Mohon tunggu...
Nabila Eka Cantika Putri
Nabila Eka Cantika Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bonjour! Saya Nabila, saya mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudatuli, Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Terkubur

23 Juli 2022   16:11 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Eddy Hasby/Kompas 

Kudatuli atau peristiwa Kudeta Dua Puluh Tujuh Juli, kenangan kelam yang terjadi 25 tahun silam. Kudeta didorong oleh dualisme kepemimpinan antara Megawati dan Soerjadi berujung ironi yang mengukir sejarah kelam bangsa Indonesia.

Kala itu, Soeharto sebagai motor dari orde baru mengalami tabrakan kepentingan terhadap Soekarno dalam kancah perpolitikan. 

Bergabungnya Megawati pada DPP PDIP kala itu bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, eksistensi Megawati menjadi angin segar bagi masyakat anti orde baru. Di sisi lain,  eksistensi Megawati turut mengguncang kontestasi politik Soeharto dan orde baru pada umumnya. 

Oleh karenanya,  muncul inisiasi untuk memisahkan diri dari pemerintahan Megawati, 16 fungsionaris PDI dibawah pimpinan Fatimah Achmad menggelar kongres di Medan sebagai suksesi kepemimpinan Soerjadi. 

Kongres dilaksanakan tanpa mengantongi persetujuan dari rezim Megawati. Rencana segregasi pemerintahan ini mendapatkan dukungan dari rezim orde baru Soeharto. 

Peristiwa ini memicu terjadinya ambiguitas politik yang berujung pada pencopotan jabatan 16 fungsionaris yang mendukung Soerjadi. Kampanye politik kubu Soerjadi tidak berhenti hingga disitu, dengan dukungan yang dikucurkan oleh rezim Soeharto, perebutan kantor DPP PDI tidak dapat dihindarkan. 

Pada hari Sabtu tepatnya tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI dikepung oleh pendukung Soerjadi yang ditunggangi oleh rasa tidak terima atas hasil keputusan pengangkatan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDI.

Serangan balasan dilancarkan untuk menjunjung kursi perpolitikan Megawati dan sebagai aksi protes terhadap pemerintahan otoriter orde baru. 

Mimbar bebas digelar oleh kedua kubu demi melantangkan posisi pemerintahan kedua belah pihak. Kendati demikian, dugaan terhadap rekayasa politik yang diselubungi niat untuk membungkam demokrasi mencuat.

Bukan tanpa sebab, hukum subversi yang sangat ketat pada masa orde baru menjadi salah tanda tanya besar bagaimana mimbar bebas dapat meletus dan menggetarkan struktur kekuasaan negara kala itu tanpa ada upaya konkret dari pemerintah untuk menengahi perselisihan. 

Komnas HAM menyebutkan bahwa  setidaknya peristiwa ini menelan 5 korban jiwa, 149 orang terluka serta 23 orang hilang. Bahkan dilansir kerugian materil yang ditanggung sebesar 100 milyar. Komnas HAM memaparkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi selama aksi, seperti:

Pelanggaran terhadap asas kebebasan berserikat dan berkumpul; Asas kebebasan dari rasa takut; Asas kebebasan dari pelaku keji dan tidak manusiawi; serta Pelanggaran atas perlindungan jiwa dan harta benda.

Berbagai fakta terbenam seperti kesimpangsiuran jumlah pasti korban selama aksi berlangsung, dan teror yang dialami oleh tim penyelidik dalam melaksanakan perintah presiden Gus Dur untuk melakukan investigasi ulang. 

Selain itu, terdapat dugaan kontribusi militer selama aksi yang memicu terjadinya bentrok terbuka antara aparat dengan warga sipil, serta pengawalan ketat terhadap kamar mayat dan armada yang digunakan untuk mengantarkan jenazah ke pemakaman.

 Dugaan rekayasa politik semakin menguat seiring dengan tuduhan makar yang dilayangkan oleh pihak ABRI dan TNI terhadap aksi mimbar bebas yang digelar oleh kubu Megawati serta tuduhan bahwa aksi memanas berkat peran langsung tokoh PKI selama berlangsungnya aksi, tuduhan ini dibantah oleh Megawati. 

Hingga saat ini keteguhan Megawati dalam mempertahankan kasus ini semakin memudar karena tabrakan kepentingan Megawati dalam mempertahankan kontestasi politiknya bersamaan dengan pemastian resistensi militer untuk mendukung posisinya dalam percaturan politik. Sebaliknya, terdapat dugaan kontribusi petinggi militer terlibat dalam kasus pelanggaran HAM besar yang terjadi 25 tahun silam. 

Terlepas dari itu, upaya penegakan hukum harus tetap diupayakan sebagai wujud akuntabilitas pemerintahan dalam mengadili kejahatan HAM. Hingga saat ini perkembangan kasus belum optimal seolah membenarkan pelanggaran yang telah terjadi. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam upaya penuntasan kasus ini seperti: 

Kasus telah dianggap kadaluarsa karena telah melewati masa 18 tahun sejak terjadinya peristiwa, dan banyak dari tersangka yang telah meninggal dunia. 

Meskipun demikian, Sekjen PDIP mendesak Komnas HAM untuk dapat mengkaji ulang perihal insiden ini untuk dapat segera mencapai titik terang intelektual Kudatuli yang turut andil dibalik peristiwa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun