Soorae et al. (2020) melakukan publikasi mengenai catatan pertama ditemukannya Kodok Buduk ini pada wilayah Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dan di Semenanjung Arab. Jalur introduksi yang paling mungkin yaitu terbawa melalui kontainer yang tidak disengaja atau transportasi dari produk tanaman. D
alam publikasi tersebut disebutkan bahwa Kodok Buduk tinggal pada habitat yang umum dan dengan pola makan yang umum, sangat subur (betina dapat menghasilkan hingga 40.000 telur per sarang), dan mengeluarkan racun dari kelenjar di punggungnya (Csurhes 2016; Marshall et al. 2018; Soorae et al. 2020), sehingga dengan kombinasi tersebut maka spesies ini dapat bertahan hidup pada habitat yang beragam di area baru, bahkan mengalahkan spesies asli dalam hal makanan dan berpotensi memangsa spesies tersebut sehingga menjadikannya spesies invasif yang sangat sukses dan merusak (Kraus 2009; Soorae et al. 2020).
Dalam Mo (2017), disebutkan juga beberapa potensi masuknya Kodok Buduk ke Australia yaitu di Melbourne, Victoria, dan Sydney, New South Wales. Pada kasus pertama, spesies ini ditemukan dalam kontainer pengiriman terbuka di Melbourne sebelah Tenggara pada bulan Oktober 2009.Â
Departemen Industri Primer Victoria mengatasi insiden tersebut, dipandu oleh ahli amfibi dari Universitas Melbourne. Saat itu, tidak ditemukan adanya Kodok Buduk yang lolos di sekitar lokasi. Namun, pada akhir April 2014 terdapat laporan kembali adanya spesies ini di pinggiran kota, 15 km dari Bandara Melbourne. Setelah itu, dilakukan operasi pengawasan dan dilaporkan tidak ada bukti lebih lanjut keberadaan spesies ini di sekitar lokasi.Â
Sementara, di New South Wales hanya satu Kodok Buduk yang pernah tercatat ditemukan di luar bandara atau pelabuhan, yaitu pada tahun 2015 seorang staff Rumah Sakit Hewan menemukan spesies tersebut di taman dan langsung menyerahkannya kepada staff dewan setempat. Individu tersebut kemudian dikirim ke Kebun Binatang Taronga untuk identifikasi formal, eutanasia, dan nekropsi.
Dari kasus-kasus diatas, bukan hanya spesies ini tersebar diantara kepulauan di Indonesia saja, namun juga menyebar hingga keluar dari Asia dan mencapai Benua Afrika. Keberadaan spesies ini di luar habitat aslinya sangat berbahaya, oleh karena itu invasi dari spesies ini perlu dikontrol dan dicegah agar tidak semakin meluas dan mengancam spesies asli dari suatu wilayah. Penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia dapat menjadi contoh yang baik dalam menangani spesies alien-invasif, sehingga ada baiknya hal tersebut diterapkan pula secara global.
Sumber:
Guarino, F. M., Andreone, F., Mezzasalma, M., Licata, F., Puoti, S., Santos, B., ... & Crottini, A. (2023). Life history traits and longevity of the invasive Asian Common Toad Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799) in Madagascar. Animals, 13(13), 2099.
Measey, J., Davies, S. J., Vimercati, G., Rebelo, A., Schmidt, W., & Turner, A. (2017). Invasive amphibians in southern Africa: a review of invasion pathways. Bothalia-African Biodiversity & Conservation, 47(2), 1-12.
Mo, M. (2017). Asian Black-spined Toads (Duttaphrynus melanostictus) in Australia: An invasion worth avoiding. Reptiles & Amphibians, 24(3), 155-161.
Reilly, S. B., Wogan, G. O., Stubbs, A. L., Arida, E., Iskandar, D. T., & McGuire, J. A. (2017). Toxic toad invasion of Wallacea: A biodiversity hotspot characterized by extraordinary endemism. Global Change Biology, 23(12), 5029-5031.