang menjadi stupor bahkan fase agitasi. Tipe paranoid terlihat dengan sering munculnya halusinasi auditoris dan waham yang menyebabkan kegelisahan atau ketakutan.
Teori Adler (dalam Olson & Hergenhahn, 2013 ) menyatakan bahwa semua manusia memulai hidupnya dengan perasaan-perasaan inferioritas. Hal ini dikarenakan saat manusia lahir ia akan sepenuhnya bergantung pada orang dewasa untuk bertahan hidup. Seiring berkembangnya waktu, anak-anak akan merasa tidak berdaya jika membandingkan dirinya dengan orang dewasa. Perasaan lemah, impoten dan inferior ini menstimulasi untuk mencari kekuatan. Ketika individu tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi perasaan inferior, maka ia akan menggunakan agresi sebagai kompensasi. Perasaan inferioritas dapat berdampak positif, yaitu menjadi penggerak individu mencapai keinginan.
Meskipun inferioritas dapat bertindak sebagai stimulus bagi pertumbuhan positif, namun inferioritas juga dapat menciptakan neurosis. Seseorang dapat tenggelam dengan perasaan-perasaan inferioritasnya dan mencegahnya berusaha meraih kesuksesan. Di situasi seperti ini, inferioritas bertindak sebagai penghalang untuk pencapain positif di dalam diri individu. Hasil penelitian Kendler (1985) menunjukkan bahwa inferioritas menjadi salah satu premorbid bagi gangguan skizofrenia. Individu yang memiliki inferioritas tinggi seringkali tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan tekanan, memiliki keterbatasan fisik dan memiliki kemungkinan kesembuhan lebih rendah. Penelitian Moritz (2006) juga turut menyatakan bahwa individu dengan riwayat skizofrenia rentan memiliki skor self esteem yang rendah. Self esteem yang rendah ini menjadi salah satu faktor tingginya rasa inferioritas di dalam diri.
Fase Pramorbid (sebelum sakit) Tanda dan gejala pramorbid muncul sebelum fase prodromal penyakit.Pola gejala pramorbid mungkin merupakan bukti pertama penyakit, meskipun gejala biasanya hanya diketahui secara retrospektif. Tanda-tandanya mungkin dimulai dengan keluhan tentang gejala somatik, seperti sakit kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan, dan masalah pencernaan. Selama tahap ini, seorang pasien mungkin mulai mengembangkan minat pada ide-ide abstrak, filsafat, dan pertanyaan-pertanyaan gaib atau keagamaan.Beberapa fase perjalanan penyakit gangguan skizofresina meliputi fase prodromal, aktif, residual, remisi dan recovery.
Fase Prodromal adalah bagian dari gangguan yang berkembang. Pada fase prodromal ini terdapat gejala-gejala negatif. Tanda dan gejala prodromal tambahan dapat mencakup perilaku yang sangat aneh, afek abnormal, bicara yang tidak biasa, ide- ide aneh, dan pengalaman persepsi yang aneh. Timbulnya gejala dimulai pada masa remaja dan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. Perubahan sosial atau lingkungan, seperti pergi keperguruan tinggi, menggunakan zat, atau kematian kerabat, dapat memicu gejala yang mengganggu, dan sindrom prodromal dapat berlangsung satu tahun atau lebih sebelum timbulnya gejala psikotik yang nyata atau lebih singkat. Fase Aktif ditandai dengan munculnya gejala-gejala positif dan memberatnya gejala negatif.
Referensi
Y. Afconneri, W. Getra Puspita, J. Keperawatan, K. Padang, J. R. Siteba, and S. Gadang, “FAKTOR-FAKTOR KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA.”
B. Keperawatan Jiwa, F. Keperawatan, U. Syiah, and K. B. Aceh, “Characteristic of Schizophrenic Patient with Experience Rehospitalization Sri Novitayani,” Idea Nursing Journal, vol. VII, no. 2, 2016.