[caption caption="Tanean Lanjang atau Halaman Panjang merupakan bagian dari kompleks hunian khas Madura. Di Bangkalan sendiri, Tanean merupakan bentuk variasi dari sebuah hunian. Modifikasi pun harus dilakukan demi menjawab terbatasnya lahan (Ilustrasi: KompasTV)"][/caption]
Jika Anda penutur baru bahasa Madura, saya maklumi apabila Anda tidak ingin memikirkan perihal huruf W bagi masyarakat Madura. Tetapi jika Anda adalah penutur asli bahasa Madura—baik mukim di Pulau Puisi ini atau tidak—maka perlu kiranya menyimak bagaimana sebenarnya orang Madura agak ‘alergi’ dengan huruf W.
W, adalah huruf yang dalam pengucapan bahasa Madura sering tersingkirkan. Nasibnya sungguh menyedihkan. Entah, apakah ada trauma tersendiri mengenai huruf ini, atau memang karena lidah masyarakat Madura terlalu kasar untuk mengucapkan huruf tersebut.
Penuturan bahasa Madura—tanpa bisa dipungkiri—banyak yang merupakan hasil serapan bahasa Indonesia. Tak heran jika kesamaan hampir selalu ada, meski kemudian diucapkan dengan logat yang jelas berbeda.
Dari perbedaan logat ini, kemudian penuturan bahasa Madura banyak mengenyahkan huruf W yang diturunkan dari bahasa Indonesia tersebut. Meski tidak semua kata serapan Indonesia yang mengandung huruf W tersingkir dari panggung bahasa Madura, tetapi fakta bahwa orang Madura mengalami penyakit W Phobia—ini jenis penyakit rekaan saya semata—jelas terasa.
Perhatikan kata kawin dalam bahasa Indonesia yang diserap ke bahasa Madura menjadi kabin, wakil menjadi bekkêl, warna menjadi berna, kawat menjadi kabe’ dan waktu menjadi bekto. Contoh-contoh tersebut hanya segelintir dari sekian penuturan masyarakat Madura tentang huruf W. Ada banyak lagi huruf W dalam bahasa Indonesia yang jika dituturkan dengan bahasa Madura akan tereliminasi.
Anehnya—bagi saya—hampir secara keseluruhan W diganti perannya oleh huruf B. Sebagai orang Madura yang cinta pada bahasanya, saya belum mampu menganalisa kejanggalan ini dengan baik. Mungkin karena kekurangan sumber dari ilmuan bahasa Madura, atau karena B merupakan huruf pengganti yang disepakati dalam diam alias ijma’ sukuti oleh masyarakat Madura. Sehingga mau tidak mau, saya harus ikut diam tak perlu mengungkit. Tetapi jujur, pertanyaan tentang W dan kenapa pula harus diganti dengan B adalah perihal yang mengganggu pikiran saya.
W Phobia ini rupanya berimbas pada semua aspek kehidupan, tak terkecuali penamaan sebuah daerah dan tempat. Misalnya Kwanyar yang dengan ‘sadis’ menjadi Kbenyar, warung menjadi berung dan bawah menjadi bebe.
Bahkan nama daerah di luar Madura juga terkena getahnya. Simak saja Bondowoso yang dituturkan menjadi Bhendebesah dan Bawean menjadi Bhebian. Seperti tanpa batas, imbasnya juga terasa ketika lidah Madura menyebut sebuah julukan dan nama. Kita bisa melihat hal ini dari kata wali yang dituturkan menjadi bellih dan Wahid berubah menjadi Behêd. Pun kata Perawan yang berubah menjadi praban.
Ini belum lagi kandungan huruf W dalam bahasa daerah lain yang ketika diserap ke bahasa Madura akan tergantikan oleh huruf B. Awak, misalnya, bahasa Jawa ini dituturkan menjadi abe’ dalam Madura, Kawulo dituturkan menjadi Kabuleh, juga Wandu yang menjadi Bendhu.
Namun demikian, sepanjang analisis saya, penyerapan bahasa asing, dalam segala bentuknya, ke dalam bahasa Madura jarang ditemukan ‘pemusnahan’ huruf W. Hampir tidak ada masyarakat Madura yang mengatakan Norwegia menjadi Norbegia, watt (tegangan listrik) menjadi batt. Rata-rata kosa kata asing dituturkan sesuai aslinya oleh masyarakat Madura. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada bahasa asing yang huruf W-nya juga lenyap ketika diserap ke bahasa Madura.
Sementara bahasa Arab, menurut hemat saya, jika sebelum diserap ke dalam bahasa Madura telah terserap ke dalam bahasa Indonesia, maka hukum ‘mutilasi’ W berlaku. Kata waktu, wakil dan wali, misalnya.
Beda jika bahasa Arab diserap langsung ke dalam bahasa Madura tanpa melalui penyerapan bahasa Indonesia, maka huruf W tetap dibiarkan eksistensinya. Untuk sekedar mengambil contoh, misalnya kata wudhu’ yang tetap dituturkan menjadi wudhu’, bukan budhu’.
Untuk segala keunikan ini, tidak tepat jika penggantian W menjadi B tersebut dijadikan sebagai cemoohan bahwa bahasa Madura ghe-oghe—seperti yang didugakan oleh seorang penyanyi dan hingga kini masih melekat di benak. Sebab bagaimanapun, ini adalah bentuk kebebasan cara penuturan. Bukankah karena hal ini pula, bahasa Inggris juga terbagi dalam American Style dan British Style. Sebab—selain bukan tatacara penuturan al-Quran yang sudah ditetapkan dalam ilmu Tajwid dan menuntut lidah kita untuk sama—dalam menyerap, kita tak perlu mengacu logat seperti bagaimana orang lain menuturkan bahasa mereka, apalagi sama persis.
Apakah kita akan mengatakan bahasa Melayu ghe-oghe karena mereka sering mengganti huruf A menjadi E? Saya menjadi Saye, Kita menjadi Kite dan seabrek kosa kata lainnya yang berbeda cara tutur dengan bahasa Indonesia. Tentu tidak, bukan?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H