Dara, anak perempuanku satu-satunya. Sifatnya seperti lelaki, sering bertingkah dan sangat aktif. Jiwanya kuat dan pemberani, layaknya seorang pemimpin yang tak kenal rasa takut.
Dara. Anak perempuanku itu dapat membuat manusia di sekitarnya tertawa. Ia begitu ceria dan tak kenal lelah. Sungguh, perhatiannya kepada orang-orang yang disayanginya amat dalam.
Dara, sepuluh tahun usianya. Sebentar lagi, ia akan menaiki bangku sekolah menengah. Rasanya baru kemarin, aku ajarkan dia cara membaca.
Dara yang periang, Dara yang pemberani, Dara yang penyanyang. Semuanya pupus sudah. Semenjak kejadian itu, Dara, putriku yang amat kukenal, tak kunjung menunjukkan watak lamanya yang sungguh kucintai.
Semenjak kejadian itu, sepulang sekolah ia habiskan dengan bermain di meja makan, menemaniku memasak. Tak lagi ia pergi berkeliling menaiki sepeda bersama anak-anak di rumah sebelah. Tak lagi ia berlarian mengotorkan dirinya dengan tanah di halaman belakang kami. Tak lagi ia senantiasa berlompatan di kasur kami dengan riang meski kami sudah melarangnya.
Sekarang, Dara hanya duduk diam di meja makan. Sepatah dua patah kata ia lontarkan, bila aku mengajaknya bicara. Namun tetap saja, berbeda.
Rindu aku akan tawanya, rindu akan senyumannya, rindu akan semangatnya saat pergi menaiki bus mini ke sekolah.
Aku hanya bisa menghela napas, bersabar. Dara perlu waktu. Putri kecilku itu perlu waktu untuk menyembuhkan traumanya sejak kejadian itu.
Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Aroma masakan yang kubuat memenuhi ruangan, siap untuk disajikan. Kulihat Dara yang tengah asik mewarnai di meja makan, aku tersenyum melihatnya.
“Apa yang sedang kamu warnai, Dara?”
“Ibu.”