Klenteng Hoo Tong Bio berlokasi di Jalan Ikan Gurami No. 54, Desa Karangrejo, Kabupaten Banyuwangi. Nama klenteng ini diambil dari bahasa mandarin yang artinya adalah "kuil perlindungan etnis Tionghoa". Masyarakat lebih mengenal dengan sebutan klenteng Banyuwangi. Dalam klenteng ini memuja dewata utama yang bernama Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren. Pengajaran yang terdapat pada klenteng ini adalah Tridharma atau biasa diartikan sebagai tiga ajaran kebenaran, yaitu terdiri dari pengajaran Buddha, Khong Hu Cu, dan Lo Cu. Artinya pengajaran dalam Tridharma yang terdiri dari tiga pengajaran tersebut memiliki kitab suci masing-masing dan tidak dicampur aduk antara ketiganya. Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Hoo Tong Bio adalah klenteng induk dari sembilan klenteng yang memuja Chen Fu Zhen Ren yang terdapat di provinsi Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Etnis Tionghoa datang ke bumi Blambangan atau sekarang disebut dengan kabupaten Banyuwangi adalah pada tahun 1631, pada tahun ini juga etnis Tionghoa telah menetap di Banyuwangi yang pada saat itu disebut dengan kerajaan Blambangan. Namun pada tahun 1740 diketahui merupakan tahun dimana etnis Tionghoa bermigrasi ke Blambangan secara besar-besaran, hal ini tertulis dalam Babad Notodiningratan.
Latar Belakang Berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio
Latar belakang berdirinya klenteng ini adalah sebagai upaya penghormatan dari etnis Tionghoa yang tinggal di Banyuwangi untuk Tan Hu Cin Jin. Ia merupakan seorang kapiten yang telah menyelamatkan kaum Tionghoa dari pemerintah kolonial, karena pada saat itu tepatnya tahun 1740 terjadi peristiwa pembantaian dan pemberantasan terhadap etnis Tionghoa yang berada di Batavia yang merupakan bentuk kebijakan dari gubernur Jenderal VOC yang saat itu memimpin, Adriaan Valckenier. Ia menganggap bahwa populasi etnis Tionghoa terlalu banyak, untuk itu perlu dilakukan pembersihan dengan cara dibantai ataupun dipindahkan ke beberapa negara. Peristiwa tersebut disebut dengan Geger Pecinan atau Tragedi Angke. Karena peristiwa tersebut etnis Tionghoa yang berada di wilayah Batavia terpaksa melarikan diri ke daerah-daerah. Pelarian ini dipimpin oleh Tan Hu Cin Jin yang diketahui sebagai juragan perahu sloop yang berkelahiran di Caozhou, Provinsi Guangdong, Cina. Pada pelarian yang dipimpinnya itu, kapal yang dikemudikan terdampar diperairan Blambangan atau Banyuwangi. Jadi mereka memutuskan untuk menetap dan tinggal di Blambangan.Â
Pada saat kedatangan etnis Tionghoa, kemudian pemimpinnya yaitu Tan Hu Cin Jin diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang arsitek di kerajaan Blambangan. Untuk menjadi pelindung  dari etnis Tionghoa yang tinggal di Blambangan ia memilih tinggal di puncak Sembulungan yang merupakan salah satu puncak yang ada di Blambangan. Masyarakat etnis Tionghoa merasa sangat berhutang budi terhadap pengorbanan yang dilakukan oleh Tan Hu Cin Jin, sehingga masyarakat etnis Tionghoa mendirikan klenteng Hoo Tong Bio ini. Selain itu, ia juga ditahbiskan dan diangkat menjadi dewa serta leluhur masyarakat Tionghoa yang berada di Blambangan atas segala jasa yang dilakukannya.Â
Pembangunan Klenteng Hoo Tong Bio Sejak Masa Blambangan
Sebelum klenteng ini dibangun di desa Karangrejo, klenteng ini telah dibangun sebelumnya yang berlokasi di kelurahan Lateng, Banyuwangi. Pada saat klenteng ini berada di kelurahan Lateng, kondisi klenteng masih sangat sederhana. Yaitu berupa rumah kecil, meski hanya berbentuk rumah kecil, asalkan dapat digunakan untuk tempat peribadatan. Klenteng Hoo Tong Bio dibangun untuk memuja Chen Fu Zhen Ren yang merupakan leluhur etnis Tionghoa dari orang Tionghoa yang mendiami Banyuwangi. Alasan klenteng ini dipindah dari Lateng ke Karangrejo adalah pada saat itu tepatnya pada tahun 1765 Banyuwangi yang dahulu merupakan kerajaan Blambangan mendapat serangan dari pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya serangan, pemerintah kolonial juga merampas tanah milik kerajaan Blambangan yaitu pada tahun 1767. Akhirnya pusat dari pemerintahan kerajaan Blambangan yang mulanya berada di Muncar, dipindahkan ke wilayah yang sekarang menjadi Banyuwangi kota. Dengan dipindahnya pusat kerajaan, masyarakat etnis Tionghoa ikut pindah menuju pusat pemerintahan yang baru pada saat itu yaitu berada pada wilayah Banyuwangi kota pada saat ini.Â
Selain mereka ikut berpindah, mereka memindahkan pula klenteng yang telah dibangun di pusat pemerintahan lama menuju pusat pemerintahan yang baru. Setelah penyerangan dan penguasaan tanah itu, kemudian Belanda benar-benar menguasai wilayah Blambangan atau Banyuwangi pada tahun 1774, kemudian akibat dari penguasaan Belanda ini, masyarakat atau penduduk Blambangan meninggalkan wilayah ini. Setelah Belanda menguasai wilayah Blambangan, pemerintah kolonial Belanda mempekerjakan orang etnis Tionghoa atau orang Cina yang berjumlah 100 orang dengan tujuan untuk meningkatkan komoditas pertanian yang ada di Banyuwangi. Kemudian dengan dipekerjakannya orang-orang Cina di Banyuwangi perpindahan klenteng dan pembangunan klenteng dari lokasi lama ke lokasi yang baru dapat terealisasikan dengan baik.
Pada pembangunan atau pemindahan klenteng tertua di Jawa Timur ini, masih belum diketahui secara pasti pertanggalannya, hal ini dikarenakan tidak ada catatan yang menuliskan tentang pembangunan klenteng Hoo Tong Bio. Namun satu-satunya yang menjadi pertanda adalah sebuah tulisan dari kayu yang diketahui tulisan tersebut merupakan prasasti tertua yang terdapat pada klenteng ini. Isinya ditulis dalam bahasa Tionghoa bertanggal Qianlog Jianchen (1784), tulisan yang merupakan sebuah kaligrafi tersebut juga bercerita tentang dewata yang disembah yaitu Chen Fu Zhen Ren. Jadi tahun tertua yang terdapat kaligrafi tersebut yaitu 1784 dipakai sebagai dasar dari pembangunan klenteng Hoo Tong Bio ini. Tulisan dalam kaligrafi lainnya, juga tertulis bahwa klenteng Hoo Tong Bio ini melakukan renovasi pada tahun 1848 dan terjadi renovasi pula pada tahun 1898 sampai 1899.
Klenteng Hoo Tong Bio di Masa Orde Baru
Pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1965 terjadi tragedi kemanusiaan. Pada tragedi yang terjadi tersebut, pemerintah melayangkan tuduhan terhadap etnis Tionghoa ikut andil dalam peristiwa kemanusiaan pada masa itu. Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan presiden nomor 14 tahun 1967 yang berisi hal-hal tentang pembatasan terhadap masyarakat etnis Tionghoa. Hal tersebut menyebabkan terjadinya deskriminasi terhadap etnis Tionghoa di tanah air. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi seputar kehidupan bermasyarakat etnis Tionghoa. Selain itu juga mengancam kehidupan sosial, keagamaan, dan kebudayaan etnis Tionghoa termasuk yang berada di Banyuwangi. Pembatasannya diantaranya adalah pembatasan etnis Tionghoa untuk beribadah di klenteng. Beberapa bentuk perayaan dan pemujaan di klenteng tidak bisa dilakukan pada saat itu.
Selain itu, agama yang mereka anut yaitu Kong Hu Cu masih belum diakui oleh pemerintah. Sehingga penamaan klenteng dalam bahasa mandarin, diwajibkan oleh pemerintah diganti dengan nama lain. Hal ini juga berdampak pada nama dari klenteng Hoo Tong Bio yang harus diganti. Akhirnya pada tahun 1966 namanya diganti menjadi Nara Raksita. Di sekolah-sekolah, juga dihapuskan pelajaran tentang bahasa Mandarin oleh pemerintah. Hambatan dari segi agama seperti cara berdoa pun menjadi membingungkan karena bahasa yang digunakan untuk berdoa seluruhnya adalah bahasa Mandarin. Pada masa orde baru ini pembatasan-pembatasan untuk etnis Tionghoa menyebabkan pembangunan dan renovasi yang terdapat pada klenteng Hoo Tong Bio menjadi terhenti dan untuk sementara dan tidak dapat dilanjutkan lagi. Sehingga pada orde baru, klenteng Hoo Tong Bio bagaikan mati atau tidak berkembang dalam segi apapun.
Klenteng Hoo Tong Bio pada masa reformasi
Setelah negara mengalami masa reformasi, keadaan klenteng dan para etnis Tionghoa menjadi normal, utamanya pada masa pemerintahan presiden Gusdur. Tepatnya pada tahun 2003 ia mencabut peraturan yang diterbitkan oleh presiden Soeharto yang memuat tentang batasan-batasan untuk etnis Tionghoa. Pada saat itu juga, klenteng yang sebelumnya namanya diubah menjadi Nara Raksita, kemudian dikembalikan lagi menjadi klenteng Hoo Tong Bio dan pemakaian bahasa Mandarin tidak lagi dilarang. Pada kesempatan ini, pengelola klenteng melakukan pembangunan besar-besaran termasuk membangun berbagai fasilitas tambahan di klenteng Hoo Tong Bio berkisar tahun 2003 sampai 2008. Diantaranya adalah klenteng ini menambahkan ruangan yang digunakan untuk memuja dewa-dewi yang disebut dengan altar. Terdapat pula ruang serba guna dan tempat untuk melakukan olahraga. Akibat dari renofasi secara besar-besaran tersebut membuat klenteng Hoo Tong Bio ini dinobatkan sebagai klenteng paling besar dan tertua di Jawa Timur. Karena klenteng ini disebut sebagai klenteng induk diantara sembilan klenteng yang berada di Jawa Timur dan Pulau bali, maka pada saat perayaan tahun baru imlek, masyarakat pemeluk Kong Hu Cu dari penjuru Indonesia datang ke klenteng ini untuk berdoa.
Terbakarnya Klenteng Hoo Tong Bio
Pembangunan besar-besaran pada masa presiden Gusdur harus berbanding terbalik di tahun 2014. Kondisi yang cukup memprihatinkan terjadi pada hari Jumat tanggal 13 Juni 2014. Klenteng Hoo Tong Bio mengalami kebakaran yang begitu hebat. Penyebab dari terbakarnya klenteng ini masih diselidiki. Namun dari keterangan satpam klenteng yang bernama Abbas, kebakaran bersumber dari tempat pemujaan (Altar) Dewa Bumi yang berada di sebelah selatan. Kemudian api semakin besar karena damar kambang di Altar Dewa Bumi yang berisikan minyak kelapa pecah dan minyaknya membuat api semakin besar dan merembet di bagian klenteng lainnya. Pemadam kebakaran yang terlambat datang membuat api berhasil menghanguskan seluruh klenteng dan bagian-bagian terpenting dari klenteng termasuk patung dewa, prasasti yang bertuliskan tahun sejak masa Blambangan, serta dokumen yang terdapat pada klenteng ini. Pengelola klenteng menyebut bahwa kebakaran dari klenteng ini sangat disesalkan karena jejak-jejak sejarah sejak masa Blambangan dari pembangunan klenteng ini telah habis terbakar. Padahal klenteng ini bukan hanya sebagai tempat ibadah para pemeluk agama Kong Hu Cu, namun juga merupakan destinasi wisata. Klenteng ini juga satu-satunya peninggalan yang tetap kokoh sejak Banyuwangi masih dalam wujud Kerajaan Blambangan, namun harus terbakar dan tidak menyisakan dokumen-dokumen atau benda-benda sedikitpun, sehingga dapat dikatakan akibat kebakaran ini menyebabkan terhapusnya jejak sejarah berupa bangunan yang sudah ada pada masa Blambangan ini.
Pembangunan Kembali Klenteng Hoo Tong Bio Pasca Terbakar
Setelah terjadinya kebakaran klenteng Hoo Tong Bio pada tanggal 14 Juni 2014, pembangunan untuk kembali menegakkan klenteng ini dimulai pada bulan November 2014. Target dari penyelesaian klenteng ini diperkirakan pada tahun 2017, hal yang memakan waktu yang lumayan lama karena pembentukan ornamen pada bangunan harus dibuat semirip mungkin dengan sebelumnya. Seperti ornamen naga, ikan, kepiting, bunga teratai, dan burung phoenix. Pembangunan klenteng yang dilakukan memiliki konsep yang hampir sama seperti sebelum terbakar, namun hal pembedanya adalah tinggi dari klenteng yang sebelumnya 4 meter, kini akan dibangun dengan tinggi 9 meter dengan alasan siklus udara akan mudah keluar jika kemungkinan terbakar.
Dana untuk pembangunan klenteng ini diperkirakan senilai 2,2 milyar. Namun pada saat November 2014 dana yang terkumpul masih senilai 1 milyar yang bersumber dari sumbangan pemeluk Kong Hu Cu yang ada di seluruh Indonesia. Kemudian mendapat bantuan dari pemerintah. Pemerintah memerintahkan pembangunan dilaksanakan sesuai dengan bentuk asli dari klenteng yang sudah ada pada masa Blambangan. Kini klenteng Hoo Tong Bio sudah kembali pada wujud asli, malah bertambah tinggi. Aktivitas seperti ibadah, upacara maupun sebagai destinasi wisata telah berjalan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H