Mohon tunggu...
Nabila Putri Syasabil
Nabila Putri Syasabil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Fatum Brutum Amorfati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid I: Tanah di Bawah Angin): Sebuah Ulasan Buku

6 Oktober 2020   01:00 Diperbarui: 5 November 2020   22:31 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid 1: Tanah di Bawah Angin)

Penulis : Anthony Reid

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Sebagian besar penduduk "di Bawah Angin" tak hentinya menikmati musim semi. Seperti yang selamanya berlangsung "di Bawah Angin," pusat-pusat yang ada tidaklah didasarkan pada suatu kekuasaan atau daulat. Segalanya tak lain dari pameran... Penduduk asli menghitung tingginya derajat dan kekayaan seseorang berdasarkan jumlah budak yang dimilikinya (Ibrahim 1688: 174-177).

Sejarah umat manusia merupakan jalinan tak berkelim. Tak satu pun bagian dari sejarah itu yang bisa diisolasikan, terutama bagian yang termasuk alam jalinan perniagaan internasional, seperti halnya pada "tanah di bawah angin." Tapi bagi kita yang mempelajari wilayah ini, tidaklah begitu mudah untuk melihat jalinan intemasional itu tanpa memudarkan kehadiran bangsa-bangsa Asia Tenggara dari panggung sejarahnya sendiri. Selama paruh pertama abad ini, sejarah kolonial telah menciutkan mereka melulu sebagai latar yang kabur di tengah-tengah ekspansi besar dari Barat. 

Banyak sejarah kaum nasionalis telah memperparah gambaran itu dengan memperlakukan bangsa-bangsa Asia lebih sebagai korban-korban tidak berdaya daripada sebagai pelaku-pelaku sejarah, atau mencoba memperbaiki hal ini dengan mengisolasikan kawasan yang ditelaah dari kekuatan-kekuatan serta perbandingan antarnegara. Kegiatan ilmiah kaum orientalislah yang memulai tugas heroik untuk mengangkat dan membuat kita kembali dapat membaca peninggalan-peninggalan tertulis dari bangsa-bangsa Asia Tenggara itu sendiri, kendati tradisi terpelajar ini tidak memberi kita banyak petunjuk tentang kaitan antara babad-babad kerajaan, bahasan-bahasan agama, atau puisi-puisi liris dengan dunia produksi dan perdagangan.

Kesejahteraan Fisik Asia Tenggara

Bisa dipahami jika para ahli sejarah enggan menarik statistik yang ketepatannya menyesatkan dari sumber-sumber yang sangat tidak memuaskan untuk kemudian dipakai membicarakan Asia Tenggara prakolonial. Tetapi, tanpa angka-angka sama sekali, kita pun tidak mungkin dapat membandingkan suatu masa, atau kawasan satu sama lain, atau mengbubungkan data-data Asia Tenggara dengan sejarah sosial yang semakin maju dari negeri-negeri, seperti Eropa dan Cina, yang telah diteliti secara lebih baik.

Asia Tenggara dalam kurun niaganya merupakan suatu wilayah yang jarang penduduknya, dengan jumlah sedikit di atas dua puluh juta jiwa, yang tersebar tidak merata di kawasan yang sebagian besar masih tertutup hutan rimba. Sebagian besar penduduk ini terpencar dalam kantong-kantong persawahan intensif dan di kota-kota pelabuhan niaga yang justru lebih besar proporsi penduduknya dihitung dari jumlah penduduk keseluruhannya (Reid 1980). Penduduk tetap jarang terutama akibat ketidakamanan hidup dalam kondisi yang banyak dilanda perang. Tapi jumlah ini naik dengan cepat, akibat perpindahan penduduk serta kelahiran biasa, kapan saja keamanan kembali terjamin.

Selain menyorot jumlah penduduk di Asia Tenggara, buku ini juga memaparkan banyak hal mengenai kondisi di Asia Tenggara, seperti pola pertanian, penggunaan tanah, peralatan, makanan dan pasokan makanan, makan daging sebagai upacara agama (ritus), air dan anggur, makan dan pesta makan, sirih dan tembakau, penduduk yang lebih sehat, ilmu kesehatan, obat-obatan, dan wabah dan penyakit epidemik.

Penjelasan yang disajikan dalam buku ini sangat lengkap dan dicantumkan pula data-data berupa tabel dan gambar. Seperti pada penjelasan mengenai sirih dan tembakau.

Meskipun kebiasaan mengunyah sirih juga tersebar luas di India Selatan dan Cina Selalan pada abad ke-15, namun tampaknya kebiasaan itu berasal dari Asia Tenggara. Di kawasan ini kebiasaan tersebut sangat penting artinya dalam upacara ritus dan kehidupan sosial setiap orang yang kita kenal. Sumber-sumber Cina sejak dari zaman yang menyebutkan peran pohon pinang (sirih) dalam ritus perkawinan, dan kata yang digunakan untuknya, pin-lang, tampaknya merupakan kata pinjam orang Cina yang sudah lama sekali dari bahasa Melayu (Wheatley 1961: 56, 78-79; Chau Jukua 1250: 155).

33d5d9ef-e345-4c51-96e7-1c702cdc3b28-5f7b5ea1d541df0e565096d2.jpg
33d5d9ef-e345-4c51-96e7-1c702cdc3b28-5f7b5ea1d541df0e565096d2.jpg
Pada penjelasan mengenai wabah dan penyakit endemik-pun dijelaskan tentang wabah yang juga menyerang Asia Tenggara, tidak hanya di Eropa saja. Letak Asia Tenggara yang umumnya terbuka pada lalu lintas niaga dunia pasti telah menghasilkan imunitas terhadap sebagian besar wabah yang berbahaya sebelum bangkitnya Eropa, berbeda tajam dengan keadaan di Benua Amerika, Australia, dan Kepulauan Pasifik. lidak banyak informasi yang tersedia tentang penyakit di Asi a Tenggara sebelum abad ke-16. Dalam naskah-naskah bumiputera, rujukan-rujukan yang ada hanya berasal dari zaman-zaman sesudahnya, dan ini menunjukkan bahwa penyakit cacar serta penyakit perusak tubuh lainnya-kusta dan patek atau sifilis paling ditakuti.

Kebudayaan Material

Orang Asia Tenggara sangat sedikit menggunakan waktu dan kekayaannya untuk rumah mereka. Jelas bahwa lunaknya cuaca dan tersedainya pohonpohon yang cepat besar, pohon kelapa dan bambu sebagai bahan bangunan menjadi penyebab utama dari rendahnya prioritas ini. Karena biaya mem* bangun rumah begitu murah, rumah dipandang scbagai scsuatu yang tidak permanen dan bukan sarana yang patut untuk menanam uang.

 Di dalam bab 3 ini penulis membahas tentang kebudayaan material yang mencakup tentang rumah, perabotan, kerajinan, pakaian, hingga perdagangan. Dalam bab ini juga banyak disertakan gambar-gambar pendukung sehingga memudahkan pembaca untuk memahami dan tidak hanya membayangkan saja.

Pengaturan Masyarakat

Di Filipina bagian tengah, Legazpi berjumpa dengan suatu masyarakat yang lebih tidak memiliki raja dibandingkan dengan sebagian besar masyarakat lainnya, dan keterkejutan ini mungkin luar biasa. Akan tetapi di seluruh Asia Tenggara terdapat paduan hierarki yang sangat berjenjang dengan kelonggaran struktur politik yang akan mengejutkan para pengunjung dari Eropa, para pembangun imperium, dan para ahli etnografi selama berabad-abad. Raja-raja yang memiliki kekuasaan besar tumbuh juga dalam kerangka ini, tapi mereka melaksanakan kehendaknya pada daerah yang luas hanya berkat kekuatan pribadinya yang luar biasa serta kekayaan pelabuhan-pelabuhan yang sedang berjaya.

 Pentingnya ikatan vertikal di Asia Tenggara dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, penguasaan tenaga kerja dipandang sebagai petunjuk kekuasaan dan status yang menentukan, sebab tenaga kerjalah, bukan tanah, yang dikenal sebagai sumber daya langka. Sebagaimana ditulis Scott (1606: 142) mengenai kaum elite Banten, "Kekayaan mereka sepenuhnya terletak pada budak-budak, sehingga jika budak-budak mereka dibunuh, mereka menjadi pengemis."

Kedua, transaksi manusia umumnya dinyatakan dalam hitungan uang. Perdagangan maritmi selama berabad-abad telah memasuki kawasan mereka sehingga orang Asia Tenggara tampaknya sudah terbiasa berpikir juga mengenai dirinya sendiri sebagai aset yang mempunyai nilai tunai.

Ketiga, perlindungan hukum dan finansial dari negara relatif rendah, sehingga pelindung maupun yang dilindungi perlu saling bantu dan dukung.

Aturan-aturan hukum yang diciptakan di kota-kota Asia Tenggara banyak memberikan perhatian kepada budak-budak. Ketentuan hukum Melayu secara tersendiri menyediakan seperempat undang-undangnya untuk mengatur masalah perbudakan (Matheson dan Hooker 1983: 205).

Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan

Bagi orang Asai Tenggara, partisipasi dalam pesta keramaian, ritus, dan pesta makan tampaknya merupakan suatu kewajiban sosial yang sama pentingnya dengan kerja produktif itu sendiri. Orang Thai rnaupun orang Melayu menggunakan kata sehari-hari "work" (ngan dalam bahasa Thai, kerja dalam bahasa Melayu) untuk menggambarkan partisipasi mereka dalam pesta keramaian maupun ritus.

Bab 5 sekaligus menjadi bab terakhir dalam buku ini banyak membahas tentang kesenian, kesusastraan, teater, tari, musik, hingga permainan rakyat yang ada di Asia Tenggara. Pusat-pusat pemerintahan pada saat itu ternyata mendapat pengaruh oleh kebudayaan India seperti Birma, Siam, Karnboja, Jawa, dan Bali.

Teater-teater Asia Tenggara lainnya menggunakan tema-tema epos India yang mungkin diperkenalkan selama tahun seribuan, khususnya Ramayana yang dikenal sedunia. Akan tetapi, bentuk-bentuk teater yang akrab di zaman modem sama sekali tidaklah setua itu. Bukti-bukti pertama dari wayang kulit memang bisa dilacak hingga ke suatu prasasti abad ke-9 dan pada suatu kronik yang lebih eksplisit dari abad ke-11 (Kats 1923: 35-31 ). Namun para penulis Jawa menekankan bahwa para wali dan penyebar Islam di Jawalah yang memberi wayang kulit bentuk modernnya sekitar abad ke-16 sebagaimana mereka telah menciptakan wayang topeng.

Kesimpulan

Bangsa-bangsa Asia Tenggara tetap merupakan pelaku utama dari perluasan niaga yang menjadi inti dari transformasi ini hingga abad ke-17. Perdagangan telah memupuk kota-kota itu dengan berbagai gagasan dari dunia luar, mempcrkuat kalangan elite dan negara-negara yang paling ccpat menarik manfaat dari itu semua. Akan tetapi, "revolusi niaga" pada pertengahan abad ke-17 secara radikal telah mengalihkan sekian dampak dari kegiatan perniagaan di kawasan itu. Namun, tatkala pasang naik imperialis medan kapitalisme membanjiri mereka pada akhir abad ke-19, negeri-negeri ini tidak lagi mampu bersaing atas patokan-patokan yang sama dengan bangsa-bangsa pengusik, seperti yang berlaku selama kurun niaga mereka.

Buku ini menjelaskan banyak mengenai Asia Tenggara secara lengkap. Para pembaca diajak untuk melihat Asia Tenggara lebih jauh dengan gambar-gambar yang menarik. Hal-hal yang terjadi pada zaman sekarang memiliki kaitan yang erat dengan yang terjadi pada zaman dahulu yang dijelaskan pada buku ini. Asia Tenggara tidak kalah maju dengan bangsa Eropa, namun seiring dengan perkembangan zaman, dengan adanya kolonialisme dan imperialism dari bangsa Barat menjadikan sebagian besar negara di Asia Tenggara tertinggal oleh bangsa Eropa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun