Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Letak geografis Indonesia yang berada di daerah tropis juga menyebabkan Indonesia mempunyai curah hujan yang cukup tinggi.Â
Tingginya curah hujan di Indonesia membuat sebuah keuntungan tersendiri yaitu keanekaragaman hayati yang beragam dibandingkan dengan negara beriklim subtropis lainnya seperti daerah beriklim sedang dan iklim kutub. Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi ini dapat dilihat dari berbagai ekosistem yang ada di Indonesia.
Dalam buku Melestarikan Indonesia (2008) karya Jatna Supriatna, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai "mega diversity" jenis hayati dan merupakan "mega center" keanekaragaman hayati dunia. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati setara dengan Brazil yang mempunyai daratan lebih dari lima kali besarnya.Â
Indonesia yang jumlahnya sangat tinggi, baru sekitar 6.000 spesies tumbuhan, 1.000 spesies hewan, dan 100 spesies jasad renik yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjang kebutuhan hidupnya (kompas.com, 1 September 2020).
Selain tingginya tingkat keragaman hayati tersebut, terdapat pula keunikan tersendiri yang ada pada tanaman di Indonesia, yaitu tanaman obat (biofarmaka).Â
Beberapa contoh tanaman obat yang tumbuh di Indonesia antara lain kunyit, jahe, jahe merah, kencur, lengkuas, jinten hitam, dan kayu manis. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja), Badan Litbangkes membuat data pengetahuan etnofarmakologi, ramuan obat tradisional, dan tumbuhan obat di Indonesia.
Dari hasil riset yang dilakukan Ristoja, terdapat 74 kelompok kegunaan ramuan, lalu terdapat juga 10 keluhan atau penyakit terbanyak yang ditemukan dalam riset Ristoja, yaitu demam, sakit perut, sakit kulit, luka terbuka, mencret, batuk, tumor/kanker, darah tinggi, kencing manis dan cidera tulang. Tumor atau kanker termasuk satu dari 10 besar penyakit yang ditangani dengan tanaman obat atau obat tradisional atau jamu.
Sebagai Warga Negara Indonesia, keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut harusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Apalagi keunikan yang dimiliki tanaman di Indonesia seperti tanaman obat dapat menjadikan sebuah anugerah tersendiri, karena tanaman obat tersebut dapat dijadikan obat tradisional atau biasa disebut jamu.Â
Jamu dipercaya memiliki khasiat tersendiri dan lebih mudah diperoleh mengingat banyaknya jenis tanaman obat yang dapat tumbuh subur di Indonesia.
Dari Masa Kerajaan
Jamu dipercaya secara turun-temurun memiliki khasiat dan dapat menyembuhkan penyakit. Penggunaan jamu secara turun-temurun tersebut selanjutnya menimbulkan pertanyaan, kapan sebenarnya jamu mulai dikonsumsi?
Moordiati, ahli sejarah kesehatan yang juga merupakan dosen di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini menjelaskan tentang sejarah jamu.Â
Beliau mengatakan bahwa 75% orang meminum jamu untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Menurut penjelasannya, jamu sudah dikenal sejak masa kerajaan.Â
Hal tersebut dapat dilihat dari kitab kuno seperti Kakawin Gathotkacasraya, Bhomakawya, Bharattayudha, Sumanasantaka, Lubhdaka, dan Abhimanyuwiwaha, mengenal Jamu atau Jamoe, dengan istilah jampyan yang berarti obat, pengobatan atau penawar. Istilah jampyan juga disebut di dalam suluh/susastra kidung Harsyawijaya, Kidung Sunda, Kidung Malat, dan Kidung Ranggalawe (historia.id).
Beliau juga mengatakan bahwa meracik dan minum jamu secara implisit sudah digambarkan di dalam relief berbagai candi seperti relief Karmawipangga dalam candi Borobudur (825 M), Prambanan (850M), Penataran (1200), Sukuh (1437), candi Tegalwangi.Â
Dalam prasasti yang ada di dalam Madhawapura (Majapahit Abad XII M). Tidak secara spesifik menyebut jamu, namun lebih kepada peracik jamu, yang dikenal dengan sebutan ACARAKI.
Selain itu, jamu juga terdapat dalam Usada Lontar (991-1016 M). Usada Lontar yaitu sumber ilmu pengobatan yang ada di Bali. Dalam Usada Lontar terdapat nama-nama jamu, cara menggunakan, hingga khasiatnya.Â
Kajian dari Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan teknologi pangan Fakultas Pertanian UGM menyebutkan ada jenis tanaman yang masuk dalam 'empon-empon jamu' dalam relief candi, yaitu nagasari, kesamben, cendana merah, Â jamblang, pinang, pandan, cendana wangi, maja, dan kecubung (historia.co.id).
Sementara menurut beliau, jamu juga sudah dikenal melalui kita kuno dengan nama yang bermacam-macam, seperti penyakit umum yaitu pusing, sakit gigi, demam, dll, Boreh warni warni seperti lare sawanen, boreh demam, badan lesu, dsb, tapel warni warni seperti mulas, cacingen, sebah, dsb, cekok warni warni seperti kena sawan, tidak bisa kentut, sariawan dsb,sembur warni warni seperti batuk, dada sesak, cacar air, dsb, jampi tumrap pawestri seperti jamu untuk haid, kesuburan, pengencang kulit dan badan, jampi kiyat seperti  jamu kuat perkasa dan jampi mentas gadah lare seperti jampi anton-anton dan jampi sasak (Sumber: Primbon Kitab Jampi Jawi jilid 1,2,4, Kagungan Dhalem ingkang Sinuhun  IX).
Selain di Indonesia, Ibu Moordiati juga menjelaskan jamu yang ada di Barat. Beliau mengatakan bahwa letak jamu bagi orang Barat yaitu sebagai "media" untuk menyembuhkan dan dianggap sebagai obat untuk menjaga kewarasan.
Khasiat Jamu dan Tanaman Obat
Tanaman obat yang selanjutnya diolah menjadi jamu dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit, dari yang ringan hingga berat.Â
Menurut Margo Utomo (petani milenial), menanam tanaman obat (mpon-mpon) dapat dilakukan dengan media yang paling sederhana yaitu tanah subur. Selain itu, tanah yang digunakan harus gembur, sedangkan jika tanahnya padat maka akan menghalangi pertumbuhan dari ubi.
Dalam perawatannya juga harus memperhatikan kadar air yang digunakan, karena ada tanaman yang membutuhkan banyak air dan tanaman yang memerlukan sedikit air. Menurut pengalamannya juga, air hujan ternyata bisa merusak tanaman sehingga daunnya menjadi layu.
Fungsi menanam tanaman obat menurut Margo yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan tanaman obat kepada upaya-upaya kesehatan masyarakat Indonesia. Fungsi lain menanam tanaman obat adalah sebagai perbaikan gizi, pelestarian alam, sumber penghasilan, dan keindahan.
Lalu menurut Dr. Charles Ong Saerang (Pakar Jamu Nasional), Indonesia memiliki 1800 tanaman obat, namun baru 800 yang digunkan secara maksimal.Â
Di Indonesia sendiri kunyit banyak sekali dipakai sebagai bahan untuk membuat jamu. Selain kunyit, ada juga kencur yang sering dikonsumsi anak-anak untuk mengatasi batuk dan demam tinggi, jahe untuk meredakan masuk angin serta temulawak yang digunakan untuk mengurangi racun tanaman lain dalam membuat jamu.
Penggunaan jamu selain dalam minuman juga digunakan untuk bumbu masak seperti temulawak dan kunyit sebagai pewarna alami dalam makanan.Â
Dari hasil riset yang dilakukan Ristoja, terdapat 74 kelompok kegunaan ramuan, lalu terdapat juga 10 keluhan atau penyakit terbanyak yang ditemukan dalam riset Ristoja, yaitu demam, sakit perut, sakit kulit, luka terbuka, mencret, batuk, tumor/kanker, darah tinggi, kencing manis dan cidera tulang. Tumor atau kanker termasuk satu dari 10 besar penyakit yang ditangani dengan tanaman obat atau obat tradisional atau jamu.
Perkembangan Jamu
Jamu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Jamu yang semula digunakan sebagai obat dengan rasa yang cendurung pahit, kini tersedia dengan berbagai rasa dan kemasan yang menarik.
Masyarakat Indonesia dahulu membeli jamu karena diyakini lebih alami dan mempunyai khasiat yang banyak, tetapi seiring perkembangan zaman, masyarakat modern lebih memilih obat-obatan dari resep dokter dan meninggalkan jamu. Selain lebih praktis, obat-obatan resep dokter juga mudah didapatkan dan mempunyai bermacam-macam varian, seperti sirup dan kapsul.
Jamu di Indonesia sendiri masih perlu perhatian yang lebih, mengingat jamu merupakan obat tradisional Indonesia yang khas dan sudah digunakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dr. Charles Ong Saerang (Pakar Jamu Nasional) mengatakan bahwa perlu sekali untuk meningkatkan kualitas jamu Indonesia dengan cara membentuk Dirjen atau Menteri khusus dalam bidang jamu.Â
Menurutnya hal tersebut penting karena belum ada yang bertanggung jawab, melainkan hanya ada peraturan atau regulasi yang mengatur peredaran jamu saja.
Dengan dibentuknya badan khusus jamu di Indonesia maka akan dapat lebih meningkatkan kualitas jamu dan memberikan variasi serta dapat lebih digemari dalam segala rentang usia. Jamu yang dulu dikonsumsi oleh kalangan tua mungkin dapat lebih dikembangkan secara lebih luas lagi.
Jika tidak sekarang, maka kapan lagi. Jika bukan generasi muda, maka siapa lagi. Sudah seharusnya kita sebagai generasi penerus zaman mengupayakan agar jamu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.Â
Mengolah jamu dengan ide kreatif seperti membuat rasa dan kemasan yang menarik akan lebih mudah untuk dijangkau dan disukai oleh anak-anak hingga remaja.
Selain itu, menjual secara online di media massa akan lebih memudahkan jika dibandingkan hanya menjual di tempat secara langsung. Memanfaatkan media massa yang tersedia akan banyak menarik  minat khalayak umum.
Jamoe sebagai obat tradisional Indonesia sudah seharusnya berkembang dan tidak dibiarkan begitu saja. Kita sebagai generasi muda Indonesia harus bangga mengingat tanaman obat banyak tumbuh subur di tanah Indonesia dan dapat dimanfaatkan pula sebagai olahan yang berkhasiat.
Daftar Bacaan:
KEMENKES. 2020. Kemenkes Sarankan Masyarakat Manfaatkan Obat Tradisional (online), diambil dari kemenkes.go.id, diakses tanggal 27 September 2020, 18.15 WIB.
KEMENKES. 2020. Ristoja Ungkap Tumbuhan Obat untuk Kanker (online), diambil dari kemenkes.go.id, diakses tanggal 27 September 2020, 18.30 WIB.
KOMPAS. 2020. Keanekaragaman Hayati Indonesia (online), diambil dari kompas.com, diakses tanggal 27 September 2020, 18.00 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H