Mohon tunggu...
Nabilah Fathimah Khairunnisa
Nabilah Fathimah Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor

Saya memiliki minat yang tinggi di bidang ekologi dan konservasi. Perhatian utama saya adalah keadaan lingkungan hidup, dan saya sangat ingin berkontribusi dalam menyelesaikan dan mencegah permasalahan lingkungan hidup di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Kodok Buduk (Asian Common Toad): Persebaran dan Potensinya sebagai Spesies Alien-Invasif

2 Mei 2024   23:06 Diperbarui: 2 Mei 2024   23:17 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duttaphrynus melanostictus (Dokumentasi Pribadi, 2021)

Duttaphrynus melanostictus, atau umumnya disebut masyarakat lokal sebagai Kodok Buduk, merupakan spesies kodok yang umum ditemukan di wilayah Asia. Biasanya, spesies ini banyak dijumpai di wilayah perkotaan atau wilayah yang dekat dengan manusia. 

Ciri khas yang paling menonjol adalah kulitnya yang dipenuhi bontol-bontol dan bertekstur kasar, sehingga tidak banyak masyarakat yang mau memegang hewan satu ini---bahkan banyak diantaranya yang merasa 'geli'. Seolah tampak morfologinya saja tidak cukup membuat keberadaannya tidak disukai bagi manusia, persebarannya yang sangat luas serta daya tahan hidupnya yang tinggi membuatnya juga berpotensi menjadi ancaman bagi spesies lain, terutama di luar wilayah spesies ini berasal.

Dalam lingkup Asia, persebaran asli dari spesies ini sangat luas, diantaranya Pakistan, Nepal, Bangladesh, India, Sri Lanka, Cina Selatan, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Kambodia, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Pulau Natuna). Di Indonesia, spesies ini telah terintroduksi ke beberapa daerah, seperti Bali, Sulawesi, Ambon, Manokwari, Maluku, dan Papua.

Pada negara kepulauan, terintroduksinya suatu spesies ke daerah lain dengan laut sebagai barrier akan membutuhkan suatu 'media' untuk berpindah, khususnya bagi spesies amfibi yang sensitif. Oleh karena itu, peran manusia dan aktivitasnya berperan besar dalam terjadinya fenomena ini. 

Reilly et al. (2017) mencatat bahwa terintroduksinya spesies ini ke Bali yaitu pada tahun 1957 dan ke Sulawesi pada tahun 1974, kemudian setelahnya menyebar ke wilayah Wallacea lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa introduksi tersebut terjadi setelah teknologi transportasi laut di Indonesia semakin maju, hasil pengenalan dari Belanda pada era kolonialisme di Indonesia.

Namun, berpindahnya suatu spesies tidak berarti bahwa spesies tersebut dapat pasti bertahan hidup pada habitat barunya. Maka, naturalisasi hanya dapat terjadi apabila spesies tersebut mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan barunya dan berkembang biak. Inilah yang nantinya akan menjadi 'spesies-alien'. 

Sementara, apabila spesies-alien tersebut ternyata mampu menyebabkan spesies asli di wilayah tersebut menjadi 'terdesak' dan tidak mampu berkompetisi yang menyebabkan penurunan populasi mereka, maka spesies tersebut akan menjadi 'spesies alien-invasif'.

 Sodhi et al. (2004) dalam Reilly et al. (2017) menyatakan, spesies alien-invasif ini menyebabkan ancaman semakin bertambah pada keanekaragaman hayati di area Wallacea dengan endemisitasnya yang tinggi, yang mana saat ini sedang menghadapi pula ancaman dari deforestasi, konversi lahan hutan, kebakaran, perburuan, dan masih banyak lagi tekanan lainnya.  

Tidak hanya sampai disitu, menurut Guarino et al. (2023), Kodok Buduk ini juga ditemukan di Madagaskar, diketahui terintroduksi diantara tahun 2007 dan 2010. Measey et al. (2017) menyatakan spesies ini terbawa karena pengiriman kontainer. Keberadaan spesies ini di Madagaskar tentunya berbahaya bagi spesies asli di wilayah tersebut, apalagi Madagaskar merupakan wilayah dengan kekayaan jenis amfibi yang tinggi (Andreone et al. dalam Guarino et al., 2023). 

Kodok Buduk yang memiliki kelenjar paratoid yang mensekresi racun membuat kebanyakan predator tidak dapat memangsa kodok ini, karena wilayah yang tidak terbiasa dengan adanya kodok beracun tidak resisten terhadap racun yang ada pada mangsanya. Bahkan, tanpa racun pun, predator bisa jadi tidak mengenali spesies yang baru muncul tersebut dan tidak mendeteksi mereka sebagai mangsa, sehingga populasinya dapat meningkat dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan spesies amfibi lokal 'kalah saing' dalam memperebutkan teritori dan sumber makanan yang ada, sehingga populasi amfibi lokal dapat menurun akibat keberadaan spesies ini. 

Daya tahannya yang tinggi karena permukaan kulitnya yang relatif lebih tebal dibanding spesies amfibi lainnya membuat spesies ini tahan terhadap perubahan lingkungan asalkan kebutuhan makannya terpenuhi.

Soorae et al. (2020) melakukan publikasi mengenai catatan pertama ditemukannya Kodok Buduk ini pada wilayah Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dan di Semenanjung Arab. Jalur introduksi yang paling mungkin yaitu terbawa melalui kontainer yang tidak disengaja atau transportasi dari produk tanaman. D

alam publikasi tersebut disebutkan bahwa Kodok Buduk tinggal pada habitat yang umum dan dengan pola makan yang umum, sangat subur (betina dapat menghasilkan hingga 40.000 telur per sarang), dan mengeluarkan racun dari kelenjar di punggungnya (Csurhes 2016; Marshall et al. 2018; Soorae et al. 2020), sehingga dengan kombinasi tersebut maka spesies ini dapat bertahan hidup pada habitat yang beragam di area baru, bahkan mengalahkan spesies asli dalam hal makanan dan berpotensi memangsa spesies tersebut sehingga menjadikannya spesies invasif yang sangat sukses dan merusak (Kraus 2009; Soorae et al. 2020).

Dalam Mo (2017), disebutkan juga beberapa potensi masuknya Kodok Buduk ke Australia yaitu di Melbourne, Victoria, dan Sydney, New South Wales. Pada kasus pertama, spesies ini ditemukan dalam kontainer pengiriman terbuka di Melbourne sebelah Tenggara pada bulan Oktober 2009. 

Departemen Industri Primer Victoria mengatasi insiden tersebut, dipandu oleh ahli amfibi dari Universitas Melbourne. Saat itu, tidak ditemukan adanya Kodok Buduk yang lolos di sekitar lokasi. Namun, pada akhir April 2014 terdapat laporan kembali adanya spesies ini di pinggiran kota, 15 km dari Bandara Melbourne. Setelah itu, dilakukan operasi pengawasan dan dilaporkan tidak ada bukti lebih lanjut keberadaan spesies ini di sekitar lokasi. 

Sementara, di New South Wales hanya satu Kodok Buduk yang pernah tercatat ditemukan di luar bandara atau pelabuhan, yaitu pada tahun 2015 seorang staff Rumah Sakit Hewan menemukan spesies tersebut di taman dan langsung menyerahkannya kepada staff dewan setempat. Individu tersebut kemudian dikirim ke Kebun Binatang Taronga untuk identifikasi formal, eutanasia, dan nekropsi.

Dari kasus-kasus diatas, bukan hanya spesies ini tersebar diantara kepulauan di Indonesia saja, namun juga menyebar hingga keluar dari Asia dan mencapai Benua Afrika. Keberadaan spesies ini di luar habitat aslinya sangat berbahaya, oleh karena itu invasi dari spesies ini perlu dikontrol dan dicegah agar tidak semakin meluas dan mengancam spesies asli dari suatu wilayah. Penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia dapat menjadi contoh yang baik dalam menangani spesies alien-invasif, sehingga ada baiknya hal tersebut diterapkan pula secara global.

Sumber:

Guarino, F. M., Andreone, F., Mezzasalma, M., Licata, F., Puoti, S., Santos, B., ... & Crottini, A. (2023). Life history traits and longevity of the invasive Asian Common Toad Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799) in Madagascar. Animals, 13(13), 2099.

Measey, J., Davies, S. J., Vimercati, G., Rebelo, A., Schmidt, W., & Turner, A. (2017). Invasive amphibians in southern Africa: a review of invasion pathways. Bothalia-African Biodiversity & Conservation, 47(2), 1-12.

Mo, M. (2017). Asian Black-spined Toads (Duttaphrynus melanostictus) in Australia: An invasion worth avoiding. Reptiles & Amphibians, 24(3), 155-161.

Reilly, S. B., Wogan, G. O., Stubbs, A. L., Arida, E., Iskandar, D. T., & McGuire, J. A. (2017). Toxic toad invasion of Wallacea: A biodiversity hotspot characterized by extraordinary endemism. Global Change Biology, 23(12), 5029-5031.

Soorae, P. S., Frankham, G. J., & Mohamed, A. A. (2020). The first record of the asian common toad Duttaphrynus melanostictus schneider, 1799 in Abu Dhabi, United Arab Emirates. Bioinvasions Rec, 9, 434-443.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun