Mohon tunggu...
Nabila Ardi
Nabila Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa semester 3 Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya Nabila Ardi, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) yang memiliki ketertarikan besar pada dunia menulis, fotografi, dan eksplorasi ide kreatif. Saya suka mengeksplorasi berbagai topik terkait komunikasi, budaya, dan isu-isu sosial, terutama bagaimana komunikasi dapat membangun hubungan dan menciptakan perubahan positif. Dalam tulisan saya, saya sering membahas tema seperti pengaruh media sosial, dinamika budaya, komunikasi politik, pemberdayaan perempuan dll. Melalui platform ini, saya berharap dapat berbagi wawasan, bertukar ide, dan menjadi bagian dari diskusi yang inspiratif bersama pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Kekuatan & Kelemahan Komunikasi Politik Pasangan Andra Soni - Dimyati Natakusumah dalam Pilkada 2024

26 Desember 2024   20:52 Diperbarui: 26 Desember 2024   20:54 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Analisis Kekuatan dan Kelemahan Komunikasi Politik Tokoh dan Partai Politik di Indonesia: Studi Kasus Pasangan Andra Soni -- Dimyati Natakusumah dalam Kontestasi Pilkada Banten 2024

Oleh: Nabila Ardi

Komunikasi politik di Indonesia telah mengalami perubahan yang drastis, diikuti dengan perkembangan teknologi dan media digital yang tak bisa dibendung. Hal ini turut dirasakan pada Pilkada Banten 2024, dinamika komunikasi politik yang sudah berubah menghasilkan tantangan serta peluang baru yang harus dihadapi oleh peserta kontestasi Pilkada tahun ini. Pasangan Andra Soni - Dimyati Natakusumah yang berhadapan dengan pasangan Airin Rachmi - Ade Sumardi menjadi kasus menarik untuk menganalisis kekuatan serta kelemahan strategi komunikasi politik tokoh dan partai politik di Indonesia terutama di Provinsi Banten.

Dinamika politik dan kontestasi dalam Pilkada di Provinsi Banten selalu menjadi isu hangat dan menarik perhatian siapa pun itu, tak peduli dimana tempat tinggalnya. Setiap menjelang pemilihan gubernur Banten, seluruh pengamat dan pemerhati politik di Tanah Air turut serta memberikan opininya terhadap setiap pasangan calon yang maju dalam kontestasi pemilihan gubernur Banten. Hal ini disebabkan oleh sejarah politik Banten yang kompleks, keberadaan dinasti politik, serta persaingan ketat antar pasangan calon yang sering kali melibatkan strategi komunikasi dan kampanye yang sengit dan tak jarang saling menjatuhkan.

Sejak memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 silam, Provinsi Banten yang merupakan Provinsi "bontot" telah menjadi arena pertarungan antar dinasti politik yang kuat. Keluarga Ratu Atut Chosiyah misalnya, telah menjadi pemeran utama dalam politik Banten selama beberapa dekade terakhir. Hal ini sering kali menimbulkan perdebatan sengit mengenai dampak baik-buruknya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Banten. Terlebih kasus-kasus korupsi sering kali diberitakan menimpa keluarga keturunan H. Tubagus Chasan Sochib tersebut. Airin Rachmi, yang merupakan adik ipar Ratu Atut, berupaya melanjutkan tongkat estafet politik keluarganya, sementara pasangan Andra Soni-Dimyati yang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) berusaha mendobrak benteng dinasti politik yang telah ada sebelumnya dengan janji perubahan dan program kerja pro-rakyat.

Pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah menghadapi tantangan besar, termasuk serangan isu personal seperti kasus pelecehan seksual yang menjerat Dimyati Natakusumah dan kritik terhadap program kerja mereka, seperti sekolah gratis di Banten yang dianggap tidak realistis oleh pasangan lawan. Sementara itu, pasangan Airin-Ade harus menghadapi stigma dinasti politik RAU dan tak bisa lepas dari isu korupsi yang melekat pada keluarga H. Chasan.

Pasangan Andra Soni-Dimyati memanfaatkan pendekatan komunikasi politik yang mengedepankan personalisasi, interaksi langsung dengan masyarakat, dan penggunaan media sosial sebagai alat utama. Media sosial menjadi platform utama bagi pasangan calon Andra Soni-Dimyati Natakusumah untuk menyampaikan visi dan misi mereka. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter digunakan untuk menjangkau generasi muda dengan konten politik yang relevan, kreatif, dan menjual. Video pendek yang menampilkan program kerja mereka seperti "Banten Maju" dan "Sekolah Gratis untuk Semua" mampu menarik perhatian publik terutama kalangan Gen Z yang aktif bersosial media. Terlebih banyak Gen Z yang sudah lelah dengan kasus-kasus korupsi yang menjerat dinasti RAU, hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah untuk membangun branding dan citra positif agar lebih diminati oleh masyarakat. Narasi yang diciptakan oelh Andra-Dimyati untuk membangun citra sebagai pemimpin yang merakyat terlihat dengan seringnya mengunjungi komunitas lokal, pasar tradisional, dan desa-desa terpencil. Narasi ini berhasil menciptakan kedekatan emosional dengan masyarakat akar rumput, yang merasa aspirasinya didengar.

Namun, pasangan calon Andra Soni-Dimyati Natakusumah tak lepas dari terpaan krisis isu negatif. Terutama saat debat Cagub-Cawagub yang diselenggerakan oleh KPU Provinsi Banten, Calon Wakil Gubernur dari Partai PDI Perjuangan, Ade Sumardi melempar pertanyaan Dimyati Natakusumah dengan pertanyaan penangan pelecehan seksual di Provinsi Banten, lantas pertanyaan tersebut sekaligus menyentil Dimyati yang memiliki isu pelecehan seksual beberapa dekade silam. Dimyati terlihat gugup dalam memberikan jawaban dan terkesan tidak menguasai inti pertanyaan dengan menyatakan bahwa wanita harus dilindungi karena mereka spesial dan tidak seharusnya diberi beban berat, seperti menjadi gubernur. Menurut teori komunikasi politik, efektivitas komunikasi seorang politisi sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menyampaikan pesan yang jelas, relevan, dan sesuai dengan harapan audiens. Respons yang tidak tepat atau kontroversial dapat merusak citra dan kredibilitas politisi di mata publik. 

Gugupnya Dimyati saat menjawab pertanyaan sensitif menunjukkan kurangnya persiapan dalam menghadapi isu-isu kritis yang mungkin saja muncul saat debat. Hal ini sangat penting karena debat politik sering kali menjadi ajang untuk mengukur kesiapan, kompetensi kandidat dan tak jarang jadi ajang saling menjatuhkan citra dan kredibilitas dalam menangani berbagai permasalahan. Pernyataan Dimyati bahwa wanita tidak seharusnya diberi beban berat, seperti menjadi gubernur, dianggap mendiskrimani gender dan terkesan patriarki. Hal ini dapat mempengaruhi kredibilitas dan menggoyahkan pemilih perempuan dan kelompok pendukung kesetaraan gender. Alih-alih memberikan solusi konkret terhadap penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di Provinsi Banten, Dimyati justru mengalihkan fokus dengan memberikan gambaran perlindungan wanita, tanpa menawarkan kebijakan atau langkah konkret yang dapat menyelasaikan masalah. Banyak netizen mengkritik pernyataannya karena dianggap merendahkan perempuan dan patriakri. Selain itu, ketidak sanggupannya dalam menjawab pertanyaan tersebut mengingatkan publik pada kasus asusila yang pernah menyeret namanya di masa lalu. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan atau justru menghindar dari hukuman yang menjeratnya. Dalam komunikasi politik, kemampuan untuk menanggapi pertanyaan sensitif dengan cermat dan tepat sangat penting dilakukan. Kegagalan dalam melakukannya dapat merusak kepercayaan publik dan mengurangi elektabilitas pasangan calon. Oleh karena itu, politisi harus mempersiapkan diri dengan baik, memahami isu-isu krusial yang mungkin saja dibahas, dan mempersiapkan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh lawan politik yang tak jarang terkesan menjatuhkan citra dan elektabilitas.

Komunikasi politik yang efektif dapat meningkatkan citra positif serta elektabilitas yang berdampak pada meningkatnya partisipasi pemilih. Namun, polarisasi yang ditimbulkan oleh black campaign yang lumrah ditemukan saat menjelang pilkada juga dapat memperburuk kondisi sosial dan penurunan angka pemilih. Kampanye kreatif di media sosial membantu meningkatkan literasi politik di kalangan generasi muda, yang sebelumnya kurang aktif dan buta dengan politik di indonesia khususnya di daerahnya.Media, sangat berperan penting dalam membentuk opini publik selama Pilkada Banten. Penggunaan media sosial oleh kandidat untuk kampanye dan berkomunikasi dengan pemilih menjadi strategi jitu bagi setiap pasangan calon, terutama dalam menjangkau pemilih muda yang awam dengan politik. Namun, media juga tak lepas menjadi lahan bagi penyebaran informasi negatif, hoax dan black campaign yang dapat mempengaruhi jalannya pesta demokrasi secara signifikan. Media konvensional seperti televisi masih menjadi sumber informasi utama bagi pemilih kalangan boomer dan pemilih yang berasal di pedesaan. Media digital juga berperan aktif, terutama di kalangan pemilih millenial dan gen z yang tak bisa lepas dari genggaman gadget.

Dinamika politik dan kontestasi Pilkada Banten mencerminkan betapa kompleksnya politik di Indonesia. Faktor-faktor seperti dinasti politik, isu korupsi, dan peran media saling berinteraksi. Kontestasi politik antara Andra Soni-Dimyati Natakusumah dan Airin Rachmi-Ade Sumardi dalam Pilkada Banten 2024 menunjukkan dinamika komunikasi politik yang kompleks di Indonesia. Pasangan Andra-Dimyati berhasil memanfaatkan media sosial untuk berkampanye dan membangun citra positif meskipun menghadapi berbagai serangan isu negatif. Sebaliknya, pasangan Airin-Ade mengalami kesulitan dalam mempertahankan elektabilitas akibat stigma dinasti politik yang sudah lekat dan kurangnya inovasi karena terlalu berfokus kepada kalangan akar rumput yang menjadi pondasi bagi Partai naungannya.

Komunikasi politik di Indonesia terus berkembang diikuti dengan perubahan teknologi dan budaya politik yang kian kreatif dan inovatif. Pilkada Banten 2024 mencerminkan bagaimana komunikasi politik menjadi tantangan penting bagi pasangan calon dalam membangun citra, menyampaikan visi-misi, meningkatkan elektabilitas dan memengaruhi calon pemilih. Pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah dan Airin Rachmi-Ade Sumardi sebagai dua kontestan utama, menunjukkan pendekatan yang beragam dalam memanfaatkan strategi komunikasi politik.

Pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah memanfaatkan media sosial sebagai salah satu senjata utama untuk menjangkau generasi muda. Platform seperti Instagram dan TikTok digunakan secara aktif untuk menyampaikan program kerja seperti "Sekolah Gratis untuk Semua". Strategi ini berhasil menarik perhatian publik, terutama kalangan Gen Z yang aktif di media sosial dan sudah bosan dengan politik dinasti yang telah berkuasa selama beberapa dekade sebelumnya. Konten kreatif seperti video pendek yang menampilkan tokoh pasangan ini sedang berinteraksi dengan masyarakat akar rumput memperkuat citra mereka sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Kekuatan ini juga tidak hanya terletak pada penguasaan media sosial. Pasangan ini juga menggunakan pendekatan personalisasi dan narasi politik yang merakyat. Kunjungan ke pasar tradisional, desa terpencil, dan komunitas lokal menunjukkan upaya menciptakan kedekatan emosional dengan pemilih. Dalam teori komunikasi politik, pendekatan ini dikenal sebagai symbolic interactionism, di mana politisi menggunakan simbol dan tindakan langsung untuk membangun hubungan dengan audiens.

Namun, di sisi lain kelemahan komunikasi politik pasangan Andra-Dimyati terungkap dalam momen-momen krusial, seperti debat publik yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi Banten. Pertanyaan sensitif dari lawan politik, Ade Sumardi, mengenai isu pelecehan seksual menjadi titik lemah yang mencerminkan kurangnya persiapan Dimyati dalam menghadapi isu krusial. Respons yang gugup dan pernyataan yang dianggap seksis memperlihatkan kelemahan komunikasi yang mendasar. Menurut teori komunikasi politik, efektivitas pesan politik sangat dipengaruhi oleh kejelasan, relevansi, dan kesesuaian dengan nilai-nilai audiens. Gugupnya Dimyati dan pernyataannya yang patriarkis tidak hanya merusak kredibilitasnya di mata pemilih perempuan, tetapi juga mengingatkan publik pada kasus lama yang menyeret namanya. Hal ini menunjukkan pentingnya kesiapan dalam menghadapi isu sensitif, terutama dalam forum debat yang sering menjadi sorotan publik.

Sementara itu, pasangan Airin-Ade menghadapi tantangan besar terkait stigma dinasti politik yang melekat pada keluarga Ratu Atut Chosiyah. Kampanye negatif yang diarahkan kepada pasangan ini, seperti isu korupsi yang melibatkan keluarga mereka, memperlihatkan betapa rapuhnya strategi komunikasi jika tidak mampu mengelola persepsi publik secara efektif. Meski Airin mencoba membangun citra sebagai pemimpin perempuan yang progresif, isu dinasti tetap menjadi hambatan besar dalam memenangkan hati pemilih yang menginginkan perubahan.

Pilkada Banten 2024 memberikan pelajaran berharga bagi pengembangan komunikasi politik di Indonesia. Pertama, politisi harus menyadari pentingnya komunikasi yang terbuka dan peka terhadap isu-isu sosial yang relevan. Ketidakmampuan Dimyati dalam merespons isu pelecehan seksual menunjukkan bahwa betapa pentingnya persiapan matang dalam menangani topik sensitif. Kedua, media sosial menjadi alat yang sangat efektif untuk menjangkau generasi muda, namun harus diseimbangkan dengan kehadiran fisik di tengah masyarakat. Pasangan Andra-Dimyati berhasil menunjukkan bahwa menggabungkan kampanye digital dengan pendekatan personal dapat memperkuat ikatan emosional dengan pemilih. Ketiga, kampanye negatif dan serangan personal juga perlu dikelola dengan hati-hati. Meskipun efektif dalam mengungkap kelemahan lawan, tetapi strategi ini berisiko meningkatkan polarisasi dan merusak proses demokrasi. Oleh karena itu, politisi dan partai harus mengutamakan pesan-pesan positif yang membangun daripada sekadar menyerang.

Komunikasi politik dalam Pilkada Banten 2024 mencerminkan tantangan dan peluang yang dihadapi politisi di era digital. Pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah menunjukkan bagaimana strategi komunikasi yang kreatif dan terbuka dapat meningkatkan elektabilitas, meskipun kelemahan dalam menangani isu sensitif tetap menjadi tantangan besar. Di sisi lain, pasangan Airin-Ade harus berjuang melawan stigma dinasti politik yang melekat pada mereka, menekankan pentingnya membangun narasi politik yang progresif dan sesuai dengan harapan masyarakat. Ke depannya, komunikasi politik di Indonesia harus lebih terbuka, berbasis data, dan berfokus pada solusi nyata yang menjawab kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, komunikasi politik tidak hanya berfungsi untuk memenangkan pemilu, tetapi juga menjadi sarana memperkuat demokrasi dan membangun masyarakat yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun