Judul: Ketika Sejarah Berseragam
Penulis: Katharine E. McGregor
Penerbit: Syarikat
Representasi militer atas masa lampau penting untuk dikaji karena militer menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh adanya peran ganda mereka dalam bidang pertahanan dan bidang sosio-politik.
Militer, khususnya Angkatan Darat, telah menikmati kedudukan istimewa dalam bidang politik nasional sejak pertengahan tahun 1950-an dan seterusnya, dan karena itu mereka merupakan salah satu kekuatan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia baru.
Pada tahun 1958, Kepala Staff Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, seorang perwira berpendidikan Belanda yang tetap menduduki posisi yang menonjol dalam militer sejak Perang Kemerdekaan, merumuskan sebuah konsep "jalan tengah" yang menggagaskan agar militer terwakili di dalam pemerintahan, badan legislatif, dan administrasi negara.
Ketika Sejarah Berseragam merupakan buku yang akan memberitahu pembaca mengenai kisah di belakang proyek-proyek yang membangun narasi sejarah di negara ini. Buku ini akan memaparkan bagaimana militer mempunyai andil dalam melukiskan masa lampau Indonesia yang dapat dijumpai dalam berbagai sarana termasuk museum, monumen, hari peringatan, film dan teks-teks tertulis termasuk dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI).
Pada monumen dan hari peringatan serta kegiatan-kegiatan pada hari-hari peringatan merupakan cara lain yang digunakan militer untuk mencoba mengemukakan versi mereka mengenai masa lalu kepada masyarakat; dalam hal ini, tujuannya adalah untuk membuat militer tampak sebagai pemberani dan untuk mendorong masyarakat menerima peran militer dalam ranah politik dan sebagai pelindung bangsa.
Pada buku Ketika Sejarah Berseragam juga menelusuri pergeseran yang terjadi dalam representasi sejarah sejak era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) sampai dengan era Orde Baru (1965-1998), dan dengan demikian memperjelas kecenderungan-kecenderungan dalam representasi sejarah yang diulang-ulang.
Ketika Sejarah Berseragam banyak memanfaatkan pustaka yang membahas sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan untuk dapat menetapkan konteks dari sebuah museum, monumen, produksi film, maupun konteks sejarah tertentu.
Militer Indonesia pada masa Orde Baru sering digambarkan sebagai pihak yang tidak kenal kompromi dan memaksakan kehendak mereka pada warga negara melalui kekerasan.Â
Namun demikian, dalam ranah ideologi, kegiatan Pusat Sejarah ABRI membuktikan bahwa mereka memperhatikan citra mereka dan terus-menerus berusaha memperbaiki citra mereka di mata rakyat. Para kurator museum Pusat Sejarah ABRI menyadari bahwa ada orang Indonesia yang takut pada militer. Mereka mengambil langkah untuk mengatasi rasa takut ini dengan membuat museum mereka menjadi tempat yang lebih ramah.
Sesudah zaman Orde Baru di Indonesia, iklim keterbukaan yang lebih besar memungkinkan ditantangnya secara terbuka kebenaran sejarah yang dibuat oleh negara. Tantangan-tantangan ini merupakan bukti betapa ketatnya sejarah dijaga dalam periode Orde Baru.
Namun demikian, menarik untuk diperhatikan bahwa pada tahun 2004, hanya enam tahun setelah jatuhnya Soeharto, dalam suatu pemilihan umum presiden yang demokratis, rakyat Indonesia memilih Susilo Bambang Yudhoyono, seorang purnawirawan, sebagai presiden. Tampaknya, walaupun ada keinginan untuk mengakhiri militerisme zaman Orde Baru, dalam banyak orang Indonesia sudah tertanam persepsi bahwa militer merupakan pemimpin bangsa yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H