Meskipun kebiasaan mengunyah sirih juga tersebar luas di India Selatan dan Cina Selalan pada abad ke-15, namun tampaknya kebiasaan itu berasal dari Asia Tenggara. Di kawasan ini kebiasaan tersebut sangat penting artinya dalam upacara ritus dan kehidupan sosial setiap orang yang kita kenal. Sumber-sumber Cina sejak dari zaman yang menyebutkan peran pohon pinang (sirih) dalam ritus perkawinan, dan kata yang digunakan untuknya, pin-lang, tampaknya merupakan kata pinjam orang Cina yang sudah lama sekali dari bahasa Melayu (Wheatley 1961: 56, 78-79; Chau Jukua 1250: 155).
Kebudayaan Material
Orang Asia Tenggara sangat sedikit menggunakan waktu dan kekayaannya untuk rumah mereka. Jelas bahwa lunaknya cuaca dan tersedainya pohonpohon yang cepat besar, pohon kelapa dan bambu sebagai bahan bangunan menjadi penyebab utama dari rendahnya prioritas ini. Karena biaya mem* bangun rumah begitu murah, rumah dipandang scbagai scsuatu yang tidak permanen dan bukan sarana yang patut untuk menanam uang.
 Di dalam bab 3 ini penulis membahas tentang kebudayaan material yang mencakup tentang rumah, perabotan, kerajinan, pakaian, hingga perdagangan. Dalam bab ini juga banyak disertakan gambar-gambar pendukung sehingga memudahkan pembaca untuk memahami dan tidak hanya membayangkan saja.
Pengaturan Masyarakat
Di Filipina bagian tengah, Legazpi berjumpa dengan suatu masyarakat yang lebih tidak memiliki raja dibandingkan dengan sebagian besar masyarakat lainnya, dan keterkejutan ini mungkin luar biasa. Akan tetapi di seluruh Asia Tenggara terdapat paduan hierarki yang sangat berjenjang dengan kelonggaran struktur politik yang akan mengejutkan para pengunjung dari Eropa, para pembangun imperium, dan para ahli etnografi selama berabad-abad. Raja-raja yang memiliki kekuasaan besar tumbuh juga dalam kerangka ini, tapi mereka melaksanakan kehendaknya pada daerah yang luas hanya berkat kekuatan pribadinya yang luar biasa serta kekayaan pelabuhan-pelabuhan yang sedang berjaya.
 Pentingnya ikatan vertikal di Asia Tenggara dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, penguasaan tenaga kerja dipandang sebagai petunjuk kekuasaan dan status yang menentukan, sebab tenaga kerjalah, bukan tanah, yang dikenal sebagai sumber daya langka. Sebagaimana ditulis Scott (1606: 142) mengenai kaum elite Banten, "Kekayaan mereka sepenuhnya terletak pada budak-budak, sehingga jika budak-budak mereka dibunuh, mereka menjadi pengemis."
Kedua, transaksi manusia umumnya dinyatakan dalam hitungan uang. Perdagangan maritmi selama berabad-abad telah memasuki kawasan mereka sehingga orang Asia Tenggara tampaknya sudah terbiasa berpikir juga mengenai dirinya sendiri sebagai aset yang mempunyai nilai tunai.
Ketiga, perlindungan hukum dan finansial dari negara relatif rendah, sehingga pelindung maupun yang dilindungi perlu saling bantu dan dukung.
Aturan-aturan hukum yang diciptakan di kota-kota Asia Tenggara banyak memberikan perhatian kepada budak-budak. Ketentuan hukum Melayu secara tersendiri menyediakan seperempat undang-undangnya untuk mengatur masalah perbudakan (Matheson dan Hooker 1983: 205).