Keberagaman suku, adat, budaya dan agama merupakan ciri khas Indonesia. Ini mengacu pada keragaman Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki kekayaan yang unik, kekayaan sumber daya alam dari darat hingga laut, perbedaan suku, suku, agama dan budaya Indonesia adalah modal besar untuk menjadi bangsa yang besar.Â
Namun, dibutuhkan negara dengan semangat nasionalisme yang kuat untuk menopang semua keragaman ini.
Orang Bali percaya akan adanya berkah dari Tuhan dalam bentuk taksu (sesuatu yang abstrak atau tidak nyata, bukan materi), meskipun ada atau tidaknya berdampak besar pada kualitas komunitas sosial dan budaya manusia. Masyarakat Bali meyakini kekuatan taksu sebagai salah satu faktor pendukung keberlangsungan dan perkembangan seni tradisi lokal yang lestari hingga saat ini.Â
Kesenian berasal atau ada di setiap daerah karena adanya perbedaan yang khas, sebagai kekuatan berupa penguasaan terhadap kesenian yang ada di daerahnya. Variasi tersebut bervariasi dan mengikuti fungsi atau kebutuhan daerah itu sendiri, tiga pembagian fungsi kesenian di Bali, yaitu sebagai upacara atau wali, pengiring upacara atau bebali, serta tontonan/hiburan atau balih-balihan.
Berdasarkan ketiga pembagian tersebut, masyarakat setempat dapat terinspirasi untuk menciptakan karya seni masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Digunakan sebagai inspirasi dalam bentuk karya yang menyenangkan, seperti seni visual.Â
Sebuah karya seni hadir di masyarakat sebagai sesuatu yang membentuk kepribadian atau identitas suatu kelompok masyarakat dari suatu tempat, dapat berkembang jika ada masyarakat yang mendukung.Â
Potensi masyarakat setempat dapat dijadikan dasar kreativitas yang berbasis keahlian di bidang kesenian daerah untuk memungkinkan kemajuan sesuai selera, kemampuan, selera dan kondisi atau situasi yang mendukung. Berkaitan dengan hal tersebut, penata yang lahir dari lingkungan dan bagian dari masyarakat Bali ini turut menciptakan seni pertunjukan khususnya seni tari sebagai upaya melestarikan seni itu sendiri.Â
Tari sebagai manifestasi estetika manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang bermakna.
Berawal dari konsep pelestarian di atas, dicoba untuk melihat keadaan seni di Bali, khususnya tari Janger, yang hidup pada tahun 1930-an. Tarian ini merupakan salah satu bentuk tarian rakyat yang sangat populer dan populer di kalangan masyarakat Bali, ditampilkan oleh para pemuda dan pemudi sambil bernyanyi dan bereaksi.Â
Menurut kamus Bali-Indonesia, kata Janger berarti nama tarian Bali yang dibawakan oleh para pemuda dan pemudi. Di sisi lain, diduga nama Janger mungkin berasal dari tiruan suara (anomatope), seperti nama Cak, seperti yang muncul pada penari dalam kata-kata Cak. Demikian pula dalam Janger, kata-kata Janger diulang-ulang, sehingga tariannya disebut Janger.
Nyanyian Lenggang yang ceria dan ceria kini kembali menjamur dalam tarian Janger. Dulu, jenis tari ballroom di Bali ini banyak dibawakan oleh anak muda, belakangan ini tarian Majangeran juga banyak digandrungi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu. Kita bisa melihatnya di arena Festival Kesenian Bali (PKB) atau di televisi, beberapa kelompok Janger adalah penari wanita murni.
Tari Janger adalah tari ballroom untuk anak muda yang hidup dan berkembang di daerah Kedaton-Sumerta. Tari Janger Kedaton sebagai tarian tradisional yang populer dapat menjadi salah satu kebanggaan budaya masyarakat Kedaton.
Tari Janger Kedaton dipentaskan sekitar tahun 1906 dengan semua penari pria, perkembangan selanjutnya dimainkan oleh sekelompok pria bernama Kecak, sekelompok wanita bernama Janger. Dahulu menggunakan seorang peran berfungsi sebagai pembawa acara disebut Dag.Â
Tarian ini berfungsi sebagai hiburan, seremonial, penyajian estetis, penyampaian pesan, pengembangan ekonomi dan sarana integrasi. Janger cocok untuk kegiatan petani yang menyenanginya karena menyenangi pekerjaan. Liriknya diambil dari Sanghyang, tarian ritual. Ketika Janger dikategorikan sebagai tari Bali, Janger juga termasuk tari bolak-balik, tarian yang menerangi upacara dan juga untuk hiburan.
Pada 1960-an, Janger mulai terlibat aktivitas berbagai partai politik, termasuk PKI. Kelompok tari Janger mendukung kampanye pemutusan hubungan Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1963. Presiden Soekarno menaruh perhatian besar pada tarian ini, salah satunya adalah dengan membawa penari Janger ke pertunjukan di Istana Tampaksiring.Â
Menyusul peristiwa G30S/PKI, beberapa pelaku kekerasan yang dianggap PKI dibunuh dan diusir. Zaman ini adalah zama dimana tari Janger redup sinarnya. Gugur sudah. Baru pada tahun 1970-an popularitasnya kembali. Janger menunjukkan eksistensi sebagai seni pentas hiburan yang merakyat namun tak jarang diganduli pesan-pesan pembangunan pemerintah Orde Baru.
Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, sangat menyukai tarian Janger.
Kegembiraan dan semangat yang menjadi ciri tarian ini menginspirasi presiden berdarah Bali itu  memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini.Â
Dalam konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, Penyanyi berteriak melalui Bali, "Ganyang Malaysia!" Dalam bentuk lagu dan backing play. Bung Karno sering membawa Janger sebagai ekspresi seni ke Istana Tampaksiring sebagai pertunjukan seni kehormatan bagi pengunjung negara.
Janger juga memiliki beberapa variasi yang berbeda, seperti;
1. Janger Tabanan. Di Janger tempat ini Anda bisa melihat Daga, seorang pria yang menyamar sebagai tentara Belanda, yang bertugas memberi isyarat kepada para penari.
2. Janger dari Desa Metro, Bangli, melakukan ritual kesurupan di akhir pertunjukan. Janger jenis ini disebut Janger Maborbor, penarinya kesurupan dan menginjak arang yang terbakar.
3. Janger dari desa Sibang, Badung, disebut juga Janger Gong karena diiringi oleh Gamelan Gong Kebyar.
4. Janger dari desa Bulian, Buleleng, khusus dieksekusi oleh penduduk desa yang mempunyai masalah dengan bicara (tunawicara).
Kemudian ada sekaa (organisasi pemuda) yang secara khusus mengusung Janger, antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapura (Gianyar). Padahal, kelahiran Janger hanyalah sebuah presentasi estetis, sebuah seni hiburan yang brutal.Â
Sebagai seni reversibel, tari Janger sering ditampilkan untuk menghidupkan kembali upacara-upacara keagamaan agar dipersepsikan sebagai seni wisata. Namun, ada juga komunitas yang berfungsi tidak hanya sebagai seni pertunjukan yang menghibur, tetapi juga penghormatan dalam konteks sakral.Â
Masyarakat Bangli, misalnya, memaknai seni menghormati Janger sebagai tarian sakral yang disebut Janger Maborbor dengan sosok dalam penglihatan dan menginjak paru-paru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H