Mohon tunggu...
Nabila Azzahra
Nabila Azzahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

adventure time enjoyer

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Panas Banget, Ya? Cuaca Ekstrem, El Nino, dan Dampak Nyata dari Perubahan Iklim

11 Oktober 2023   21:52 Diperbarui: 11 Oktober 2023   22:04 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 RCraig09, Wikimedia Commons, 27 August 2021

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, menghimbau warga DKI Jakarta untuk menghindari aktivitas di luar ruangan guna terhindar dari sengatan panas atau heat stroke pada Selasa, 3 Oktober 2023. 

Heat stroke merupakan kondisi dimana tubuh tidak bisa lagi mengendalikan suhu tubuh sehingga temperatur tubuh meningkat dengan cepat, sering secara tiba-tiba; gejalanya antara lain tubuh tidak lagi berkeringat, suhu tubuh menyerupai demam tinggi, kebingungan, sakit kepala, hingga tidak sadarkan diri. 

Heat stroke terjadi karena tubuh terus-menerus berada di lingkungan dengan suhu yang sangat tinggi, seperti melakukan aktivitas berat di luar ruangan atau berada terlalu lama di bawah terik matahari.

Banyak yang tidak menyadari bahwa temperatur lingkungan setiap harinya akhir-akhir ini hampir mencapai rekor tertinggi yang pernah tercatat di Indonesia, yaitu 40.6 derajat celcius di Banjarbaru, Kalimantan pada tahun 1997. 

Menurut hasil pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada tanggal 22 sampai 29 September 2023, suhu maksimum harian di beberapa wilayah Indonesia mencapai 35-38 derajat Celcius pada siang hari. 

Baru-baru ini, BMKG mencatat bahwa Kertajati, Majalengka, Jawa Barat adalah kota terpanas di Indonesia dengan catatan suhu tertinggi 38,7 derajat Celsius per 10 Oktober 2023.

Lalu, kenapa panas ekstrim terjadi terus-menerus di Indonesia belakangan ini, bahkan hampir menjadi new normal bagi warga Indonesia? Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, puncak musim kemarau di tahun ini diperkirakan terjadi pada Oktober 2023 sehingga menyebabkan panas ekstrem di beberapa daerah. 

"Pada kondisi normal, musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga Agustus," ujar Eddy Hermawan, peneliti utama Pusat Penelitian Iklim dan Atmosfer di BRIN. "Namun, fenomena El Nio dan Indian Ocean Dipole (IOD) menyebabkan terjadinya pergeseran musim sehingga musim kemarau berlangsung hingga Oktober."

Indian Ocean Dipole (IOD) adalah fenomena osilasi suhu air permukaan laut yang tak teratur yang menyebabkan wilayah barat Samudra Hindia lebih hangat di fase positifnya, disebut juga El Nio, dan lebih dingin di fase negatifnya, juga disebut La Nia, dibandingkan wilayah timur Samudra Hindia. 

Osilasi adalah variasi periodik terhadap waktu dari suatu hasil pengukuran, contohnya pada ayunan bandul. Osilasi terjadi bila sebuah sistem diganggu dari posisi kesetimbangan stabilnya.

Nelayan Amerika Selatan pertama kali menyadari periode air hangat yang luar biasa di Samudra Pasifik pada sekitar tahun 1600. El Nio berdampak pada suhu laut, kecepatan dan kekuatan arus laut, kondisi perikanan pesisir, dan cuaca lokal mulai dari Australia hingga Amerika Selatan dan sekitarnya. Peristiwa El Nio umumnya terjadi dengan interval sekitar dua hingga tujuh tahun, namun El Nio bukanlah siklus yang teratur atau dapat diprediksi.

Memang benar bahwa El Nio telah terjadi ratusan tahun yang lalu; para ilmuwan  menemukan tanda-tanda kimiawi dari suhu permukaan laut yang lebih hangat dan peningkatan curah hujan yang disebabkan oleh El Nio pada spesimen karang yang berusia sekitar 13.000 tahun. 

Tetapi semenjak lebih dari 50 tahun terakhir, El Nio terjadi semakin sering, dan rekor peningkatan suhu permukaan laut mencapai suhi tertinggi pada tahun 1998, lalu kembali memecah rekor pada tahun 2015. 

 

Meningkatnya Intensitas dan frekuensi dari El Nio merupakan dampak nyata dari climate change, disebut juga perubahan iklim. Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), perubahan iklim adalah pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. 

Pergeseran ini memang terjadi secara alami, namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Bahan bakar fosil menghasilkan gas-gas yang memerangkap panas di atmosfer bumi ketika dibakar, sehingga panas matahari yang telah masuk ke dalam bumi tidak dapat lagi direfleksikan keluar, dan suhu bumi semakin panas.

Perubahan iklim memang sangatlah sulit untuk dicegah maupun dihentikan, terutama di Indonesia. Pembakaran bahan bakar fosil terjadi setiap kali seseorang harus bepergian dengan menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin, atau setiap kali lampu dinyalakan oleh listrik, dimana listrik dibangkitkan oleh bahan bakar batu bara. 

Banyak yang mengatakan bahwa solusi terbaik untuk menghindari penggunaan bahan bakar fosil adalah menggunakan energi alternatif, yaitu energi yang berasal dari sumber yang alami dan terbarukan seperti energi angin, matahari (solar), tenaga air, dan lain-lain---tetapi inovasi dalam aplikasi energi yang dihasilkan oleh sumber yang terbarukan masih sangat terbatas. 

Contohnya, sebagian besar panel surya domestik di pasar pada saat ini diperkirakan menghasilkan antara 250 dan 400 watt per jam. Jika diasumsikan panel surya menerima panas matahari selama 12 jam penuh, maka panel surya domestik dapat menghasilkan 144 kWh per bulan, sementara menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2019, rata-rata konsumsi listrik per rumah tangga di Indonesia adalah sekitar 450 kWh per bulan.  

Begitu juga masalahnya dengan penggunaan kendaraan listrik dalam skala besar; infrastruktur di Indonesia telah dibangun untuk mengakomodasi kendaraan berbahan bakar bensin selama puluhan tahun, dan belum ditemukan inovasi lebih lanjut untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki kendaraan listrik seperti jarak tempuh, waktu pakai, dan penggunaan lithium sebagai bahan utama baterai yang lagi-lagi merupakan unsur tidak terbarukan, dimana proses penambangannya juga menyebabkan pencemaran lingkungan.

Lalu, jika semuanya serba salah, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Pertama-tama, kita harus mengoptimalkan sarana yang telah ada sekarang ini, yaitu sarana transportasi umum di Indonesia. 

Minimnya akses transportasi umum yang terintegrasi menyebabkan orang-orang terpaksa bergantung kepada transportasi pribadi dan transportasi online, terutama untuk penduduk yang berada di luar wilayah DKI Jakarta. 

Transportasi umum berbasis rel seperti KRL dan MRT terikat pada rute yang sangat spesifik yang tidak mencakup banyak area, begitupun rute Transjakarta maupun Transjabodetabek. 

Akibatnya, pengguna transportasi umum tersebut harus lagi melakukan perjalanan dari stasiun ke tujuannya dan menjadikan perjalanan mereka tidak efektif dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi dari awal. 

Dengan adanya berbagai sarana transportasi umum yang lebih terintegrasi dan terstruktur dengan baik, lebih banyak orang yang akan beralih ke transportasi umum, dan ketergantungan kepada kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan, polusi, dan tingginya penggunaan bahan bakar fosil akan berkurang.

Selebihnya lagi, pemerintah harus lebih memperhatikan dan mendukung lembaga-lembaga riset untuk melakukan inovasi terkait energi terbarukan dan mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada. Indonesia memiliki banyak sekali potensi dalam sektor energi terbarukan---Indonesia adalah salah satu negara yang berada dalam ring of fire, yang berarti banyak sekali gunung-gunung aktif panas buminya dapat digunakan untuk membangkitkan energi; Indonesia adalah negara yang berada di garis ekuator, dimana matahari bersinar sepanjang tahun dan memiliki potensi yang besar untuk beralih ke pembangkit energi tenaga surya; Indonesia adalah negara kepulauan, dimana wilayah pesisir memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan energi angin dan air untuk membangkitkan energi---seandainya ada inovasi untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada terkait energi terbarukan dari dalam negeri, Indonesia tidak perlu lagi bergantung kepada negara-negara lain untuk maju.

Penting juga diingat bahwa aksi menuju kebaikan sekecil apapun tidak akan sia-sia. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi saat mampu, menghemat energi sesering mungkin, dan memilih pemimpin Indonesia dengan bijak pada tahun 2024 mendatang merupakan hal-hal yang dapat kita semua lakukan sembari kita perlahan-lahan bergerak untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik secara sistematis.

Sudah saatnya kita semua bergerak untuk mengobati bumi sebelum terlambat. Dampak perubahan iklim sudah di depan mata; apakah anda melihatnya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun