Mohon tunggu...
Nabila Afira Quraina
Nabila Afira Quraina Mohon Tunggu... Konsultan - Female

bebas menulis sesuai dengan ide, pengalaman, dan gaya bahasaku

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Zona Nyaman, Zona yang Tidak Nyaman

17 Desember 2024   19:08 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:08 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto sunset (Sumber: https://pixabay.com ))

2 tahun lamanya saya tidak mengunjungi akun ini hingga usang berjelaga. Awalnya ingin kembali memulai, namun sulit karena merasa otak ini sudah dingin untuk berpikir & menulis. Kemudian, muncul satu topik menarik bagi saya yang cukup relate dengan pengalaman beberapa tahun lalu.

Tiba-tiba teman saya whatsapp dengan keluhannya yang cukup mendadak. Namun, sejujurnya karena dialah saya ingin berterima kasih sudah curhat masalah hidupnya & secara tidak langsung memberi ide lagi untuk menulis.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah ada diposisi yang desperate, hopeless & merasa tidak punya masa depan. Bisa jadi pada saat itu saya terjebak diposisi zona nyaman. Perempuan umur 25 tahun sudah lulus kuliah, tidak bekerja, punya penghasilan tidak menentu dengan aktivitas yang tidak jelas.

Saya akui pada saat itu terjebak dizona nyaman karena merasa percaya diri bahwa saya akan dinikahi oleh pacar (re: sekarang mantan) dengan tujuan hidup menjadi istri di rumah saja, sesuai dengan kemauan mantan pacar.

Bayangan yang selama itu saya impikan, hancur seketika saat hubungan saya dengan mantan pacar berakhir. Bagaimana tidak? Saya tidak punya sandaran apapun selain dia. Maksud saya begini, selama saya pacaran tersebut hampir seluruh dunia dia adalah hidup saya.

Bahasa lebay-nya, saya tidak punya kehidupan lain lagi selain dirinya pada waktu itu. Kecewa? Oh jelas! Namun hanya pada saat kejadian itu. Ternyata baru saya sadari setelah dia pergi bahwa dia se-tidak mencintai itu pada saya.

Namun, ini bukan soal membahas masa lalu saya ya teman-teman. Saya hanya menceritakan cuplikannya untuk menyambungkan permasalahan selanjutnya. Nah, dari cerita singkat saya tersebut saja sudah bisa disimpulkan bahwa saya ini tolol, bukan?

Ya, perempuan tak berprinsip. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk berharap kebahagiaan pada seseorang yang belum jelas jodoh atau tidak dan menjadikan diri saya sendiri terjebak dizona nyaman.

Saya merasa percaya diri, "ah malas cari kerja, toh nanti bakalan dinikahin sama dia". Kalimat ini adalah kesalahan terbesar yang pernah saya ciptakan dimasa lalu dan menciptakan kehidupan yang stuck.

Rasanya nyaman di rumah saja namun  sebenarnya juga tidak nyaman. Benar kata Cinta Laura yang pernah dia bahas saat menjadi BA diproduk kosmetik yang saya jual, "zona nyaman adalah zona yang paling tidak nyaman". Jika ditelaah sekali lagi, kalimatnya memang valid.

Ternyata nggak ngapa-ngapain itu malah kenapa-kenapa. Saya pernah nganggur dengan jangka waktu lama, melakukan aktivitas tidak menentu. Bayangkan saja, ketika yang lain sudah berangkat pagi untuk pergi ke kantor, saya malah baru bangun tidur.

Setelah bangun tidur, scroll media sosial & lanjut mandi. Lanjut tidur siang sampai sore, malam tidur larut. Begitu seterusnya seperti terjebak dilingkaran setan. Susah untuk keluar dari lingkaran tersebut jika tidak saya sendiri yang berbenah.

Mulai dari aktivitas tidak jelas tersebut membuat saya semakin overthinking & insecure. Merasa pesimis bahwa tidak ada perusahaan yang mau menerima saya sebagai seseorang yang lama jadi pengangguran. Takut memulai mencari pekerjaan karena bingung harus mengisi value CV yang seperti apa.

Meski dikatakan pengangguran, sebenarnya saya bukan pengangguran akut yang masih minta duit ke orang tua. Saya menekuni jualan produk kosmetik lumayan lama dan setidaknya itu bisa menjadi nilai plus yang bisa dibanggakan karena memang ada value didalamnya.

Dengan mencantumkan CV sales tersebut ternyata hasilnya tidak mengecewakan. CV saya laku & berhasil bekerja disalah satu E-commerce terbesar selama 1,5 tahun. Dari bekal pengalaman pekerjaan tersebut membuat saya cukup bangga.

Ternyata saya bisa berdiri diatas kaki sendiri tanpa harus menyandarkan kebahagiaan pada orang lain. Meski harus menangis pagi, siang dan malam karena galau, tidak mematahkan harapan untuk semakin membuka mindset bahwa saya juga layak mendapatkan pekerjaan yang baik.

Separuh pengalaman pahit dalam hidup sudah pernah dirasakan. Ternyata bekerja sesuai passion & lingkungan yang baik membuat saya berada dizona nyaman saat ini. Comfort zone kali ini jauh berbeda daripada saat jadi pengangguran.

Ya jelaslah, kan ada pemasukan tetap perbulan. Namun, memang benar apa kata orang bahwa lebih baik capek kerja daripada harus capek cari kerja. Itu benar-benar valid!

Nah, apa yang terjadi dengan seorang teman yang saya singgung diawal? Dia sedang mengalami fase sama persis yang saya rasakan ketika jadi seorang pengangguran! Rasa simpatik saya mencuat begitu mendengar dia meminta bantuan mencari pekerjaan.

Saya & dia ini teman SD yang masih saling contact, jadi nggak canggung-canggung amat jika saling meminta bantuan. Namun, sempat saya terpikir bahwa ada masalah internal yang ada pada dia.

Sebenarnya saya kasih info lowongan pekerjaan tidak hanya sekali, sudah beberapa kali & info tersebut selalu fresh dari kantor saya. Tidak diposting disosial media alias hanya dari informasi dari rekan-rekan karyawan saja.

Mirip informasi orang dalam sebenarnya namun seleksinya murni mencari kualitas calon kandidat. Setiap ada informasi lowongan pekerjaan, selalu saya forward ke dia. Tidak ke siapa-siapa lagi karena sejauh ini circle saya sudah bekerja semua.

Diawal saya memberi info loker, dia beralasan tidak sempat apply dan sedang diluar kota. Hingga loker terakhir yang saya share, barulah dia mencoba satu kali untuk pertama kalinya.  Boom! dia tidak dipanggil untuk sesi interview & posisi tersebut akhirnya terisi oleh kandidat yang memang lolos seleksi.

Mulai dari situ saya rasa dia sudah mulai agak kelabakan karena sebelumnya dia tidak pernah kebingungan seperti ini. Mungkin pernah, namun dia tidak pernah menunjukkan hal tersebut kepada saya.

Sejujurnya saya tidak langsung percaya dengan statement dia yang menunda apply loker yang saya share. Sebelumnya dia pernah cerita sendiri ingin bekerja sebagai admin saja alias agak picky soal jobdesk. Masalahnya, tidak semua perusahaan selalu membutuhkan admin, kan?

Mungkin saran saya untuk teman-teman yang membaca cerita ini, jangan terlalu picky pada pekerjaan terutama yang masih freshgraduate. Sekiranya itu perusahaan, jobdesk, dan gaji yang jelas, harusnya sih gas saja ya!

Urusan gaji yang belum sesuai, itu nanti akan menyesuaikan kok seiring dengan tenur kerja dan pertimbangan pemikiran kita dimasa depan. Yang terpenting tujuannya bisa menambah pengalaman kerja pada CV dulu.

Kalo belum apa-apa sudah menargetkan gaji yang tinggi, itu agak tricky. Ya bisa-bisa saja kok! Tapi harapan manusia kan sering tidak sesuai dengan realita. Tanyakan dulu ke diri sendiri, sudah pantas belum kita mendapatkan gaji yang tinggi dengan pengalaman yang masih minim?

Lalu permasalahan selanjutnya begini, umur 25 keatas terutama untuk gender wanita di Indonesia saja gampang-gampang susah mencari pekerjaan. Bisa, namun tidak mudah. Terlebih lagi, jika jarak lulus kuliah sudah lumayan lama.

Mungkin ada HRD yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun, sejauh pengalaman saya ikut berbagai interview, hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur. Kayak dalam hati HRD pasti ngebatin, "kamu selama ini ngapain aja kok bisa nganggur bertahun-tahun??". Tidak mungkin dong kita jawab ke HRD terlalu apa adanya.

Maka dari itu saya berharap sekali pada siapapun yang membaca tulisan ini apalagi yang freshgraduate, ambil kesempatan apapun didepan mata. Sekiranya diri kita kompeten untuk melakukan hal tersebut, ambil!

Take it or learn it! Pengalaman adalah guru terbaik jadi tidak akan ada sia-sia pada setiap keputusan apapun yang kita ambil. Mumpung masih muda, eksplor pengalaman sebanyak-banyaknya. Supaya anak-anak kita bisa terinspirasi dari pengalaman hebat orang tuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun