Mohon tunggu...
Nabila ElynoPutri
Nabila ElynoPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Jember Program Studi Pendidikan Sejarah 2019

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkembangan Klenteng Tertua di Jawa Timur "Hoo Tong Bio" Banyuwangi Sejak Masa Kerajaan Blambangan

13 Juni 2022   19:00 Diperbarui: 14 Juni 2022   18:15 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Klenteng Hoo Tong Bio berlokasi di Jalan Ikan Gurami No. 54, Desa Karangrejo, Kabupaten Banyuwangi. Nama klenteng ini diambil dari bahasa mandarin yang artinya adalah "kuil perlindungan etnis Tionghoa". Masyarakat lebih mengenal dengan sebutan klenteng Banyuwangi. Dalam klenteng ini memuja dewata utama yang bernama Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren. Pengajaran yang terdapat pada klenteng ini adalah Tridharma atau biasa diartikan sebagai tiga ajaran kebenaran, yaitu terdiri dari pengajaran Buddha, Khong Hu Cu, dan Lo Cu. Artinya pengajaran dalam Tridharma yang terdiri dari tiga pengajaran tersebut memiliki kitab suci masing-masing dan tidak dicampur aduk antara ketiganya. Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Hoo Tong Bio adalah klenteng induk dari sembilan klenteng yang memuja Chen Fu Zhen Ren yang terdapat di provinsi Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Etnis Tionghoa datang ke bumi Blambangan atau sekarang disebut dengan kabupaten Banyuwangi adalah pada tahun 1631, pada tahun ini juga etnis Tionghoa telah menetap di Banyuwangi yang pada saat itu disebut dengan kerajaan Blambangan. Namun pada tahun 1740 diketahui merupakan tahun dimana etnis Tionghoa bermigrasi ke Blambangan secara besar-besaran, hal ini tertulis dalam Babad Notodiningratan.

Latar Belakang Berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio

Latar belakang berdirinya klenteng ini adalah sebagai upaya penghormatan dari etnis Tionghoa yang tinggal di Banyuwangi untuk Tan Hu Cin Jin. Ia merupakan seorang kapiten yang telah menyelamatkan kaum Tionghoa dari pemerintah kolonial, karena pada saat itu tepatnya tahun 1740 terjadi peristiwa pembantaian dan pemberantasan terhadap etnis Tionghoa yang berada di Batavia yang merupakan bentuk kebijakan dari gubernur Jenderal VOC yang saat itu memimpin, Adriaan Valckenier. Ia menganggap bahwa populasi etnis Tionghoa terlalu banyak, untuk itu perlu dilakukan pembersihan dengan cara dibantai ataupun dipindahkan ke beberapa negara. Peristiwa tersebut disebut dengan Geger Pecinan atau Tragedi Angke. Karena peristiwa tersebut etnis Tionghoa yang berada di wilayah Batavia terpaksa melarikan diri ke daerah-daerah. Pelarian ini dipimpin oleh Tan Hu Cin Jin yang diketahui sebagai juragan perahu sloop yang berkelahiran di Caozhou, Provinsi Guangdong, Cina. Pada pelarian yang dipimpinnya itu, kapal yang dikemudikan terdampar diperairan Blambangan atau Banyuwangi. Jadi mereka memutuskan untuk menetap dan tinggal di Blambangan. 

Pada saat kedatangan etnis Tionghoa, kemudian pemimpinnya yaitu Tan Hu Cin Jin diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang arsitek di kerajaan Blambangan. Untuk menjadi pelindung  dari etnis Tionghoa yang tinggal di Blambangan ia memilih tinggal di puncak Sembulungan yang merupakan salah satu puncak yang ada di Blambangan. Masyarakat etnis Tionghoa merasa sangat berhutang budi terhadap pengorbanan yang dilakukan oleh Tan Hu Cin Jin, sehingga masyarakat etnis Tionghoa mendirikan klenteng Hoo Tong Bio ini. Selain itu, ia juga ditahbiskan dan diangkat menjadi dewa serta leluhur masyarakat Tionghoa yang berada di Blambangan atas segala jasa yang dilakukannya. 

Pembangunan Klenteng Hoo Tong Bio Sejak Masa Blambangan

Sebelum klenteng ini dibangun di desa Karangrejo, klenteng ini telah dibangun sebelumnya yang berlokasi di kelurahan Lateng, Banyuwangi. Pada saat klenteng ini berada di kelurahan Lateng, kondisi klenteng masih sangat sederhana. Yaitu berupa rumah kecil, meski hanya berbentuk rumah kecil, asalkan dapat digunakan untuk tempat peribadatan. Klenteng Hoo Tong Bio dibangun untuk memuja Chen Fu Zhen Ren yang merupakan leluhur etnis Tionghoa dari orang Tionghoa yang mendiami Banyuwangi. Alasan klenteng ini dipindah dari Lateng ke Karangrejo adalah pada saat itu tepatnya pada tahun 1765 Banyuwangi yang dahulu merupakan kerajaan Blambangan mendapat serangan dari pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya serangan, pemerintah kolonial juga merampas tanah milik kerajaan Blambangan yaitu pada tahun 1767. Akhirnya pusat dari pemerintahan kerajaan Blambangan yang mulanya berada di Muncar, dipindahkan ke wilayah yang sekarang menjadi Banyuwangi kota. Dengan dipindahnya pusat kerajaan, masyarakat etnis Tionghoa ikut pindah menuju pusat pemerintahan yang baru pada saat itu yaitu berada pada wilayah Banyuwangi kota pada saat ini. 

Selain mereka ikut berpindah, mereka memindahkan pula klenteng yang telah dibangun di pusat pemerintahan lama menuju pusat pemerintahan yang baru. Setelah penyerangan dan penguasaan tanah itu, kemudian Belanda benar-benar menguasai wilayah Blambangan atau Banyuwangi pada tahun 1774, kemudian akibat dari penguasaan Belanda ini, masyarakat atau penduduk Blambangan meninggalkan wilayah ini. Setelah Belanda menguasai wilayah Blambangan, pemerintah kolonial Belanda mempekerjakan orang etnis Tionghoa atau orang Cina yang berjumlah 100 orang dengan tujuan untuk meningkatkan komoditas pertanian yang ada di Banyuwangi. Kemudian dengan dipekerjakannya orang-orang Cina di Banyuwangi perpindahan klenteng dan pembangunan klenteng dari lokasi lama ke lokasi yang baru dapat terealisasikan dengan baik.

Pada pembangunan atau pemindahan klenteng tertua di Jawa Timur ini, masih belum diketahui secara pasti pertanggalannya, hal ini dikarenakan tidak ada catatan yang menuliskan tentang pembangunan klenteng Hoo Tong Bio. Namun satu-satunya yang menjadi pertanda adalah sebuah tulisan dari kayu yang diketahui tulisan tersebut merupakan prasasti tertua yang terdapat pada klenteng ini. Isinya ditulis dalam bahasa Tionghoa bertanggal Qianlog Jianchen (1784), tulisan yang merupakan sebuah kaligrafi tersebut juga bercerita tentang dewata yang disembah yaitu Chen Fu Zhen Ren. Jadi tahun tertua yang terdapat kaligrafi tersebut yaitu 1784 dipakai sebagai dasar dari pembangunan klenteng Hoo Tong Bio ini. Tulisan dalam kaligrafi lainnya, juga tertulis bahwa klenteng Hoo Tong Bio ini melakukan renovasi pada tahun 1848 dan terjadi renovasi pula pada tahun 1898 sampai 1899.

Klenteng Hoo Tong Bio di Masa Orde Baru

Pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1965 terjadi tragedi kemanusiaan. Pada tragedi yang terjadi tersebut, pemerintah melayangkan tuduhan terhadap etnis Tionghoa ikut andil dalam peristiwa kemanusiaan pada masa itu. Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan presiden nomor 14 tahun 1967 yang berisi hal-hal tentang pembatasan terhadap masyarakat etnis Tionghoa. Hal tersebut menyebabkan terjadinya deskriminasi terhadap etnis Tionghoa di tanah air. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi seputar kehidupan bermasyarakat etnis Tionghoa. Selain itu juga mengancam kehidupan sosial, keagamaan, dan kebudayaan etnis Tionghoa termasuk yang berada di Banyuwangi. Pembatasannya diantaranya adalah pembatasan etnis Tionghoa untuk beribadah di klenteng. Beberapa bentuk perayaan dan pemujaan di klenteng tidak bisa dilakukan pada saat itu.

Selain itu, agama yang mereka anut yaitu Kong Hu Cu masih belum diakui oleh pemerintah. Sehingga penamaan klenteng dalam bahasa mandarin, diwajibkan oleh pemerintah diganti dengan nama lain. Hal ini juga berdampak pada nama dari klenteng Hoo Tong Bio yang harus diganti. Akhirnya pada tahun 1966 namanya diganti menjadi Nara Raksita. Di sekolah-sekolah, juga dihapuskan pelajaran tentang bahasa Mandarin oleh pemerintah. Hambatan dari segi agama seperti cara berdoa pun menjadi membingungkan karena bahasa yang digunakan untuk berdoa seluruhnya adalah bahasa Mandarin. Pada masa orde baru ini pembatasan-pembatasan untuk etnis Tionghoa menyebabkan pembangunan dan renovasi yang terdapat pada klenteng Hoo Tong Bio menjadi terhenti dan untuk sementara dan tidak dapat dilanjutkan lagi. Sehingga pada orde baru, klenteng Hoo Tong Bio bagaikan mati atau tidak berkembang dalam segi apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun