Mohon tunggu...
Asagift
Asagift Mohon Tunggu... Penulis - Guru

Ini adalah cara saya mengingat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku, Dia dan Secangkir Kecemburuan

10 Juli 2019   09:35 Diperbarui: 10 Juli 2019   13:29 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini merupakan hari yang sangat spesial bagi dia, pemuda Minang yang tampan. Ia juga menjadi sahabatku, namanya Arief. Kami telah mengenal satu sama lain sejak ayahnya dipindahtugaskan dari Agam ke Semarang lima belas tahun yang  lalu atau bertepatan dengan tahun ajaran baru tingkat Sekolah Dasar.  Awalnya kami tidak terlalu dekat, apalagi dia bukan orang kampungku. Akan tetapi semenjak ibunya telah tiada, dia sering bermain denganku bahkan tinggal di rumahku karena dia juga merupakan anak tunggal. Ayahnya sibuk katanya. Dia bahkan hanya sekali dua kali dalam sebulan melihat ayahnya, karena keluarga kami merasa iba, hmm bukan iba sih sebenernya, lebih mengarah kepada hutang budi, Arief sudah seperti saudara kandungku selain adik kecilku, Rahmi.

Oiya seperti yang telah kusebutkan di atas biasannya Arief tak pernah merayakan ulang tahunnya, paling hanya dirayakan makan bersama di rumah. Akan tetapi tidak kali ini, usia kita sudah cukup dewasa dan bolehlah diizinkan untuk merayakan di luar kebiasaan. Aku dan Arief berencana merayakan ulang tahunnya di Sky Villa, sebuah penginapan dan destinasi wisata terkenal di daerah ini sekalian berlibur akhir pekan ujarnya. Kami hanya merayakan secara pribadi, bersama keluargaku, jadi hanya ada aku, Arief, Ibu, Ayah, dan Rahmi. Kami seperti sebuah keluarga bahagia bukan!

Malam sebelum bepergian, Arief dan aku berbincang banyak dan kami menyiapkan semua barang-barang yang diperlukan Bersama. Dia memang cekatan, bahkan sangat disiplin. Akan tetapi ia terkadang menjadi orang yang bingung jika menghadapi hal-hal yang sepele.

"Kamu mau pakai baju apa besok?"

"Hmm, apa ya? Kalau blouse putih bagaimana?"

"Oke boleh, aku juga ikut."

Aku kemudian tersenyum. Baju saja dia bingung padahal kan itu hal yang sepele. Sangat sepele malah. 

"Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Ketawain aku ya?"

"Hehe.. enggak, cuma pengen senyum aja."

"Kalau pengen senyum, senyum aja, kan bisa ngajak-ngajak." ujarnya sambal menggaet pundakku dengan tangan.

Aku tidak kaget. Kami memang berbeda gender. Perlakuannya kepadaku  memang seperti itu. Entah dia mengganggap itu sebuah bentuk keakraban atau apa. Yang jelas aku maklumi karena kita sudah seperti saudara sedarah. Bahkan mungkin terkadang timbul perasaan lain di dalam benakku. Salahkah?

"Eh Fi,.." aku mengacuhkan panggilannya karena menerima telepon yang berdering di kamar tamu.

Esoknya kami mengemas semua barang-barang yang diperlukan. Mulai dari perlengkapan pribadi seperti baju, alat mandi hingga berbagai macam makanan yang hendak disajikan sendiri disana. Aku dan Rahmi juga sama-sama tak lupa mengecek keadaan rumah supaya aman dan terkendali selama kami bepergian.

"Oiya nanti aku mau ngomong penting banget sama kamu. Sumpah penting." ujarnya dengan senyum yang sangat manis. Senyum yang tidak biasa kulihat sebelumnya.

"Iyaiya nanti kan, okee." aku balas dengan sangat antusias karena sudah tidak sabar.

Kami pun melakukan perjalanan. Aku menemani Arief yang menjadi sopir pribadi kami. Sementara Rahmi di tengah Bersama Ayah dan Ibu. Perlu waktu kurang lebih dua jam perjalanan dari rumah menuju destinasinya. Tidak begitu lama memang, tetapi khawatirnya kami diserbu oleh kerumunan kemacetan yang menghambat kami menuju tempat tersebut. Semoga tidak ya.

Di tengah perjalanan kami bertemu sebuah mobil yang berhenti di jalur darurat. Rupanya mobil itu yang menyebabkan kemacetan parah sepanjang 5 kilometer. Mobil yang dikendarai oleh seorang wanita  itu sepertinya mengalami masalah pada aki dan ban. Hmm kasihan juga, tetapi kami juga harus melanjutkan perjalanan. 

Namun Arief tiba-tiba terlihat terkejut dan turun dari mobil dengan spontan sambil berkata "Sebentar-sebentar" padaku. Ia sepertinya ingin membantunya. Hmm kamu terlalu baik memang. Eh tidak. Dia sepertinya tidak hanya membantunya. Dia sepertinya lebih dari itu. Arief mengenal perempuan itu. Perempuan berambut pendek dan berblouse putih dengan muka bingung dan cemas itu segera masuk ke mobilku diantar Arief. Aku nampak kaget.

"Eh, Fi mobil Sarah macet. Dia mau numpang kita, bolehkan?" tanyanya yang membuatku agak kesal. Oh Sarah namanya.

Aku berpikir dan kemudian Ibu kangsung berkata "Iya tidak apa rief, ayo mba masuk aja."

Sesampainya disana pukul 17.00, aku berkenalan dengan perempuan yang selain cantik rupanya cukup ramah buatku. 

"Aku Sarah, kamu Fita ya teman kecil Arief?" Teman kecil? Sahabat malah, pikirku.

"Iya, jadi kamu sebenarnya mau kemana pake mobil  tadi?" tanyaku seperti polisi.

"Ehh,sebenernya aku juga mau kesini Fi. Makanya aku pake blouse putih. Kata Arief tema-nya ini kan?" jawabnya dengan percaya diri.

Hah? Tema? Dia rupanya juga tahu kalau kami ada acara disini? Berarti? 

"Eh.. ko kam.." belum selesai melanjutkan pertanyaanku. Ibu dan Arief memanggil kami untuk segera makan malam.

Saat makan malam aku masih memikirkan mengapa Sarah dapat perlakuan seperti itu dari Arief. Jangan-jangan..? Emm.. tidak. Aku juga tidak cemburu kok jika memang iya. Akan tetapi,  terasa ganjil bukan jikamemang begitu, mengapa dia tidak bilang saja kalau ada orang lain yang mau dia ajak?

Acara makan malam dilanjutkan dengan prosesi potong kue dan nasi kuning buatan Ibuku. Iringan lagu selamat ulang tahun pun terngiang di Gubuk Sky Villa yang cukup rindang itu. Aku melihat Sarah sangat akrab dengan Arief. Mataku tertuju dengan kue ulang tahun yang hendak dipotong itu, tetapi tidak dengan pikiranku.

Malam  sebelum menjelang tidur Arief memanggilku dan meminta jangan tidur dulu. Dia juga memintaku datang ke gazebo kamarnya. Aku tidak sempat berpikir aneh-aneh. Apa ada yang mau dibicarakan dengan serius? Akankah dia mewujudkan perasaanku?

Kukantongi telepon selulerku ke dalam saku celana tidurku sambil kulihat keadaan gazebo yang terang dan rindang serta secangkir minuman jahe yang harumnya sudah dapat kucium dari radius 1 meter. Hm berlebihan.

Arief tersenyum padaku. Kukira ada Sarah yang ikut bercengkrama, ternyata tidak. Pikiranku mulai tenang sambil berharap cemas.

"Kenapa rief?"

"Kamu gak inget ya kalau aku janji bakal ngomong sesuatu yang penting ke kamu?" balasnya yang berinringan dengan detak jantungku yang berdegup. Akankah?

"Hmm, aku inget kok. Tapi aku gak tau kamu mau ngomong apa." Aku tersenyum dan tertunduk.

"Jadi, kan kita udah dewasa tuh. Iyakan?" yang kubalas dengan anggukan pelan.

"Menurut kamu Sarah tuh gimana orangnya, Fi? Cocok gak buat aku? Soalnya aku udah lama pendam perasaan ini buat dia. Dia temen kuliahku Fi. Dia baik banget. Sampai sekarang dia baik kan ke kamu? Aku gak tahu cara ngungkapinnya gimana. Nah karena aku punya sahabat cewek kaya kamu, aku mau minta bantuan. Sebenernya aku pengen banget bilang ke kamu kalau Sarah juga ikut kesini, tapi kamu pas itu lagi jawab telepon dan gak sempet deh sampai sekarang. Fi kamu gak keberatan kan? Fi? " 

Aku merasa berat banget, rief. Sekarang aku benar-benar tidak lagi mendengar perkataan Arief lagi. Mataku menatap dengan tatapan kosong. Aku terdiam dalam sofa gazebo itu sambil menyadari setetes air mata keluar dari mata sebelah kiri. Aku menangis untuk pertama kali dihadapan Arief. Mimpi itu! Ya Tuhan! Ditemani secangkir kecemburuan dan keretakan alami dalam hati, jadi selama ini aku hanya menjadi pemeran pengganti? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun