manis. Jelas. Dia kan teller. Minimal wajahnya nggak buruk. Dan dia ramah, santun, kalem dan keibuan. Wajar rasanya jika Mas Felix memilihnya. Diana masih diam, tak menjawab pertanyaanku.
Kami sudah di depan rumahku.
"Mampir, Di"
"Hay.." Diana setengah ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa?" Aku makin penasaran. Makin takut dengan setengah keyakinanku bahwa dialah calon istri Mas Felix.
Diana melepas helmnya lalu mengikutiku menuju teras rumahku. Aku semakin gugup. Tanganku sudah dingin sekali. Tumben Diana sampai mampir. Biasanya dia hanya mengantarku sampai pagar, lalu segera pulang. Tapi nggak mungkin juga rasanya untuk menanyakannya, toh aku sendiri yang menawarkannya mampir meskipun hanya basa-basi.
"Duduk,Di. Gue ambilin minum dulu ya"
Diana hanya tersenyum mengangguk.
"Diminum,Di"
"Iya" Ia tersenyum dan meneguk air yang kusuguhkan. Aku bingung bagaimana membuka percakapan. Rasanya ingin langsung kuinterogasi saja Diana ini. Aku diam. Bingung. Akhirnya dia yang lebih dulu membuka pembicaraan.
"Hay, tapi jangan bilang-bilang siapa-siapa ya. Belum untuk dipublikasikan. Tapi karena kamu sahabatku, ya mungkin kamu harus tau duluan dong." Diana tersenyum membuka wacana.