Kesenjangan itu tidak menyenangkan dalam semua lini. Mau itu kesenjangan sosial atau kesenjangan pemikiran. Generasi Milenial salah satu yang merasa menjadi korban kesenjangan pemikiran ini.Â
Aku yakin generasi kelahiran pada 1981-1996 yang mungkin saat ini sudah berusia 24-39 tahun merasakannya. Karena, aku termasuk pada generasi ini.Â
Sedang mencoba beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Generasi kami disudutkan menjadi generasi lemah mental mau itu dari kalangan masyarakat ataupun keluarga. Mencoba untuk tidak mengamininya namun, perlahan menjadi kebingungan dengan keadaan.Â
Apakah generasi kami memang selemah itu? Belakangan juga muncul istilah baru yang cukup dipahami generasi kami dan dikaitkan dengan generasi milenial yaitu Quiet Quitting.
Secara bahasa tentu ini bukan diksi atau kata yang ada di Indonesia. Aku secara pribadi tidak akrab dengan kata tersebut. Namun, setelah membaca dan menguliknya ada rasa yang famliar. Seolah-oalah kata-kata itu mendefinisikan generasiku.Â
Quiet Quitting secara makna bisa diartikan sebagai perilaku yang membatasi diri untuk tidak melakukan pekerjaan yang lebih di tempat kerja melakukan pekerjaan secukupnya dan semampunya.Â
Kurang lebih makna yang aku lihat seperti itu, dan dari pengalaman  pribadi memang begitu adanya. Ada rasa lelah sehabis bekerja dan enggan mengemban pekerjaan lebih yang ditawarkan.Â
Contoh sederhana saja dan mungkin ini dirasakan juga di beberapa kalangan ada rasa lelah dan enggan dihubungi di luar jam kerja. Membahas topik pekerjaan di waktu selain jam kerja itu menjenuhkan.Â
Tidak salah sebenarnya melakukan perilaku ini karena, memang dalam kesepakatan kerja sudah tertera dengan jelas akan deskripsi pekerjaan, dan tidak menyalahi aturan kerja.Â
Namun, namanya dunia kerja banyak variabel-variabel lain yang nyatanya memang terjadi juga diperlukan untuk mengemban pekerjaan yang bukan kewajiban. Ada tuntutan dan harapan dari atasan akan hal itu.