Mohon tunggu...
NABILAH PUTRI PATRICIA
NABILAH PUTRI PATRICIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Antropologi Universitas Airlangga

perempuan berusia 18 tahun dengan berjuta mimpi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemberantasan Homophobia Melalui Pendekatan SOGIESC

10 Juni 2022   16:17 Diperbarui: 10 Juni 2022   16:35 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita lihat pada situasi saat ini Indonesia dihebohkan dengan isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). pengertian dari LGBT itu sendiri adalah homoseksual, yang dimana seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai mitra seksual. 

Perilaku LGBT dianggap suatu bentuk perilaku negatif karena perilaku tersebut dipandang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. sehingga LGBT masih sering mengalami penolakan di lingkungan masyarakat. terutama kepada masyarakat heterosexism yaitu masyarakat yang mendiskriminasi atau benci terhadap seseorang yang memiliki sikap homoseksual.

Sehingga mengakibatkan munculnya sebuah perasaan serta pikiran negatif yang dimiliki oleh kaum homoseksual ke dirinya sendiri karena identitasnya sebagai homoseksual dilakukan dalam penyangkalan diri, rendah diri sehingga pada akhirnya membuat mereka menyembunyikan identitasnya sebagai homoseksual. 

Masyarakat kerap menganggap bahwa kaum homoseksual adalah kaum yang menjijikkan, serta stigma buruk masyarakat dan prasangka negatif masyarakat terhadap kaum homoseksual pada akhirnya menimbulkan seseorang untuk enggan serta takut dan lebih untuk menjauhi kaum homoseksual tersebut, mereka juga kerap memiliki rasa kecemasan, keengganan dan ketidaknyamanan pada diri seseorang jika berhadapan atau berada di situasi sekitar lesbian, gay, biseksual, transeksual, karena orang tersebut memiliki pengalaman negatif sepanjang hidupnya, fenomena inilah yang biasa kita sebut dengan homophobia (Mariani, 2013). 

Permasalahan nya disini adalah dengan adanya fenomena homophobia mengakibatkan masih banyak masyarakat yang sering membully kaum homosexual tersebut. Jika kita lihat data UNESCO tahun 2012, bullying terhadap Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) menempati peringkat tertinggi nomor 2 setelah bullying berat badan (Oki Rahadianto Sutopo, 2019). 

Padahal jika kita lihat homophobia hanyalah sebagai ego maskulinitas yang dimana terdapat kata ego yang artinya egois dimana seseorang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan berpandang satu hal. Keegoisan laki laki maskulinitas dikarenakan mereka tidak mau dipandang rendah dan tidak mau dianggap remeh hal hal diluar maskulinitas.

Homophobia juga sekedar sebagai status perlindungan identitas diri. maksud dari identitas diri berarti mempertahankan suatu gaya pribadi yang khas atau suatu gaya keindividualitasan diri. setiap orang harus mampu menjaga identitas dirinya sendiri, karena identitas dapat menentukan kehidupan seseorang sendiri. 

Ketika masyarakat mengetahui identitasnya merupakan seorang homo atau LGBT, maka orang tersebut harus siap menerima konsekuensinya, hal itu tentu saja dikarenakan penolakan masyarakat terhadap kelompok LGBT.Masyarakat dapat dengan mudah menemukan identitas untuk seorang laki –laki transgender atau waria, namun masyarakat akan sulit ketika membedakan identitas laki –laki homo dengan laki laki tidak homo. 

Transgender atau waria memperlihatkan dirinya sebagai seorang wanita dan juga merasa bahwa dirinya adalah wanita, dan karenanya transgender atau waria di identifikasi sebagai homoseksual karena pada umumnya seorang wanita ditakdirkan untuk seorang laki –laki. Namun berbeda dengan seorang homo atau gay yang hanya merasa ketertarikan atas seksualnya terhadap jenis kelamin yang sama, tidak dengan mengubah penampilannya sebagai seorang wanita, karena seorang homo juga menentukan dirinya sebagai seorang laki –laki atau seorang perempuan, walaupun pada akhirnya pasangannya tetap dengan jenis kelamin yang sama. 

Hal ini dimaksud dengan identitas seksual yang mengartikan bagaimana seseorang memandang dirinya sebagai laki –laki atau sebagai perempuan. Yang dimana Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai perkembangan jaman .Pengertian seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis.

Upaya agar tidak muncul lagi masyarakat heterosexism agar kaum homoseksual bisa lebih mengekspresikan dirinya agar tidak sembunyi dibalik kata maskulinitas dan sebagiannya,dan agar tidak dibully lagi oleh kalangan masyarakat adalah masyarakat harus diberi pemahaman tentang sogiesc. mengapa harus sogiesc? karena banyaknya diskriminasi,dan persekusi bahkan kekerasan yang menyerang pada seseorang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, konstruksi budaya juga mempengaruhi masyarakat memiliki pemikiran yang sempit. 

Pengertian dari SOGIESC itu sendiri adalah konsep pemahaman mengenai ketubuhan, orientasi seksual, dan gender, yang dibuat agar dapat membuka pikiran masyarakat secara lebih luas. Yang dimana SOGIESC terdiri dari SO (sexual orientation), yang artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin tertentu, GI (gender identity) mengenai bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya terhadap suatu gender tertentu, perlu dicatat bahwa ini adalah otoritas setiap orang, kita tidak bisa men judge seorang yang fisiknya nampak seperti laki - laki, akan tetapi dia ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, ataupun sebaliknya, dan ada juga seorang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai transgender, dan ada juga seseorang yang tidak ingin mengidentifikasikan dirinya baik sebagai laki - laki, perempuan, maupun transgender yang seringkali disebut sebagai "QUEER",E (expression) mengenai bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, SC (sex characteristic) berbicara mengenai karakteristik sexual setiap orang, hal ini berkaitan dengan kromosom, gonad dan biologi setiap orang (Arivia & Gina, 2015). 

Konsep ini berlatar belakang pada banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi karena masyarakat masih belum mampu menerima keberagaman, baik itu keberagaman gender, maupun orientasi seksual. Kurangnya pengetahuan masyarakat nyatanya tak hanya berhenti pada seks karakteristik tersebut, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum paham benar mengenai identitas gender. Masyarakat hanya mengenal adanya peran laki-laki dan perempuan di kehidupan sosial serta tidak ada lagi peran ataupun ruang bagi identitas gender lain. Perspektif masyarakat yang belum dikonstruksi secara benar mengenai identitas gender mengakibatkan munculnya suatu penyimpangan berkonotasi diskriminasi terhadap minoritas gender (LGBT) dimana mereka pada dasarnya secara lahiriah memiliki hak yang sama seperti mayoritas gender lainnya. 

Padahal seseorang jika memilih untuk menjadi kaum homoseksual itu merupakan bagian dari otoritas mereka. Mengapa otoritas seseorang? Karena disini kita berbicara mengenai hak tiap orang yang dimana kita harus menghormati bukan malah memberi stigma negative kepada kaum tersebut. Karena stigma itu lahir juga dari konstruksi budaya di masyarakat dan perlu dicatatat bahwa semua unsur di dalam sogiesc tidak saling terikat tetapi balik lagi ke ototritas seseorang. 

Kesimpulannya disini adalah fenomena homophobia muncul karena masih banyaknya masyarakat yang kerap memandang buruk kaum homoseksual , karena Perilaku homoseksual dimata masyarakat dianggap suatu bentuk perilaku negatif dan juga dianggap menyimpang dari norma masyarakat , stigma buruk masyarakat dan prasangka negatif masyarakat terhadap kaum homoseksual pada akhirnya menimbulkan seseorang untuk enggan serta takut dan lebih untuk menjauhi kaum homoseksual tersebut. Padahal setiap orang memiliki hak untuk memenuhi ketubuhan, orientasi seksualnya. Oleh karena itu pemahaman sogiesc hadir untuk bisa membuka mata serta pikiran masyarakat lebih luas. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi atau pandangan buruk terhadap kaum homoseksual tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA 

Arivia, G., & Gina, A. (2015). “Makna Hidup” Bagi LGBT Ketika Negara Abai: Kajian Queer di Jakarta. Jurnal Perempuan, 20(4).

 Mariani, O. (2013). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Komitmen Beragama dengan Internalized Homophobia pada Lesbian. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2), 1–10. 

Oki Rahadianto Sutopo. (2019). Heteronormativitas, Wacana LGBT dan Perjuangan Komunitas Waria Melawan Stigma. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 6(1), 1–17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun