Mohon tunggu...
Nabila Zainab
Nabila Zainab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

sebagai seorang mahasiswi ekonomi saya mempunyai skill berwirausaha dalam bidang kuliner, jadi selain saya bisa belajar langsung tentang perkembangan UMKM saya juga bisa mengasah hobi sekaligus skill saya yang lain yaitu memasak

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ekspektasi lulus kuliah langsung kerja:realita sumbang jutaan pengangguran

14 Desember 2024   17:58 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:49 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Mahasiswa sering dilihat sebagai individu yang pintar dan berdedikasi dalam mengejar pendidikan. Karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi, menjadi mahasiswa dianggap sebagai pencapaian yang sangat berarti. Maka dari itu di mata masyarakat mahasiswa memang sering dipandang sebagai kelompok yang prestisius atau bergengsi karena peran dan citra mereka di masyarakat. Namun, penting untuk menyadari bahwa status ini juga harus diimbangi dengan kesiapan mahasiswa untuk menghadapi realitas di dunia kerja dan kontribusi nyata mereka pada masyarakat.

Apa sih penyebab ekspektasi ini?

Keyakinan bahwa lulus kuliah akan langsung membawa pekerjaan sering kali dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pandangan tersebut:

1.Pendidikan Tinggi Sebagai Jalan Menuju Kesuksesan

Banyak orang tua, pendidik, dan masyarakat secara umum menanamkan pandangan bahwa pendidikan tinggi adalah langkah utama menuju keberhasilan. Gelar sarjana sering dianggap sebagai jaminan masa depan yang cerah, yang membuka berbagai peluang hidup yang lebih baik.

2.Persepsi Perguruan Tinggi Sebagai Institusi Siap Kerja

Perguruan tinggi juga sering memposisikan diri mereka sebagai lembaga yang mampu mencetak lulusan yang siap bekerja. Iklan dan kisah sukses alumni sering kali memperkuat citra ini, seolah-olah pendidikan tinggi otomatis menjamin karier yang sukses.

3.Kurangnya Pemahaman Tentang Tantangan Dunia Kerja

Banyak mahasiswa tidak mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai tantangan yang akan mereka hadapi di dunia kerja, seperti tingkat persaingan yang tinggi, pentingnya keterampilan tertentu, dan pengaruh kondisi ekonomi terhadap peluang pekerjaan.

4.Gelar Sarjana Sebagai Simbol Prestise Sosial

Gelar sarjana sering dipandang sebagai simbol prestise sosial yang dianggap cukup untuk meraih kesuksesan. Banyak orang yang tidak mempertimbangkan faktor lain, seperti pengalaman kerja dan keterampilan tambahan, yang jauh lebih penting di dunia profesional.

5.Minimnya Kesempatan Praktis Selama Kuliah

Kurangnya program magang atau kesempatan untuk membangun jaringan profesional selama kuliah mengakibatkan banyak mahasiswa kurang siap menghadapi kebutuhan pasar kerja. Tanpa pengalaman langsung di industri atau pengetahuan tentang bagaimana bekerja di lingkungan profesional, lulusan sering kali merasa kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka.

6.Kesenjangan Antara Ekspektasi dan Realitas

Ketidaksesuaian antara ekspektasi lulusan yang berharap langsung mendapat pekerjaan setelah lulus dan kenyataan dunia kerja yang lebih kompleks sering kali menyebabkan kekecewaan. Hal ini terjadi ketika mahasiswa baru menyadari tantangan sebenarnya di dunia profesional, yang jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan saat masih di bangku kuliah.

Harapan Sebagai Agen Perubahan

Masyarakat sering memandang mahasiswa sebagai generasi yang mampu membawa perubahan positif bagi negara berkat pemikiran kritis dan ide-ide segar yang mereka miliki. Selain itu, mahasiswa juga menjadi harapan bagi keluarga untuk meningkatkan perekonomian mereka melalui pendidikan yang lebih tinggi. Namun, kenyataan yang ada justru berlawanan dengan harapan tersebut. Karena terbatasnya lowongan pekerjaan, banyak sarjana yang awalnya diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, malah menjadi beban. Hal ini berkontribusi pada meningkatnya angka pengangguran di negara ini, karena kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki lulusan dan kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang.

Angka pengangguran sarjana

Pada tahun 2020, tingkat pengangguran meningkat menjadi 6,93% karena dampak pandemi yang menyebabkan banyak sektor, seperti pariwisata dan manufaktur, terhambat. Angka pengangguran kemudian mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan 8,75%. Namun, pada tahun 2022, tingkat pengangguran turun menjadi 8,4%, dan pada 2023 mencapai 7,99%. Proyeksi untuk 2024 menunjukkan penurunan lebih lanjut menjadi sekitar 7,2%.

Di sisi lain, pengangguran di kalangan sarjana juga menunjukkan angka yang tinggi. Pada 2023, pengangguran sarjana tercatat sekitar 5,18%. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja. Kurangnya pengalaman praktis, seperti magang, juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak sarjana kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai.

Faktor pengangguran dikalangan sarjana

Tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana tetap tinggi meskipun jumlah lapangan pekerjaan terus berkembang, dan ini disebabkan oleh beberapa alasan utama:

1.Kesenjangan antara Keterampilan dan Kebutuhan Pasar Kerja

Banyak lulusan yang tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh perusahaan. Pendidikan formal seringkali tidak memberikan keterampilan teknis atau soft skills yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja, sehingga banyak lulusan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.

2.Overkualifikasi dan Kompetisi yang Ketat

Lulusan sarjana sering kali berkompetisi untuk posisi pekerjaan yang tidak memerlukan gelar sarjana. Karena banyaknya lulusan sarjana, persaingan di pasar kerja semakin ketat, dan perusahaan lebih cenderung memilih kandidat dengan pengalaman kerja yang lebih relevan, meskipun posisi tersebut bisa diisi oleh orang dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah.

3.Jumlah Pekerjaan Terbatas di Sektor Tertentu

Meskipun sektor-sektor tertentu seperti teknologi atau kesehatan berkembang, banyak sektor lainnya yang tidak dapat menyerap jumlah lulusan sarjana yang semakin meningkat. Akibatnya, lulusan dari jurusan tertentu mungkin kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai.

4.Kurangnya Pengalaman Kerja dan Dukungan Karir

Banyak mahasiswa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk magang atau membangun jaringan profesional selama masa kuliah, yang membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan di dunia kerja. Kurangnya dukungan dalam hal pelatihan praktis dan kesiapan karir turut memperburuk keadaan, sehingga banyak lulusan yang kesulitan memasuki dunia kerja.

Dengan demikian, meskipun ada peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki oleh lulusan dan yang dicari oleh pasar kerja tetap menjadi faktor utama yang menyebabkan tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana. Hal ini terjadi karena banyak lulusan yang tidak memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan industri, sementara posisi yang ada seringkali lebih menuntut pengalaman dan keahlian khusus yang tidak diajarkan di banyak program pendidikan formal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun